Monday, July 8, 2019

Memahami Potret Pasar Ekstrem Tomohon

Suasana di Pasar Beriman, Tomohon, Sulawesi Utara. Pasar ini dijuluki sebagai pasar ekstrem karena mnyajikan berbagai bahan pangan yang tidak biasa.

“Semua yang berkaki kecuali kaki meja torang [kami] makan. Semua yang terbang kecuali pesawat, torang makan juga.”


Begitulah Roy Nangka, salah seorang pedagang di Pasar Beriman, Tomohon berkelakar soal kebiasaan masyarakat Minahasa memakan berbagai jenis daging, Sabtu (29/6/2019) pekan lalu. “Kaki meja juga bisa torang makan, kalau pakai rica [cabai],” tambahnya.

Sabtu adalah hari pasar besar, stok barang dagangan lebih banyak dari hari-hari lainnya. Dengan menggunakan sepeda motor, perlu waktu sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Manado untuk tiba di sana. Pengunjung juga bisa menggunakan bus dari Terminal Karombasan.

Hari itu, Roy yang berdomisili di Tomohon membawa sekitar 60 kg paniki atau kelelawar dan 50 kg daging babi hutan. Dia sebenarnya memiliki stok ular piton atau patola, namun dia memilih tak membawanya hari itu. “Kita malas bawa ini hari, berat. Mungkin besok kita bawa, so ada di kulkas,” ujarnya.

Lelaki berusia 40 tahun ini sudah berjualan berbagai jenis daging hewan sejak 1998. Pada mulanya, dia mengaku juga sempat menjadi pemburu. Namun, belakangan dia memilih untuk menjadi penjual saja dengan menerima daging dari pemasok.

Roy Nangka (40), salah seorang pedagang di Pasar Beriman, Tomohon memotong daging paniki atau kelelawar sesuai pesrmintaan pembeli. Dia sudah berjualan di sana sejak 1998. 
Sejak buka lapak dari pagi hingga siang hari, sudah lebih dari separuh barang dagangannya ludes. Hanya sekitar 20 kg paniki yang tersisa dan beberapa potong paha babi hutan. Barang dagangannya itu, lanjutnya, didapatkan dari pemasok di luar Sulawesi Utara.

“Kalau paniki ini saya dapat dari pedagang besar, dia ambil dari supplier di Makassar. Tidak semua daging yang ada di sini dari daerah Sulut, ada juga dari daerah lain karena tidak dimakan di sana. Saya bawa ke sini dalam keadaan dingin, sudah disimpan di dalam es,” tuturnya.

Roy adalah salah satu dari puluhan pedagang yang saban hari berjualan di Pasar Beriman. Pedagang lain punya lebih banyak varian dagangan. Daging tikus hutan atau kawok, anjing atau RW [rintek wuuk/bulu halus], kucing, hingga biawak tersedia.

Salah satu jenis daging yang mencuri perhatian saya siang itu adalah sejenis musang dengan ekor panjang membentuk spiral. Sulit membayangkan bentuk aslinya karena semua bulunya sudah terbakar. Berwarna hitam dan dan berbau gosong.

Kuskus atau kuse yang dijajakan salah satu pedagang di pasar Tomohon pada Sabtu (29/6/2019). Hari Sabtu merupakan hari pasar besar, dagangan yang disajikan lebih lengkap dari hari lainnya. 

“Ah ini kuse, memang seperti monyet jadinya karena bulunya sudah hilang dibakar. Dulu memang ada orang jual Yaki [monyet hitam Sulawesi], tapi sekarang sudah tidak ada. Kalau mau jual itu pedagang harus siap dulu Rp300 juta dan siap dipenjara,” kata Roy.

Yaki atau macaca nigra adalah jenis primata endemik Sulawesi yang dilindungi. Dulu sering ditemukan daging primata berbokong merah ini. Yaki sempat dianggap hama sehingga dibunuh dan dikonsumsi masyarakat yang tidak mengetahui hewan itu berstatus langka.

Hingga sore hari, pembeli silih berganti singgah ke kios milik Roy. Ada yang membeli, ada pula yang hanya menawar. Ada yang membeli untuk konsumsi mingguan, ada pula yang sengaja membelinya untuk mengadakan pesta.

Fierce Polii, seorang ibu dari Tomohon berusia 52 tahun adalah salah satunya. Dia membeli lebih dari 10 potong paniki di kios milik Roy. Jumlah sebanyak itu, lanjutnya, disiapkan untuk acara mengenang 1 tahun meninggal orang tuanya.

Kedatangannya siang itu merupakan kunjungan kedua di hari yang sama. Pada pagi hari, dia sudah membeli beberapa bumbu masakan seperti cabai, tomat, dan jahe atau goraka. Beberapa daging lain seperti kawok juga sudah dibeli.

Untuk dikonsumsi, bagian leher paniki dibuang. Bagian itu dinilai hanya berisi lemak dan tidak disukai. Hal ini juga diyakini dapat menghilangkan bau si binatang malam .

Acara peringatan yang akan digelarnya pada Senin pekan depan merupakan acara penting. Tamu yang hadir adalah para tetangga dan keluarga besarnya. Untuk memastikan semua berjalan sempurna, Fierce merasa perlu menghadirkan jenis penganan dengan lengkap.

“Kita bale ulang ke sini dang untuk beli paniki, kalau RW [anjing] kita so potong sendiri di rumah, ada dua. Babi juga ada punya sendiri, dari torang pe keluarga. Kalau paniki mau tidak mau beli di pasar,” ujarnya.

Biaya yang dikeluarkannya tidak sedikit. Untuk satu ekor paniki, dia merogoh kocek Rp50.000. Harga itu, menurut Roy masih termasuk harga standar. Saat permintaan tinggi dan stok sedikit, pedagang biasa menjualnya sampai Rp60.000—Rp70.000 per ekor.

“Mahal sih, tapi tidak apa-apa untuk acara penting seperti ini semua daging harus ada,” kata Fierce.

Fierce mengatakan, meski mengorbankan anjing yang dipeliharanya, dia tak akan ikut menikmati hidangan itu. Bukan karena anti daging anjing atau tergabung dalam kelompok aktivis Dog Meat Free Indonesia, tetapi dia merasa tak tega.

Rifaldi Kawandoda (20), sedang membakar bulu dari paha babi hutan. Dia bergabung dengan Roy sejak 2 tahun lalu. Semua daging yang ditawarkan di pasar ini terlebih dahulu melewati proses pembakaran bulu ini.

“Memang tidak dipelihara disayang-sayang begitu, cuma saya kasih makan dari kecil jadi tidak tega untuk makan. Tapi kalau saya datang ke acara pesta orang lain dan ada RW saya makan juga sih,” jelasnya.

MENUAI KECAMAN

Daging anjing atau RW yang dijajakan di Pasar Beriman, Tomohon. Hidangan ini menjadi salah satu penganan wajib dalam pesta-pesta di Minahasa. Harganya dijual sekitar Rp35.000 per kilogram.

Kebiasaan makan berbagai jenis daging di Minahasa memang menjadi perhatian luas, khususnya para aktivis penyayang binatang. Salah satu kebiasaan konsumsi yang paling diperdebatkan adalah konsumsi daging RW.

Roy mengatakan, tanggapan para aktivis itu sangat merugikan untuk para pedagang di Pasar Beriman. Tak jarang, video kegiatan perdagangan di pasar itu menjadi perhatian dunia internasional. Para pedagang jadi sorotan karena dianggap tidak menyayangi hewan.

“Dulu itu ada video viral, bule China atau Amerika, kita so agak lupa. Dia posting video dari pasar ini, anjing yang dibakar hidup-hidup, padahal itu kejadian sebenarnya bule itu yang bayar dan meminta hal itu dilakukan, dia berani bayar lebih dari Rp700.000,” katanya.

Dia mengatakan, setelah kejadian itu tidak semua pedagang mau bicara kepada orang asing tentang barang dagangan mereka. Para pedagang jadi lebih berhati-hati karena takut ucapan mereka dipelintir untuk pemberitaan bombastis, atau demi video viral semata.

Tumpukan daging anjing atau RW di atas timbangan, disiapkan untuk dikirim ke luar Sulawesi Utara. Pedagang di Pasar Tomohon juga melayani permintaan dari sejumlah daerah timur Indonesia.

Teolog dan Budayawan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon Denni Pinontoan menerangkan, kebiasaan mengkonsumsi berbagai jenis hewan di Minahasa berhubungan erat dengan kebiasaan berburu. Kebiasaan ini ada dalam catatan Gubernur Belanda di Maluku Robert Padtbrugge yang berkunjung ke Manado pada abad 17.

Pada mulanya, anjing adalah teman berburu para leluhur minahasa. Dalam kegiatan perburuan yang dicatat oleh para penginjil Eropa, anjing berperan penting. Namun, dia mengatakan bahwa ada pula jenis anjing tertentu yang digunakan sebagai makanan.

"Jadi bukan berarti orang Minahasa makan semuanya, anjing itu juga teman berburu para leluhur. Namun, kebudayaan yang waktu itu sudah memisahkan juga mana anjing yang punya kemampuan berburu dan mana yang untuk dikonsumsi," tuturnya.

Dia menerangkan, anjing bukan daging konsumsi sehari-hari orang Minahasa. Pada mulanya anjing hanya dikonsumsi dalam acara sakral atau ritual tertentu. Salah satunya adalah dalam kegiatan fosso atau ritual penyambutan rumah baru.

Dalam ritual itu, darah anjing digunakan sebagai persembahan. Selepas prosesi, untuk tidak menyia-nyiakan anjing yang dikorbankan, dagingnya dimasak dan disantap bersama. Bagian kepala kadang dinikmati sebagai tola-tola atau teman menenggak minuman beralkohol.

Cara membunuhnya pun tidak sembarangan. Proses itu harus dilakukan oleh orang yang dituakan dengan syarat tertentu. Penyembelihan yang dilakukan dengan cara di-toki atau dipukul dikepala itu juga dilakukan di belakang rumah, secara tersembunyi.

"Pada saat mengorbankan anjing, ada doa-doa tertentu yang dirapal sebelumnya. Kurang lebih intinya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan dan alam telah memberikan anjing itu, mereka meminta izin untuk mengorbankannya," kata dia.

Proses ini berbeda dengan penyembelihan babi yang dilakukan secara terbuka di depan rumah. Alasannya, jumlah babi yang dipotong menunjukkan seberapa tinggi status ekonomi orang itu. Hal ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa mengkonsumsi anjing adalah hal sakral.

“Yang saya heran sekarang adalah orang luar berpikir bahwa daging anjing adalah konsumsi sehari-hari orang Minahasa, padahal tidak seperti itu. Tidak sembarangan, dan tidak setiap saat orang makan anjing, hanya pada acara tertentu saja,” jelasnya.

Tidak hanya menjual daging anjing yang sudah dibakar bulunya, pedagang juga menyediakan anjing hidup. Pembeli terkadang ingin mengetahui kondisi fisik anjing sebelum membelinya. Anjing dibunuh dengan cara ditoki atau dipukul di kepala.

Namun, tradisi itu perlahan-lahan bergeser karena permintaan pasar. Pembeli ingin mengetahui asal-usul dan kondisi anjing yang akan dikonsumsinya. Maka, para pedagang mulai menjajakan anjing yang masih hidup dan bersedia melakukan toki langsung di pasar.

“Kembali ke hukum ekonomi, yang beredar di online itu kan orang hanya bagiannya, bukan cerita panjangnya. Itu kan bermula dari permintaan konsumen, mereka tidak mau beli anjing kalau tidak jelas, fisiknya ataupun prosesnya,” jelasnya.

Salah seorang pedagang di Pasar Tomohon mencacah daging babi banpres. Sebutan babi banpres berasal dari frasa "bantuan presiden", merujuk pada jenis babi yang diberikan dalam program bantuan pangan era Soeharto.

Dia menjelaskan, faktor lain yang membuat praktik konsumsi daging anjing dikecam adalah persoalan asal-usul dan cara mendapatakan anjing tersebut. Dalam beberapa kasus, lanjutnya, memang ditemukan bahwa anjing yang dijual adalah curian.

"Para aktivis itu beranggapan pencuri anjing itu muncul karena kebiasaan orang mengkonsumsi anjing, jadi mereka pikir kebiasaan makan anjing ini yang harus dihilangkan. Apa hubungannya? Tidak seperti itu solusinya, ini kan hukum ekonomi," jelasnya.

Dalam pengertian paling sederhana pasar adalah pertemuan antara barang atau jasa dengan konsumen. Tidak mungkin ada barang yang diperdagangkan tanpa ada permintaan konsumen. Cerita dari Pasar Beriman, menjelaskan selera konsumsi masyarakat yang khas.

“Di sini hukum pasar yang berlaku. Kata biadab hanya digunakan oleh orang lain dari luar lingkungan ini untuk mengecap tradisi kuliner ini. Ironis menurut saya karena barat yang dikenal berpikir modern dan egaliter dalam menilai kebudayaan lain ternyata gagal” jelasnya.

Dia mengharapkan masyarakat luas dapat memahami kebiasaan makanan Minahasa ini sebagi sebuah warisan kebudayaan. Meski demikian, dia juga mengatakan bahwa kebudayaan dan identitas itu sendiri bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai dengan konstruksi yang berlaku.

Disclaimer: Artikel ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Edisi Sabtu, 6 Juli 2019 pada halaman Regional. Artikel di blog ini merupakan versi lain yang diunggah di blog pribadi penulis tanpa proses penyuntingan redaksi.

Friday, July 5, 2019

Di Balik Pedasnya Rica


Pedasnya cabai atau rica yang digemari oleh masyarakat Sulawesi Utara bermula dari era kolonialisme di Nusantara.


Tanaman itu, sama halnya dengan tomat, berasal dari benua Amerika. Rica yang merupakan bagian dari genus capsycum ini juga tidak dengan sendirinya terbawa arus lautan dan tiba di Tanah Minahasa. 

Kedatangannya bermula dari perjalanan niaga orang-orang benua biru.

Dalam beberapa literatur, Christopher Columbus sang pengembara dari kerajaan Spanyol diyakini sebagai orang pertama yang memperkenalkan cabai ke Eropa. Cabai merupakan salah satu bahan pangan yang dibawanya dari pengembaraannya ke Amerika pada abad ke-15.

Cita rasa pedas cabai kemudian menjalar di Eropa dengan dibudidayakan di gereja-gereja. Harapannya, rasa pedas cabai dapat menjadi substitusi pedasnya lada yang saat itu jadi komoditas mewah dan tidak banyak tersedia di sana.

Namun, tidak serta merta pencarian rempah Eropa berakhir begitu saja dengan adanya cabai. Mereka terus mengembara mencari rempah hingga akhirnya tiba Indonesia dengan misi perdagangan dan penginjilan. Pada periode inilah, cabai kemungkinan besar mulai dikenal oleh lidah Minahasa.

Sejarawan Kuliner Fadly Rahman mengatakan ada dua teori mengenai kedatangannya di Sulawesi Utara (Sulut). Pertama, cabai dibawa oleh Portugis yang mula-mula tiba di Maluku untuk mencari rempah-rempah. Kedua, Spanyol yang membawa tanaman itu ke Sulut setelah menguasai Filipina terlebih dahulu.

“Karena memang lalu lintas perdagangan rempah-rempah juga menyebabkan dibawanya bahan-bahan tanaman pangan seperti cabai, jagung, sangat mungkin cabai ini dibawa melalui jalur niaga bangsa Portugis dan Spanyol, mereka satu rumpun dan menguasai benua Amerika,” katanya.

Portugis pertama kali tiba di Sulut pada 1563. Bangsa itu datang dengan dua kapal kora-kora yang dipimpin oleh Pater Magelhaes ke Manado (sekarang Pulau Manado Tua). Tak hanya membaptis 1.500 orang, kala itu mereka juga mulai memperkenalkan cabai dan tomat.

Pada periode yang berdekatan, Spanyol juga singgah di daerah lain di Sulut. Jika Portugis pertama kali datang ke Pulau Manado Tua, Spanyol pertama kali tiba di pulau Talaud dan Siau. Keduanya menjalankan misi penginjilan di Sulut.

Sejarawan Universitas Sam Ratulangi Ivan Kaunang mengatakan, meski kedua bangsa itu datang dengan misi religius yang sama, keduanya juga bersaing dalam pencarian rempah-rempah. Sulut yang berdekatan dengan pusat perdagangan rempah di Maluku menjadi rebutan.

“Paus membagi dunia menjadi dua dalam penyebaran Katolik, tapi dua negara ini juga berlomba mencari rempah-rempah, mereka akhirnya bertemu di Maluku dan akhirnya mereka tiba di Sulut yang menjadi rebutan, terutama pesisir Manado. Kekuasan silih berganti di antara keduanya,” kata Ivan.

Meski demikian, menurutnya Spanyol lebih lama tinggal di daerah dengan etnis mayoritas Minahasa ini. Namun, pada akhirnya Bangsa ini juga harus angkat jangkar lebih cepat setelah dikalahkan masyarakat Minahasa yang pada akhirnya bekerja sama dengan Perserikatan Dagang (VOC) Belanda.

Ivan menuturkan, kegeraman masyarakat Minahasa terhadap Spanyol terjadi karena mereka mulai berlaku semena-mena dan memperkosa para perempuan di sana. Hal ini membuat rakyat bersatu dibawah komando para waraney atau para pemimpin perang untuk mengusir mereka.

“Akhirnya, pada 10 Agustus 1644 perang meletus melawan Spanyol, Minahasa berhasil mengusir Spanyol pada 1645. Para waraney dan masyarakat dari berbagai daerah berhasil mengusir mereka. Beberapa tahun setelah itu, barulah Minahasa bekerja sama dengan Belanda,” kata Ivan.

Dia mengatakan, guna membendung kembalinya Spanyol ke sana, para tetua menjalin kontrak kerja sama dengan VOC Belanda yang berkedudukan di Maluku pada 1679. Belanda menjadi penguasa sekaligus ‘penjaga’ Minahasa.

PERAN BUDAYA DAN AGAMA

Jufri Arorang (48) pedagang di Pasar Beriman, Tomohon, Sulawesi Utara, Sabtu (29/6/2019). Harga cabai dijual di kisaran Rp30.000-Rp35.000 per kilogram, mulai kembali normal setelah pada Mei dan awal Juni sempat menembus Rp60.000 per kilogram akibat lonjakan permintaan saat Ramadan dan Lebaran.

Di balik sejarah pertukaran dan perebutan kekuasaan itu, pahitnya kolonialisme juga memberikan rasa pedas yang membara lewat masuknya cabai. Tanaman ini kemudian digemari seiring dengan perkembangan budaya dan penyebaran agama.

Fadly Rahman menuturkan, perkembangan persepsi masyarakat terhadap cita rasa pedas di Minahasa sama halnya dengan di Jawa atau Sumatra. Orang Minahasa menerima cabai sebagai pemedas baru yang lebih dinikmati dibandingkan pemedas sebelumnya.

Sebelum cabai, masyarakat Indonesia, termasuk Minahasa, sudah memiliki pemedas yang berasal dari tanaman endemik Indonesia, seperti jahe dan lada. Namun, cabai lebih disukai karena tidak memberikan rasa pedas yang tertinggal di badan.

“Ada tanaman endemik pemedas, seperti jahe, dan lada, tapi seiring dengan kedatangan cabai, persoalan cita rasa berubah. Cabai diterima dan disukai karena punya sensai pedas yang hanya di mulut ini beda dengan lada dan jahe,” tuturnya.

Selain persoalan cita rasa, pedasnya rica juga diterima oleh kebudayaan Minahasa lantaran fungsinya yang dapat menghilangkan bau amis dari daging. Kebiasaan masyarakat memakan daging hewan buruan dari hutan membutuhkan banyak sentuhan rica.

“Salah satu fungsi dari pemedas, mulai dari jahe, lada, sampai cabai memang berfungsi untuk menghilangkan bau amis dari daging. Ternyata itu yang memang menjadi salah satu alasan mengapa orang Minahasa selalu membaurkan cabai,” katanya.

Pasar Beriman di Tomohon merupakan pusat perdagangan berbagai macam daging hewan, dari mulai tikus hutan atau kawok, anjing atau rintek wuuk (RW/bulu halus), hingga ular piton yang biasa dikonsumsi masyarakat.

Jenis daging tersebut membutuhkan bauran rica dan rempah-rempah yang kuat untuk menghilangkan bau amis. Untuk memasak satu ekor RW misalnya, diperlukan sekitar 1 liter rica yang dicampur dengan serai, jahe, bawang daun, dan berbagai bumbu lain .

Penyebaran agama Katolik dan Kristen di Minahasa yang diperkenalkan Eropa ternyata tidak serta-merta menghilangkan kebiasaan makan tersebut. Berbeda dengan pola penyebaran agama di Jawa yang menggusur kebiasaan kuliner masyarakat sebelumnya.

“Hal ini menunjukkan bahwa kondisi konsumsi terhadap kuliner itu masih tetap bertahan dari abad ke abad. Gerakan kristenisasi itu tidak serta merta menggusur kebudayaan mereka sebelumnya,” ucap Fadly.

Ivan Kaunang berpendapat, hal itu juga berkaitan dengan cara penyebaran agama di Minahasa. Kristenisasi di Minahasa membiarkan kebudayaan lokal tetap ada dan berkembang. Bahkan, dalam beberapa contoh kebudayaan lokal juga diadopsi oleh gereja.

Pedasnya rica yang dibawa Eropa dari benua Amerika telah menjadi identitas kebudayaan kuliner Minahasa. Tingginya konsumsi rica terus terpelihara hingga saat ini, bahkan acap kali menjadi penyebab inflasi di Bumi Nyiur Melambai.

Disclaimer: Artikel ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Edisi Sabtu, 29 Juni 2019 pada halaman Regional. Artikel di blog ini merupakan versi lain yang diunggah di blog pribadi penulis tanpa proses penyuntingan redaksi.

Wednesday, November 23, 2016

Gara-gara Budek (4)

Malam mulai berlalu, bahkan mungkin sudah hampir sepertiga terakhir. Apa semua tingkah aneh malam itu mulai surut? Tidak juga. Masih banyak kegilaan lainnya yang akan muncul, dimulai dengan teman debutanku tiba-tiba pergi ke kamar mandi dan muntah. Mungkin si jamur tak begitu cocok dengan perutnya, atau MSG-nya yang tak cocok, atau keduanya.

Karena tak ingin kamar mandiku kotor karena kotoran dan muntahan manusia, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkannya. Rupanya niat baikku itu tak berujung baik, karena saat aku masuk ke sana, kamar mandi seakan menawarkan sensasi yang berbeda untuk menikmati efek jamur ini. Kali ini aku bermain dengan semprotan kamar mandi, ya benar-benar bermain dengannya.

Kamar kosanku berwarna hijau, diterangi lampu tidur yang kekuning-kuningan. Sementara kamar mandi, setengah dindingnya berlapis ubin dengan pola-garis-garis, diterangi lampu neon putih terang. Seharusnya garis-garisnya cuma berwarna abu-abu, tapi saat aku masuk ke sana, berubah menjadi warna-warni pelangi, dan mereka bergoyang. Ini mengagumkan!

Aku mengambil semprotan kloset dan menyemprot muntahan, dan kotoran temanku, yang rupanya tak tepat berada di lubang kloset. Kotorannya tidak begitu berantakan, hanya terciprat sedikit ke badan kloset duduk, tapi muntahannya, benar-benar mengerikan. Semua terkumpul di sudut tembok, sepertinya terkucur dari dinding.

Temanku tak muntah di kloset, tapi muntah ke dinding kamar mandi. Sepertinya muntahannya muncrat begitu kuat, seperti muntahan orang-orang yang sedang melakukan Exorcist dalam film horror Amerika. Mungkin si debutan sedang berusaha mengusir Lucy yang sudah masuk terlalu jauh ke dalam pikirannya. “I condemned you back to Hell, Lucy!”. Semoga saja Lucy yang dimaksud bukan Lucy Pinder, karena dia jelas terlalu hot untuk neraka.

Kusemprot semua kotoran itu dengan semprotan air. Aku benar-benar menikmatinya, sambil berjongkok atau mungkin duduk, aku tak benar-benar mengingatnya. Aku pikir itu hal yang menyenangkan, aku bisa melakukan ini berjam-jam. Menyemprot air, membersihkan kotoran, melihat pelangi, dan menonton garis-garis dinding yang bergoyang.

Mungkin aku terlalu lama di kamar mandi, si mirip Ambon berpikir ada yang tidak beres denganku. Dia datang dan menghentikan keasyikanku dengan semprotan, pelangi, dan dinding yang bergoyang. Sedikit sedih waktu dia membawaku keluar, “apa yang salah dengan main semprotan di kamar mandi?” pikirku waktu itu.

Sebetulnya aku harus berterima kasih kepadanya, karena mungkin kalau dia tidak menjemputku di kamar mandi, aku akan berada di sana sampai pagi. Setelah itu aku duduk lagi menikmati alunan musik sembari memejamkan mata. Pikiranku mulai kembali menggila—atau sebetulnya aku memang gila semalaman—kali ini aku berpikir soal adanya aturan agama yang mengatakan musik itu haram.

Aku rasa aku benar-benar jenius malam itu. Aku memecahkan alasan mengapa musik itu haram! Ya, jelas saja, karena jika dikombinasikan dengan jamur bisa membuat pendengarnya masuk ke dalam dunua yang lain! Untung saja tidak semua orang memakan jamur saat mendengarkan musik, ah, atau sebetulnya semua musisi juga memakannya sehingga bisa membuat musik seperti itu?

Baiklah, kini aku paham semua musisi adalah pendosa. Ah, bukan. Semua manusia adalah pendosa. Dengan atau tanpa musik. Dengan atau tanpa jamur. Semuanya hidup untuk berbuat dosa. Menyesalinya, melakukannya lagi, dan menyesal kembali. Dosanya tak pernah sama, tapi pelakunya selalu sama: Manusia.

Pikiran-pikiran itu muncul dan pergi begitu saja, beruntung waktu menuliskan cerita ini aku bisa mengingatnya. Akan tetapi, waktu semuanya terjadi berpikir itu seperti buang-buang waktu saja. Aku bisa menemukan sesuatu yang brilian dalam pikiranku, tapi kemudian hilang. Berpikir lagi, tahu lagi, lalu lupa lagi.

Perlahan-lahan si jamur mulai kehilangan efeknya pada diriku, dan mungkin juga pada teman-temanku. Aku mulai sadar dan bisa bergerak normal. Si debutan juga mulai sadar, tapi masih sulit bicara. Si mirip Ambon tetap saja seperti itu, selonjoran sambil mendengarkan Rock The Casbah, agak sulit menakar tingkat kesadarannya. “Semuanya akan berakhir sebentar lagi, syukurlah,” ucapku dalam hati.

Kalau tidak salah, itu sudah hampir jam 4 atau mungkin jam 5 pagi. Setelah ini aku harus menata ulang hidupku kembali. Aku merasa seperti komputer yang diinstall ulang, aku bingung apa rencana hidupku sebenarnya. Mungkin terdengar berlebihan dan tidak masuk akal, tapi itu benar-benar yang aku pikirkan waktu itu. Mungkin aku harus memulainya dengan tidur, aku sudah mulai ngantuk.

Sebentar, sepertinya ada yang salah. Aku memulai cerita ini bersama tiga orang kawanku bukan? Aku, si debutan, si empunya pulsa, dan si mirip orang Ambon. Si debutan sudah kusebutkan tadi, dia mulai sadar dan tidak lagi bermain bersama Lucy. Si ambon, masih seperti biasa dengan Rock The Casbah-nya, cuma berhenti buang air saja. Si pengirim SMS, alias si empunya pulsa, di mana dia dalam cerita ini? Aku melewatkannya!

Baru saja aku mulai mengantuk, tiba-tiba salah satu dari kami mengangkat meja! Dia terlihat seperti monster yang mulai mengamuk. Dia mengangkat meja, sepertinya hendak membanting meja itu. Tak lain dan tak bukan, ya dia adalah si pengirim SMS! Orang yang hilang dalam cerita ini, orang yang tak kuingat keberadaannya malam itu. Ini gawat, sepertinya efek si Jamur telat naik ke otaknya.

Saat yang lainnya mulai sadar, dia malah baru mulai menggila. Mungkin di awal dia terlalu menahan diri, tidak rileks, tidak mengikuti instruksi sederhana dari pengonsumsian jamur di manapun: Lemesin aja, jangan dilawan. Beruntung si mirip Ambon cukup gesit untuk mencegahnya mengobrak-abrik seisi kamar. Dengan perlahan-lahan, kami menyuruhnya duduk kembali.

Dia mulai duduk dan menyetel lagunya sendiri lewat head set. Kami semua mulai tenang untuk beberapa waktu. Meski begitu, kami masih tetap waspada akan kemungkinan setiap kegilaan yang bisa muncul kapan saja. Di tengah-tengah kami yang mulai sadar, masih ada satu orang yang justru baru mulai terkena efek si jamur. Dan MSG, tentunya.

Suasana mulai hening, aku mulai mengantuk tapi tak bisa tidur. Mau bicara sulit, bergerak apalagi, aku cuma bisa diam dan berpikir, sampai pagi. Rupanya keheningan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba si empunya pulsa menggeliat di karpet, dia seperti tercekik sesuatu. Dia seperti dalam lilitan ular kobra atau cracken, atau makhluk lainnya yang bisa melilit.

Kami jadi ikutan panik dan berusaha menenangkannya. Melepaskan lilitan headsetnya yang berantakan di tubuhnya. Sebetulnya dia tidak terlilit sama sekali, tapi entah bagaimana caranya dia bisa merasa seperti itu. Cuma dia yang benar-benar tahu rasanya. Untung saja dia tidak melawan dan membuat semuanya tambah kacau.

Si empunya pulsa masih menjadi sorotan. Meski kali ini dia cuma duduk dan melamun, kami masih mewaspadai kegilaan yang munkin dari si late bloomer ini—Mungkin sebutan “Late Bloomer” tidak tepat untuk situasi seperti ini, tapi entahlah itu terdengar cocok. Setiap gerak-geriknya kami perhatikan, semua orang tiba-tiba waspada tiap kali dia bergerak.

Mungkin dia agak risih kami perhatikan seperti itu, sampai akhirnya dia pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Aku pikir dia tidak benar-benar ingin kencing, kurasa dia cuma ingin “me time” sejenak. Tak ada yang aneh darinya saat pergi ke kamar mandi, kurasa semuanya aman. Tidak akan ada hal aneh lainnya. Semua mulai tenang dan normal.

Sial! Penilaianku salah. Dia mungkin benar-benar kencing di kamar mandi, lewat alat yang seharusnya, dan juga dengan posisi yang tepat, tapi celananya? Ada yang salah dengan celananya. Dia yang waktu itu menggunakan celana jeans sepertinya lupa menurunkan celananya saat buang air besar. Memang benar saat dia keluar kami melihat gespernya telah dilepas, tapi celananya tidak.

Melihatnya seperti itu aku dan si debutan langsung mencarikannya celana pendek untuknya. Celananya benar-benar bau pesing, bau air kencing yang penuh dengan senyawa psilocybin. Untung dia tidak beranjak dari tempatnya. Si debutan memberinya celana pendek dan memintanya berganti celana di dalam kamar mandi.

Rupanya niatan baik itu tak disambut dengan baik dan suka rela oleh si late bloomer. Dia menolak mengganti celana, dia merasa tak perlu akan hal itu. “Apaan sih? Orang gue gak kenapa-kenapa,” katanya. “Udah, ganti dulu, itu basah celananya,” jawab si debutan. Terjadi perdebatan kecil di sana, untung tidak lama. Dia akhirnya mengalah dan masuk ke kamar mandi.

Tak lama kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan celana jeans yang sama, dengan gesper yang masih terlepas, dan menenteng celana pendek di pundaknya. Jelas, ada yang tidak beres dengannya, aku mulai takut. “Ganti dulu celananya,” kata si debutan. “Apaan sih, ini kan udah gue ganti,” jawab si late bloomer agak marah. Dia benar-benar keras kepala, dan itu jelas tidak baik untuknya ataupun untuk kami semua.

Sang debutan terus membujuknya masuk ke kamar mandi lagi untuk benar-benar mengganti celananya. Entah bagaimana caranya membujuk, akhirnya dia berhasil membuatnya masuk lagi ke kamar mandi. Semoga saja kali ini dia benar-benar mengganti celananya. Kami menunggu lagi, mungkin sambil sedikit berdoa, dan menikmati sedikit dari sisa-sisa efek jamur yang masih ada.

Kami mungkin terlalu berharap padanya. Dia kembali keluar dari kamar mandi dengan setelan yang sama. Celana pendeknya masih di tenteng di pundaknya, dan dia masih bersikeras dia telah mengganti celananya. Ah, sudahlah, di titik ini aku mulai masa bodoh dengannya, ataupun dengan senyawa psychedelic yang membanjiri celananya.

Aku tak ingat bagaimana caranya, tapi akhirnya dia mengganti celannya. Yang tak jelas aku ingat adalah di mana dia menaruh celana jeans-nya yang bau pesing itu. Di gantungkan di gantungan baju, atau di jemuran, atau sebetulnya masih dia tenteng di pundaknya, aku tak ingat. Akhirnya semuanya benar-benar berakhir. Kami perlahan sadarkan diri, dari sini tak ada lagi kegilaan yang terjadi sampai pagi.

Kencing di celana adalah kegilaan yang menutup malam kami yang panjang. Teman-temanku mulai tertidur, aku mulai mengantuk tapi belum bisa tidur. Aku keluar kamar untuk mencari udara segar. Aku memandangi langit yang masih gelap, aku merasa seperti berdialog dengannya, atau mungkin berdialog dengan pemilik langit, aku tak bisa pastikan.

Begitu lama kupandangi dia, sampai ayam berkokok entah dari mana mulai terdengar di telingaku. Udara mulai menghangat, langit mulai menguning, matahari mulai melambung, dan aku masih saja melamun. Tidak banyak yang kuingat, tapi aku yakin betul aku memikirkan banyak hal. Mungkin itu yang orang-orang bilang “basi-an”, atau efek yang muncul saat pengaruh si jamur mulai hilang, dan hal itu jelas tidak menyenangkan.

Aku seperti merasa menjadi seorang filsuf, aku merasa aku adalah Socrates—tentunya bukan yang pemain sepak bola. Aku bertanya, aku menjawabnya. Aku lupa lagi, bertanya lagi, dan menjawab lagi. Banyak sekali pertanyaan soal kehidupan manusia yang muncul, kujawab semuanya, dan kulupakan semuanya. Perasaan itu begitu absurd dan sulit digambarkan. Aneh, benar-benar aneh, mungkin juga mengerikan, tapi juga menyenangkan, aneh!

Apa malam itu membuatku menyesal? Sedikit. Apa malam itu mengubah hidupku? Tidak juga. Apa aku tidak akan bertemu lagi dengan jamur itu? Entahlah, mungkin saja, aku tak bisa jamin apa-apa, tapi sebisa mungkin akan kucoba agar tidak mengalaminya lagi. Satu hal yang bisa kupastikan setelah malam itu hanyalah: Aku akan lebih hati-hati saat mendengar kata “jamu”—dan tentunya akan lebih sering membersihkan telinga.

Sunday, November 13, 2016

Gara-gara Budek (3)

Sebuah video yang berisi ilusi optik distel di layar monitor komputer jinjingku. Aku duduk di kursi, yang lainnya duduk di kasur, dan di lantai. Kami semua terperangah, seakan masuk ke dalam video tersebut. Sekilas, video tersebut cuma berisi sebuah gambar spiral yang terus berputar ke dalam. Anehnya, semakin lama menonton, semakin masuk ke dalamnya. Durasi videonya tak begitu lama, mungkin cuma satu sampai dua menit saja, tapi setelahnya, semua mulai berbeda.

Tiba-tiba kepalaku miring ke arah kanan, seperti tertarik ke bawah, terbawa suatu gaya yang aneh. Aneh sekali, ada sesuatu yang ganjil dan tak biasa di sini. Aku menengok ke kanan, melihat wajah teman debutanku yang sedang duduk di kasur. Wajahnya aneh sekali, meliuk-liuk, bergelombang, bukan manusia! Wajahnya tiba-tiba seperti wajah Indro dan Dono pada bagian intro Warkop Milenium.

Jamur sudah bekerja, ini pasti tidak akan baik-baik saja, hal aneh pasti terjadi di sini. Dari pada terjadi sesuatu yang tidak-tidak, kupindahkan terlebih dahulu komputer jinjingku ke kursi, dan dihadapkan ke kasur. Aku buat posisinya begitu agar tidak terjadi hal yang aneh-aneh, kami berempat harus menikmati efek jamur ini dengan tertib dan tidak rusuh, setidaknya itu yang aku rencanakan.

Menyadari efek jamur ini sudah semakin menjadi aku berusaha membuat diriku senyaman mungkin. Karena belakangan ini aku sedang keranjingan lagu-lagu instrumental, ambient, dan postrock, kuputar salah satu akun souncloud yang punya lagu-lagu terbaik untuk itu. Kalau tidak salah namanya Preserved Sound, sebuah label rekaman dari Eropa, aku lupa tepatnya di mana.

Berdasarkan referensi yang aku punya perihal menikmati hal seperti ini, lagu-lagu yang kusebut di atas akan terdengar lebih nyata dan lebih berbahaya di bawah pengaruhnya. Tiap suara yang terdengar akan lebih keras di telinga, kadang masih menempel hingga beberapa detik setelah suaranya hilang. Emosi yang terbangun lewat lagu juga akan lebih hidup. Aku pikir aku sudah melakukan sesuatu yang tepat untuk menikmati si jamur malam itu.

Waktu terus berlalu, kalau tidak salah sudah pukul 10 atau 11 malam. Kami berempat mulai melakukan hal-hal aneh. Temanku yang punya kontak sang saudagar berada di depanku, cuma duduk di lantai dengan wajah agak pucat, ekspresi wajahnya sedikit ketakutan, tapi terlihat masih waras. Sementara itu, temanku yang debutan mulai mengawang-ngawang, duduk di sebelahku menikmati musik dengan mata terpejam.

Di belakangku, teman mirip Ambonku tampak sudah lebih antisipatif akan efek jamur ini, dia menyetel lagu kesukaannya sendiri lewat telepon genggamnya. Dia berbaring ke arah jendela di dinding Barat ruangan, matanya terpejam, kupingnya dicocoki head set, dan kakinya, lagi-lagi, bergoyang seperti saat menyetel dangdut koplo. Bedanya, kali ini dia memutar lagu Rock The Casbah dari The Clash, dan tentunya tak lagi meminta jamu.

Aku semakin bingung dengan apa yang kulihat, semuanya terlihat bergoyang dan begelombang. Aneh sekali, seperti saat melihat aspal di bawah terik matahari. Tapi ini di kosanku, tidak ada sinar matahari ataupun benda lain yang panasnya bisa membuat pandanganku seperti itu. Tadi kepalaku berat, sekarang penglihatanku mulai tak masuk akal. Si jamur mulai kurang ajar, aku tahu itu.

Si debutan mulai mengambil gitar dan memainkannya. Dia benar-benar menikmatinya, memainkannya layaknya John Petrucci, kadang juga seperti Jimi Hendrix. Mungkin rambut panjangnya memang mirip Petrucci, tapi badannya yang besar membuatnya lebih mirip dengan Jack Black dalam film Tenacious D. Dalam salah satu adegannya, Jack Black juga sedang dalam pengaruh magic mushroom, benar-benar mirip.

Aku tak sempat memperhatikan temanku yang lain, ya si pemilik kontak saudagar itu. Untuk alasan yang tak aku ketahui, aku malah fokus pada karpet di kamarku. Sebisa mungkin aku membuatnya rapi, tak boleh ada bagiannya yang terlipat sama sekali. Tiap kali karpetku bergeser, aku buru-buru merapikannya. Entah benar atau tidak, tapi seingatku begitu. Sambil merapikan karpet, aku selalu mengatakan, “Harus rapi, gak boleh berantakan”.

Masing-masing dari kami mulai asyik dengan dunianya sendiri. Aku sendiri mulai memikirkan banyak hal, tapi tak sanggup mengatakannya. Sesuatu yang brilian, sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, tapi aku tak bisa mengatkannya. Lidahku kelu, tiap mau bicara, yang terucap bukan yang kuinginkan, bahkan beberapa kali, tak bisa bicara sama sekali.

“Aduh...”

“Itu SBY waktu itu kan, aduh...”

“Aduh, malah aduh-aduh lagi...”

Yang unik malam itu, selain aku yang cuma bisa bilang “Aduh”, saat aku melantur, teman debutanku selalu mengerti dan meladeniku. Seingatku aku seperti mengobrol dengannya, dengan kata-kata pendek yang tak jelas, tapi nyambung. Misalnya aku bilang, “Ah, itu dunia itu, iya gitu kan, ji? Aduh...” atau “Heeh, ya, heeh?” maka dia akan menjawab, “Iya, gitu betul, gitu” atau “Iya, heeh, iya”.

Karena bicara sangat sulit, aku ingin mengabadikan pikiranku dalam tulisan, aku ingin menuliskannya lewat catatan. Aku buka aplikasi Microsoft Word, jemariku sudah benar-benar berada di atas key board, tapi tetap tak ada yang bisa kutulis. Semuanya aneh, semakin aneh. Aku pikir kedua tanganku sudah tak lagi sinkron, mungkin kemampuan motorikku sudah mulai lumpuh.

Aku lihat baik-baik kedua tanganku. Aku berusaha mempertemukan kedua telapak tanganku, tapi mereka tak pernah bertemu! Ini aneh! Apa aku tibat-tiba mengidap ataksia? Aku mencoba, lagi-dan lagi, tapi semuanya percuma. Sang jamur telah menumpahkan magisnya pada tanganku. “Gimana ini, tuh liat, kanan, kiri, tapi gak bisa ketemu!” ucapku berulang-ulang.

Mungkin karena aku mulai menyebalkan dengan tingkah yang aneh itu, teman debutanku tiba-tiba pergi ke luar kamar. “Ji, mau ke mana?” tanyaku padanya. Aku takut, dia masih debutan, apa dia benar-benar bisa berjalan dengan baik? Tiba-tiba aku jadi paranoid. “Mau ke kamar, sebentar-sebentar,” jawabnya dengan tersenyum.

Kuperhatikan, ternyata benar dia berjalan ke kamarnya, syukurlah. Tapi setelah itu aku duduk, dan bertanya pada temanku yang lain, “Tadi dia ke mana, ya?”. “Ke kamar,” jawab temanku yang makin pucat dan tertunduk lesu. Itu terjadi berulang-ulang, aku selalu menanyakan apa yang aku sudah tahu. Aku rasa ada yang aneh short term memmory-ku.

Aku tidak bisa mengingat dengan baik setiap hal yang baru saja terjadi, atau perkataan orang lain. Mungkin aku dikutuk jadi Dory karena memakan jamur ini. Atau, mungkin juga pembuat karakter Dory dalam film FInding Nemo yang terkenal itu terinspirasi dari efek jamur ini? Atau memang dalam ceritanya Dory adalah ikan yang doyan makan jamur? Ah, masa bodoh.

Alunan musik dari Soundcloud semakin menambah efek si jamur. Karena itu sebuah playlist, urutan lagunya tak bisa kuubah. Lagu-lagunya terputar secara berulang-ulang dan tak ada habisnya. Lagunya kadang terdengar menyenangkan dan menggugah semangat, tapi kadang juga terdengar sedih dan mengiris hati, kadang juga membuat takut diri sendiri.

Rupanya keputusan memutar lagu dari akun tersebut adalah keputusan yang tak tepat-tepat amat. Tiap nada minor keluar, tiba-tiba ada sesuatu yang aneh. Aku jadi panik tiba-tiba. Gundah, perasaannya campur aduk tapi mengambang. Tidak nyata, tapi sungguh terasa. Ada sesuatu yang terasa panas dan membakar di tulang belakangku, membuat badanku mengeliat, ini gila!

Selama beberapa menit, semua itu terjadi secara berulang-ulang. Lagu senang, hatiku terasa damai, lagu sedih, aku merasa takut dan panik. Aku merasa dipermainkan oleh lagu-lagu itu. Aku yakin si Preserved Sound itu sudah bekerja sama dengan korporasi dagang jamur seluruh dunia. Mereka pasti sengaja membuat lagu seperti itu untuk orang-orang yang sedang dalam pengaruh jamur. Aku yakin itu!

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, si debutan kembali ke kamarku. Ada yang aneh dengannya, senyumnya semakin lebar, matanya semakin menyipit, dan rambutnya basah! Bajunya juga benar-benar basah! Seperti baru disiram air lewat selang oleh perempuan seksi dalam iklan pompa air Shimizu, “Sedotannya kuat, semburannya kenceng!”. Semuanya kaget melihatnya seperti itu.

“Dari mana, ji?” tanyaku padanya. Bukannya menjawab dia cuma semakin melebarkan senyumnya dan duduk bersila di tengah-tengah karpet. Dia tiba-tiba menunduk, ini semakin aneh! Dia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya, berkali-kali. Kutanya lagi dia, “Dari mana ji?”. Dia benar-benar seperti arca, cuma diam dan duduk bersila. Arca yang gemuk.

“Hmm... Aku dari perjalanan yang sangat jauh,” jawabnya dengan lembut. Senyumnya makin lebar, wajahnya yang hampir bulat sempurna terlihat semakin menggemaskan. Seketika aku tidak merespon jawabannya, aku tiba-tiba ingat bayi legendaris yang menjadi matahari dalam Teletubbies. Ya, wajahnya mirip sekali dengan bayi itu! Apa mungkin sebenarnya dialah sang bayi, dan sekarang sudah dewasa?

Aku terdiam memikirkan hal itu untuk beberapa saat. Sampai tiba-tiba lagu dengan nada minor terdengar dari komputer jinjingku. Nada-nada itu benar-benar menghantamku telingaku,  lagi-lagi, aku tiba-tiba lesu dan layu. Kali ini, kuambil gitar yang berada tak jauh di sampingku, aku berdiri, memeluk gitar itu, dan berdansa dengannya. Sembari memejamkan mata, aku merasa sedang berada dalam pesta dansa kolosal.

Aku tak benar-benar ingat apa yang aku pikirkan saat melakukan itu, tapi aku ingat betul itu terasa menyenangkan. Mungkin karena saat itu aku sedang jomblo, aku merasa seperti sedang berdansa dengan seorang perempuan. Kata orang, perempuan yang badannya bagus itu yang seperti gitar Spanyol, mungkin saja, sekali lagi, mungkin saja, kuanggap gitar itu perempuan aduhay yang bohay luar biasa.

Si mirip Ambon yang dari tadi cuma goyang-goyang kaki tiba-tiba bangun dan ingin buang air besar. Dia masuk ke dalam kamar mandi yang berada di surut ruangan. Sekali lagi, karena aku tak mudah mengingat apa yang baru saja terjadi, aku menanyainya berulang-ulang dengan pertanyaan yang sama. “Dik, lu boker beneran?” tanyaku. “Iya,” jawabnya. Semua terjadi berulang ulang, pertanyaan yang sama, jawaban yang sama.

Sampai sekarang, aku tak ingat dia buang air besar berapa kali, entah berulang-ulang atau hanya sekali. Mungkin karena yang aku ingat aku menanyainya berulang-ulang aku pikir dia buang air besar berkali-kali, tapi entahlah. Tapi aku tak mungkin salah dengan kejadian setelahnya, di mana teman debutanku mulai meracau tak jelas. Dia terbaring di kasur, sambil mengatakan hal aneh, “I see Lucy, ah... Lucy in the sky...”.

Mungkin, ya cuma mungkin, dia mencoba mengasosiasikan apa yang dilihatnya dengan lagu kesohor dari The Beatles, Lucy In The Sky With Diamonds. Si debutan sedang berusaha memahami lagu itu, lagu yang katanya merujuk pada pengalaman Beatles saat menggunakan LSD. Mungkin dia sedang bertamasya bersama Lucy di sebuah negeri imajinasi yang tak mungkin. Seperti apa Lucy itu? Si debutan yang tahu.

Tak lama berselang, si mirip Ambon kembali dari kamar mandi, dia duduk di samping kasur. Di atas kasur masih ada si debutan yang masih menikmati euforia bertemu Lucy. Tiba-tiba, ya, selalu tiba-tiba, si debutan bangun dan bertanya dengan panik. “Dik, gue gak apa-apa kan?” tanyanya. Si mirip Ambon menjawab, “Enggak, kok”. Sama sepertiku, dia menanyainya pertanyaan yang sama, berulang-ulang, dan dijawab dengan jawaban yang sama, berulang-ulang.

Mendengar kepanikan si debutan, aku juga mulai panik. Aku melihat pisau yang ada di atas rak buku, tepat di sebelah meja. Entah kenapa, aku tiba-tiba takut melihat pisau itu. Apa yang bisa aku lakukan dengan itu? Atau aku sudah melakukan sesuatu dengannya? Atau mungkin salah satu dari kami sudah menggunakannya untuk sesuatu? Aku ketakutan setengah mati, tapi aku berusaha menyembunyikannya.

Dari pada terus ketakutan, aku memutuskan untuk menonton sesuatu yang menyenangkan. Aku tak ingin efek jamur ini terbuang sia-sia dalam ketakutan karena sebilah pisau yang sebetulnya hanya diam. Lewat laman muka Google aku cari “Best Trippy Websites”. Dan rupanya ada website semacam itu di dunia maya, aku baru tahu, dan aku terperangah takjub akan itu.

Ada 15 laman web yang bisa dikunjungi dari postingan yang aku klik di Google. Semua web yang ditawarkan bisa dikatakan cukup absurd, aneh, tapi sepertinya memang cocok untuk orang dalam kondisi trippy. Ada yang berisi wajah perempuan dengan mata besar yang menyeramkan, ada yang hanya berisi kotak-kotak dengan gambar seekor kudanil yang berputar-putar diiringi suara “Hippo! Hippo! Hippo!”, aneh sekali.

Tapi ada satu web yang paling lama aku nikmati, aku tak ingat namanya, tapi web itu sangat menarik. Cukup sentuh touch pad dengan jari, tiba-tiba banyak warna yang muncul tak beraturan di monitor. Aku merasa seperti berada di tengah-tengah galaksi. Menyenangkan sekali. Bukan hanya aku, si debutan dan si ambon juga ikut menikmatinya, seingatku sih begitu.

Sunday, November 6, 2016

Gara-gara Budek (2)

Aku ingin memutar waktu, kembali ke saat lagu dangdut koplo itu dimainkan. Ingin kukorek kupingku sampai bersih, agar tak budek-budek amat. Budek sedikit sebetulnya tidak apa-apa, toh Haji Bolot juga budek tapi bisa memberi hiburan yang tak ternilai. Setidaknya, supaya tak ada kejadian konyol yang berujung malapetaka. Rasa takut itu makin menjadi, pikiranku memvonis diriku sendiri, aku hanya akan jadi mahasiswa yang tak sanggup menyelesaikan studi karena perkara budek.

Kabar baik pun datang, mungkin karena segala doa dan amal baik kami secara kumulatif selama hidup ini mampu menyelamatkan kami. Atau mungkin juga karena sebetulnya hal ini adalah sesuatu yang lumrah, tak perlu jauh-jauh terjebak dalam ketakutan yang mungkin juga cuma mengada-ngada. Entah lah, yang jelas kedua rekan kami datang dengan kabar baik.

Segala pikiran buruk itu hilang seketika, entah bagaimana cara otakku bekerja waktu itu, tapi sekiranya itulah yang aku pikir. Padahal, sebetulnya rasa takut akan sirine, dosa, dan jeruji tak pernah sepenuhnya hilang. Masih ada kemungkinan buruk lainnya, masih banyak. Misalnya saja, bagamaina kalau ternyata sekembalinya mereka dari proses transaksi, polisi-polisi itu mengikuti?

Dari pada memikirkan hal yang tidak-tidak, lebih baik segera membuka barang bawaan mereka berdua. Rasanya aku seperti anak kecil yang begitu girang dengan kedatangan orang tuanya sepulang bekerja, membawa buah tangan yang menyenangkan. Mungkin memang bukan mainan dari Happy Meals, atau juga mainan Megazord, ataupun Toy Story, tapi perasaannya sama-sama menyenangkan.

Mereka berdua kembali dengan wajah agak sumringah, atau lega, atau keduanya. Yang jelas, mereka berdua kembali dengan selamat, membawa si jamur impian yang ditunggu-tunggu, dalam sebuah kantung kresek hitam murahan. Tidak terlihat manis ataupun menyenangkan, tapi aku yakin itu memabukkan. Seperti barang-barang jahat lainnya yang dibawa dengan kantung kresek yang sama.

Kadang aku bingung, mengapa kantung kresek hitam identik sekali dengan hal yang jahat. Bukan hal baru menyaksikan barang jahat dalam kantung kresek. Di tiap sudut kota, di helatan musik di kampung sampai di ibu kota, kresek hitam di mana-mana. Isinya macam-macam, anggur merah, intisari, ciu, lapen, bahkan lem aibon. Kali ini, satu lagi hal buruk dibawa dalam kresek hitam, jamur.

“Gue udah mau cabut tadi, lama banget, takut kena cepu gue,” ujar teman keambon-ambonanku. “Ayo buka lah nih, dikasih bonus sama abangnya, royco nih,” tambahnya. Aku bingung bukan main, apa hubungannya royco dengan jamur ini? Apa kandungan MSG yang katanya bikin warga Indonesia bodoh-bodoh ini bisa bikin tambah mantap efek si jamur?

“Biar mantep katanya, soalnya gak ada rasanya, kasih royco aja biar ada rasanya,” kata temanku yang lain menimpali. Ah, cukup masuk akal. Mengingat dari mana jamur ini berasal, rasanya mungkin bisa bikin mual, dan royco ini adalah penawarnya. Aku yang makin penasaran segera mengambil mangkuk besar sebagai penampungan terakhir jamur-jamur lucu itu, sebelum masuk ke dalam perut kami dan melaksanakan tugasnya.

Tak kuduga, rupanya jamur ini tak seperti jamur crispy yang aku bayangkan. Dalam pikiranku, jamur itu seperti jamur crispy yang biasa aku beli di warung makan, kecoklat-coklatan, panjang-panjang, berlapis tepung ala KFC. Rupanya jamur ini bulat-bulat dan kecil-kecil. Bukan jamur yang biasa ditemukan dalam cah jamur ataupun jamur crispy pada umumnya. Baunya? Entahlah. Rasanya? Biar royco yang bekerja untuk hal ini.

Saat jamur-jamur itu terkumpul di mangkuk dan mulai ditaburi dengan royco, aku benar-benar tidak tertarik. Warnanya yang coklat gelap, agak hijau, seperti kripik bayam, bedanya ini kecil-kecil dan bulat. Aku tak suka kripik bayam, siapapun yang buat, atau dibeli dari manapun. Hal itu sempat membuatku hampir mengurungkan niatku untuk melahap jamur-jamur itu beserta kegilaan yang dibawanya.

“Sini tangannya, bikin seukuran segini,” temanku memberi instruksi. Dia meminta kami merapatkan jari-jari di tangan kami, membuat genggaman kosong, membentuk tangan kami seperti akan mengambil air di kolam atau di bak mandi. Aku sempat tidak percaya ini benar-benar terjadi, sebentar lagi. Tanganku ini akan segera dipenuhi oleh jamur-jamur itu, jamur impian, jamur ajaib, jamur jahat!

mengapa jamurnya sedikit sekali? Aku pikir dengan ukuran seperti itu, itu cuma akan bikin geli. “Percaya sama gue, segini aja dulu, rasain dulu dah,” ujar temanku. Karena dia sudah lebih berpengalaman dengan hal ini, aku percaya-percaya saja. Biar dia melakukan tugasnya dan menunjukkan kepadaku cara terbaik yang mungkin agar jamur ini bekerja sebaik mungkin.

Aku, temanku yang debutan, temanku yang punya pulsa, dan temanku yang memicu hal ini terjadi, telah menggenggam jamurnya masing-masing. Mereka mulai melahap jamur-jamur itu dalam satu suapan, seperti saat anak kecil menikmati Mie Kremez, ataupun Mie Soba. Mereka tampak masih waras dan sehat setelahnya. Tak seperti yang aku kira, si jamur rupanya tak bekerja dalam hitungan detik.

Sesaat sebelum melahapnya, aku masih bertanya-tanya, seperti apa rasanya? Apa benar ini jamur yang selama ini dibicarakan di mana-mana? Tapi mengapa benar-benar mirip seperti kripik bayam yang aku benci. Satu-satunya hal baik soal jamur ini adalah, dia berlumur royco. Pasti asin, dan sesuai dengan lidah indonesiaku yang butuh asupan MSG dalam jumlah yang tak sedikit.

Dari pada aku mati penasaran dengan menggenggam jamur, aku putuskan melahapnya dalam satu suapan, sama seperti yang lain. Jamur-jamur itu aku kunyah perlahan, mencoba meraba-raba rasa asli dari jamur ini. Tapi itu sia-sia, yang muncul cuma rasa royco yang asin. Bahkan setelah aku pastikan semua jamur itu telah melewati tenggorokanku, rasa asinnya masih kuat dan terasa menyala-nyala dalam mulut.

Tak ada yang berubah, semua masih biasa saja. Aku melihat teman-temanku yang lain, mereka juga masih waras, sehat wal afiat, biasa-biasa saja. Mungkin kami salah beli jamur, mungkin saja itu hanya jamur merang yang dibuat sedemikian rupa agar mirip kripik bayam. “Tunggu dulu, gak langsung kerja dia,” kata temanku yang semalaman itu akan menjadi satu-satunya orang yang agak waras di dalam kamar.

Kami yang belum kunjung merasakan sesuatu dengan masuknya jamur-jamur tadi mencoba melakukan sesuatu agar mereka cepat bekerja. “Kami butuh stimuli untuk ini!” itulah mungkin yang kami pikir waktu itu. Akhirnya, dicarilah medium-medium lain yang bisa membuat sang jamur bekerja lebih cepat. Dari mulai video hingga gambar yang mengandung muatan ilusi optik, kami tonton semuanya, dan itu bekerja! Ini benar-benar terjadi!

Sunday, October 30, 2016

Gara-gara Budek! (1)

Di suatu hari libur kuliah, aku lupa kapan tepatnya, yang jelas saat liburan kuliah. Aku dan tiga orang temanku melakukan hal terkonyol dalam hidupku, entah buat yang lain, tapi buatku itu benar-benar bodoh. Tak ada rencana, tak ada juga keinginan yang begitu sangat, semua terjadi begitu saja. Diawali sebuah kekonyolan yang teramat sangat.

Temanku yang rupanya mirip orang Ambon tapi bukan orang Ambon sedang asyik menyetel video dangdut koplo di Youtube. Entah bagaimana awalnya, tapi begitulah dia, dari Daft Punk, sampai alunan dangdut pantura masuk ke telinganya. Di tengah-tengah anggukan kepalanya yang nikmat, dan hentakan kakinya yang ikuti irama, tiba-tiba dia mengucapkan sesuatu yang menjadi awal mula kekonyolan kami sore itu.

Waduh asyik banget nih, apa lagi kalo pake jamu, mantep pasti,” ucapnya tiba-tiba. Jamu yang dia maksud adalah jamu memabukkan yang bisa kamu temukan di warung jamu manapun. Bisa intisari atau anggur merah, yang jelas murah dan bikin meriah. Aku yang waktu itu sedang tidak begitu fokus, dan mungkin memang sudah agak budek karena jarang membersihkan kotoran telinga, salah mendengar ucapannya.

Apaan? Jamur?” tanyaku spontan. “Bukan! Jamu, ah budek dah lo,” jawab teman agak ambonku. Sampai di sini perkara budek belum jadi biang masalah, sekadar bahan instrospeksi diri saja. Lagi-lagi aku salah dengar, sepertinya membersihkan telinga tak boleh terus menerus aku tinggalkan. Mungkin besok-besok aku harus lebih sering membeli cotton buds—yang padahal sebetulnya bukan alat yang tepat untuk membersihkan telinga, tapi di Indonesia, begitulah adanya.

Tiba-tiba saja, temanku yang lain menyahut, “Sabi sih, gue belum pernah nih.” Di sinilah semuanya dimulai! semua terjadi begitu cepat, begitu ganjil, dan tak terduga. Sahut-sahutan kami sore itu layaknya pertunjukan humor dengan naskah yang padu, tapi jujur saja, semua terjadi begitu saja. Jika kuingat-ingat, mungkin itu adalah cuplikan terkonyol seumur hidupku sejauh ini.

“Nah, ini gue ada kontak abang-abang yang jual nih, tapi gak ada pulsa,” ujar temanku yang lain. Teman yang satu ini sudah pernah mencoba jamur yang dari tadi kita bicarakan, mungkin sudah beberapa kali. Hanya berselang detik, satu kalimat penutup tiba-tiba terucap dari si Ambon tapi bukan Ambon. Kalimat yang menutup sahut-sahutan konyol itu, dan mengawali kegilaan kami di sebuah kamar kosan di suatu sudut Jatinangor.

“Gue ada pulsa nih!”

Semua kepala yang ada di kamar tiba-tiba terdiam sejenak. Aku tak tahu apa yang ada di tiap-tiap kepala itu, tapi setidaknya aku bisa beri tahu apa yang muncul di kepalaku. Kira-kira begini, “Ini akan menjadi sesuatu yang gila, aku belum pernah mencoba hal ini sebelumnya. Cerita soal jamur yang selama ini cuma legenda sebentar lagi akan kesampaian juga.”

Tiba-tiba aku ingat seorang teman dari masa pengabdian (atau pengasingan) di Pangandaran. Dia memberitahuku pengalamannya dengan jamur. Dia bilang itu pengalaman yang paling mengerikan buatnya. Dirinya hilang entah kemana, dia lupa apa yang dilakukannya. Tinggal luka-luka, dan sakit badan yang dia dapat setelah bangun.

Teman ini adalah seorang yang sudah cukup ahli di bidang ini. Jika dibandingkan dengan aku, aku mungkin baru sampai di fasenya ketika SMP atau SMA. Segala macam zat-zat terburuk sekalipun sudah pernah mampir dalam aliran darahnya. Kenyataan ini semakin membuatku gugup, akan seperti apa aku nanti? Seorang yang sudah lebih banyak pengalaman saja bisa hilang kontrol, apa lagi aku? Aku benar-benar gugup, takut, merasa bodoh, tapi juga bersemangat.

Setelah keheningan itu berakhir, kekonyolan tak terlupakan itu akhirnya berlanjut. Dikirimkanlah sms kepada sang saudagar, menanyakan ketersediaan si jamur yang dicari-cari. Sampai titik ini aku sempat masih tak percaya dan berharap ini tidak nyata. Semakin aku berharap demikian, semakin nyata kejadian ini. Tak lama berselang, si penjual membawa kabar baik. Dia sedang punya stok melimpah, tapi dalam bentuk jamur crispy, bukan dalam bentuk mentah.

Tak masalah, crispy atau mentah yang penting itu adalah jamur yang dicari-cari. Jamur penuh kejutan yang muncul dari hal mengejutkan pula: kotoran sapi! Ah, seketika itu aku tak peduli lagi dengan segala dosa, rasa takut, atau apapun yang bisa menghalangi terlaksananya hajat yang satu ini. Aku ingin segera merasakan bagaimana gilanya si jamur crispy.

Setelah sepakat soal harga dengan sang saudagar, dua temanku berangkat untuk menjemput sang jamur impian. Dua temanku yang berangkat adalah si empunya kontak dan si empunya pulsa, keduanya sudah lebih pro soal ini. Aku dan temanku yang masih debutan menunggu di kosan yang tak lama lagi, setelah kejadian ini, akan semakin tidak barokah untuk penghuni selanjutnya.

Mereka pergi saat menjelang maghrib, hanya beberapa saat sebelum adzan maghrib berkumandang. Keduanya akan menemui sang saudagar di sebuah tempat yang sangat terbuka di Jatinangor. Agak ketakutan sebenarnya aku mendengar hal itu, semua bisa terjadi, bahkan bisa saja sang saudagar kali ini sedang berkirim pesan dengan kami dari balik jeruji. Alih-alih jual beli, malah adu nyali dengan risiko mendekam di balik jeruji.

Rasa takut itu kian muncul, adzan maghrib mengambang di antara perasaan yang semrawut dan campur aduk. Bayangan dosa, penjara, gila, sapi, kotoran, dan jamur, semuanya berpeluk dalam satu pangkuan perasaan yang aneh. Perasaan yang mungkin cuma aku yang bisa rasakan, tak bisa kugambarkan dengan baik, meskipun aku sangat ingin.

Aku dan temanku yang sama-sama debutan cuma saling tatap, sedikit berbincang, kadang juga bercanda. Aku tahu semua itu cuma akal-akalan rasionalitas kami berdua yang sama-sama gugup. Kami berdua tahu akan berhadapan dengan sesuatu yang benar-benar baru dan tak terbayangkan. Memang banyak referensi soal ini, tapi kami belum pernah berjumpa dengannya.

“Bagaimana bentuknya? Mengapa bisa seajaib itu sampai orang menamainya magic shroom. Bagaimana rasanya?” tanyaku dalam hati. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkembang dan menjadi-jadi. Kami tahu kami berdua sedang mengobrol, tapi kami tahu otak kami sedang tak berfokus dalam obrolan. Kami berdua memikirkan hal yang sama, dengan cara yang berbeda, di balik obrolan yang sama.

Batang demi batang rokok kami habiskan untuk menikmati menunggu yang tidak ada nikmatnya sama sekali itu. Tiap hisapan rokok itu cuma semakin mengajak kami memikirkan si jamur ajaib ini. Untuk sekian waktu yang entah berapa lama, tak kunjung ada kabar yang muncul dari teman-teman kami di luar sana. Jujur, aku mulai panik.

Kalau sampai benar ini adalah jebakan, kami harus bersiap dengan iring-iringan sirine dan polisi yang akan menciduk kami tanpa ampun. Mungkin yang tersisa hanyalah isapan jempol belaka. Di balik dinding penjara yang dingin dan sunyi, di hadapan sipir-sipir tengik. Empat pemuda tertangkap akibat salah satunya budek. Konyol sekali.