Suasana di Pasar Beriman, Tomohon, Sulawesi Utara. Pasar ini dijuluki sebagai pasar ekstrem karena mnyajikan berbagai bahan pangan yang tidak biasa. |
“Semua yang berkaki
kecuali kaki meja torang [kami] makan.
Semua yang terbang kecuali pesawat, torang makan juga.”
Begitulah Roy Nangka,
salah seorang pedagang di Pasar Beriman, Tomohon berkelakar soal kebiasaan
masyarakat Minahasa memakan berbagai jenis daging, Sabtu (29/6/2019) pekan lalu.
“Kaki meja juga bisa torang makan, kalau pakai rica [cabai],”
tambahnya.
Sabtu adalah hari
pasar besar, stok barang dagangan lebih banyak dari hari-hari lainnya. Dengan
menggunakan sepeda motor, perlu waktu sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Manado
untuk tiba di sana. Pengunjung juga bisa menggunakan bus dari Terminal
Karombasan.
Hari itu, Roy yang
berdomisili di Tomohon membawa sekitar 60 kg paniki atau
kelelawar dan 50 kg daging babi hutan. Dia sebenarnya memiliki stok ular piton
atau patola, namun dia memilih tak membawanya hari itu.
“Kita malas bawa ini hari, berat. Mungkin besok kita bawa, so ada di kulkas,” ujarnya.
Lelaki berusia 40 tahun ini sudah berjualan berbagai jenis daging hewan sejak 1998. Pada mulanya, dia mengaku juga sempat menjadi pemburu. Namun, belakangan dia memilih untuk menjadi penjual saja dengan menerima daging dari pemasok.
Lelaki berusia 40 tahun ini sudah berjualan berbagai jenis daging hewan sejak 1998. Pada mulanya, dia mengaku juga sempat menjadi pemburu. Namun, belakangan dia memilih untuk menjadi penjual saja dengan menerima daging dari pemasok.
|
Sejak buka lapak dari
pagi hingga siang hari, sudah lebih dari separuh barang dagangannya ludes.
Hanya sekitar 20 kg paniki yang tersisa dan beberapa potong paha babi hutan.
Barang dagangannya itu, lanjutnya, didapatkan dari pemasok di luar Sulawesi Utara.
“Kalau paniki ini
saya dapat dari pedagang besar, dia ambil dari supplier di
Makassar. Tidak semua daging yang ada di sini dari daerah Sulut, ada juga dari
daerah lain karena tidak dimakan di sana. Saya bawa ke sini dalam keadaan
dingin, sudah disimpan di dalam es,” tuturnya.
Roy adalah salah satu
dari puluhan pedagang yang saban hari berjualan di Pasar Beriman. Pedagang lain
punya lebih banyak varian dagangan. Daging tikus hutan atau kawok,
anjing atau RW [rintek wuuk/bulu halus], kucing, hingga biawak tersedia.
Salah satu jenis
daging yang mencuri perhatian saya siang itu adalah sejenis musang dengan ekor
panjang membentuk spiral. Sulit membayangkan bentuk aslinya karena semua bulunya sudah
terbakar. Berwarna hitam dan dan berbau gosong.
Kuskus atau kuse yang dijajakan salah satu pedagang di pasar Tomohon pada Sabtu (29/6/2019). Hari Sabtu merupakan hari pasar besar, dagangan yang disajikan lebih lengkap dari hari lainnya. |
“Ah ini kuse,
memang seperti monyet jadinya karena bulunya sudah hilang dibakar. Dulu memang
ada orang jual Yaki [monyet hitam Sulawesi], tapi sekarang
sudah tidak ada. Kalau mau jual itu pedagang harus siap dulu Rp300 juta dan
siap dipenjara,” kata Roy.
Yaki atau macaca nigra adalah jenis primata endemik Sulawesi yang dilindungi. Dulu sering ditemukan daging primata berbokong merah ini. Yaki sempat dianggap hama sehingga dibunuh dan dikonsumsi masyarakat yang tidak mengetahui hewan itu berstatus langka.
Yaki atau macaca nigra adalah jenis primata endemik Sulawesi yang dilindungi. Dulu sering ditemukan daging primata berbokong merah ini. Yaki sempat dianggap hama sehingga dibunuh dan dikonsumsi masyarakat yang tidak mengetahui hewan itu berstatus langka.
Hingga sore hari,
pembeli silih berganti singgah ke kios milik Roy. Ada yang membeli, ada pula
yang hanya menawar. Ada yang membeli untuk konsumsi
mingguan, ada pula yang sengaja membelinya untuk mengadakan pesta.
Fierce Polii, seorang
ibu dari Tomohon berusia 52 tahun adalah salah satunya. Dia membeli lebih dari 10 potong paniki di kios milik Roy. Jumlah sebanyak
itu, lanjutnya, disiapkan untuk acara mengenang 1 tahun meninggal orang
tuanya.
Kedatangannya siang
itu merupakan kunjungan kedua di hari yang sama. Pada pagi hari, dia sudah membeli beberapa bumbu masakan seperti cabai, tomat, dan
jahe atau goraka. Beberapa daging lain seperti kawok juga sudah dibeli.
Untuk dikonsumsi, bagian leher paniki dibuang. Bagian itu dinilai hanya berisi lemak dan tidak disukai. Hal ini juga diyakini dapat menghilangkan bau si binatang malam . |
Acara peringatan yang
akan digelarnya pada Senin pekan depan merupakan acara penting. Tamu yang hadir adalah
para tetangga dan keluarga besarnya. Untuk memastikan semua berjalan sempurna,
Fierce merasa perlu menghadirkan jenis penganan dengan lengkap.
“Kita bale ulang ke sini dang untuk beli paniki, kalau RW [anjing] kita so potong sendiri di rumah, ada dua. Babi juga ada punya sendiri, dari torang pe keluarga. Kalau paniki mau tidak mau beli di pasar,” ujarnya.
Biaya yang dikeluarkannya tidak sedikit. Untuk satu ekor paniki, dia merogoh kocek Rp50.000. Harga itu, menurut Roy masih termasuk harga standar. Saat permintaan tinggi dan stok sedikit, pedagang biasa menjualnya sampai Rp60.000—Rp70.000 per ekor.
“Mahal sih, tapi tidak apa-apa untuk acara penting seperti ini semua daging harus ada,” kata Fierce.
“Mahal sih, tapi tidak apa-apa untuk acara penting seperti ini semua daging harus ada,” kata Fierce.
Fierce mengatakan, meski mengorbankan anjing yang dipeliharanya, dia tak akan ikut menikmati hidangan itu. Bukan karena anti daging anjing atau tergabung dalam kelompok aktivis Dog Meat Free Indonesia, tetapi dia merasa tak tega.
“Memang tidak dipelihara disayang-sayang begitu, cuma saya kasih makan dari kecil jadi tidak
tega untuk makan. Tapi kalau saya datang ke acara pesta orang lain dan ada RW
saya makan juga sih,” jelasnya.
MENUAI KECAMAN
Daging anjing atau RW yang dijajakan di Pasar Beriman, Tomohon. Hidangan ini menjadi salah satu penganan wajib dalam pesta-pesta di Minahasa. Harganya dijual sekitar Rp35.000 per kilogram. |
Kebiasaan makan
berbagai jenis daging di Minahasa memang menjadi perhatian luas, khususnya para
aktivis penyayang binatang. Salah satu kebiasaan konsumsi yang paling
diperdebatkan adalah konsumsi daging RW.
Roy mengatakan,
tanggapan para aktivis itu sangat merugikan untuk para pedagang di Pasar
Beriman. Tak jarang, video kegiatan perdagangan di pasar itu menjadi perhatian
dunia internasional. Para pedagang jadi sorotan karena dianggap tidak
menyayangi hewan.
“Dulu itu ada video
viral, bule China atau Amerika, kita so agak lupa. Dia posting video dari pasar ini, anjing yang dibakar hidup-hidup, padahal itu kejadian
sebenarnya bule itu yang bayar dan meminta hal itu dilakukan, dia berani bayar
lebih dari Rp700.000,” katanya.
Dia mengatakan, setelah kejadian itu tidak semua pedagang mau bicara kepada orang asing tentang barang dagangan mereka. Para pedagang jadi lebih berhati-hati karena takut ucapan mereka dipelintir untuk pemberitaan bombastis, atau demi video viral semata.
Tumpukan daging anjing atau RW di atas timbangan, disiapkan untuk dikirim ke luar Sulawesi Utara. Pedagang di Pasar Tomohon juga melayani permintaan dari sejumlah daerah timur Indonesia. |
Teolog dan Budayawan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon Denni Pinontoan menerangkan, kebiasaan mengkonsumsi berbagai jenis hewan di Minahasa berhubungan erat dengan kebiasaan berburu. Kebiasaan ini ada dalam catatan Gubernur Belanda di Maluku Robert Padtbrugge yang berkunjung ke Manado pada abad 17.
Pada mulanya, anjing adalah teman berburu para leluhur minahasa. Dalam kegiatan perburuan yang dicatat oleh para penginjil Eropa, anjing berperan penting. Namun, dia mengatakan bahwa ada pula jenis anjing tertentu yang digunakan sebagai makanan.
"Jadi bukan berarti orang Minahasa makan semuanya, anjing itu juga teman berburu para leluhur. Namun, kebudayaan yang waktu itu sudah memisahkan juga mana anjing yang punya kemampuan berburu dan mana yang untuk dikonsumsi," tuturnya.
Dia menerangkan, anjing bukan daging konsumsi sehari-hari orang Minahasa. Pada mulanya anjing hanya dikonsumsi dalam acara sakral atau ritual tertentu. Salah satunya adalah dalam kegiatan fosso atau ritual penyambutan rumah baru.
Dia menerangkan, anjing bukan daging konsumsi sehari-hari orang Minahasa. Pada mulanya anjing hanya dikonsumsi dalam acara sakral atau ritual tertentu. Salah satunya adalah dalam kegiatan fosso atau ritual penyambutan rumah baru.
Dalam ritual itu, darah anjing digunakan sebagai persembahan. Selepas prosesi, untuk tidak menyia-nyiakan anjing yang dikorbankan, dagingnya dimasak dan disantap bersama. Bagian kepala kadang dinikmati sebagai tola-tola atau teman menenggak minuman beralkohol.
Cara membunuhnya pun tidak sembarangan. Proses itu harus dilakukan oleh orang yang dituakan dengan syarat tertentu. Penyembelihan yang dilakukan dengan cara di-toki atau dipukul dikepala itu juga dilakukan di belakang rumah, secara tersembunyi.
"Pada saat mengorbankan anjing, ada doa-doa tertentu yang dirapal sebelumnya. Kurang lebih intinya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan dan alam telah memberikan anjing itu, mereka meminta izin untuk mengorbankannya," kata dia.
Proses ini berbeda dengan penyembelihan babi yang dilakukan secara terbuka di depan rumah. Alasannya, jumlah babi yang dipotong menunjukkan seberapa tinggi status ekonomi orang itu. Hal ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa mengkonsumsi anjing adalah hal sakral.
"Pada saat mengorbankan anjing, ada doa-doa tertentu yang dirapal sebelumnya. Kurang lebih intinya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan dan alam telah memberikan anjing itu, mereka meminta izin untuk mengorbankannya," kata dia.
Proses ini berbeda dengan penyembelihan babi yang dilakukan secara terbuka di depan rumah. Alasannya, jumlah babi yang dipotong menunjukkan seberapa tinggi status ekonomi orang itu. Hal ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa mengkonsumsi anjing adalah hal sakral.
“Yang saya heran sekarang adalah orang luar berpikir bahwa daging anjing adalah konsumsi sehari-hari orang Minahasa, padahal tidak seperti itu. Tidak sembarangan, dan tidak setiap saat orang makan anjing, hanya pada acara tertentu saja,” jelasnya.
Namun, tradisi itu
perlahan-lahan bergeser karena permintaan pasar. Pembeli ingin mengetahui
asal-usul dan kondisi anjing yang akan dikonsumsinya. Maka, para pedagang mulai
menjajakan anjing yang masih hidup dan bersedia melakukan toki langsung
di pasar.
“Kembali ke hukum
ekonomi, yang beredar di online itu kan orang hanya bagiannya, bukan cerita
panjangnya. Itu kan bermula dari permintaan konsumen, mereka tidak mau beli
anjing kalau tidak jelas, fisiknya ataupun prosesnya,” jelasnya.
Dia menjelaskan, faktor lain yang membuat praktik konsumsi daging anjing dikecam adalah persoalan asal-usul dan cara mendapatakan anjing tersebut. Dalam beberapa kasus, lanjutnya, memang ditemukan bahwa anjing yang dijual adalah curian.
"Para aktivis itu beranggapan pencuri anjing itu muncul karena kebiasaan orang mengkonsumsi anjing, jadi mereka pikir kebiasaan makan anjing ini yang harus dihilangkan. Apa hubungannya? Tidak seperti itu solusinya, ini kan hukum ekonomi," jelasnya.
Dalam pengertian paling sederhana pasar adalah pertemuan antara barang atau jasa dengan konsumen. Tidak mungkin ada barang yang diperdagangkan tanpa ada permintaan konsumen. Cerita dari Pasar Beriman, menjelaskan selera konsumsi masyarakat yang khas.
“Di sini hukum pasar
yang berlaku. Kata biadab hanya digunakan oleh orang lain dari luar lingkungan
ini untuk mengecap tradisi kuliner ini. Ironis menurut saya karena barat yang dikenal berpikir modern dan egaliter dalam menilai kebudayaan lain ternyata gagal”
jelasnya.
Dia mengharapkan masyarakat luas dapat memahami kebiasaan makanan Minahasa ini sebagi sebuah warisan kebudayaan. Meski demikian, dia juga mengatakan bahwa kebudayaan dan identitas itu sendiri bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai dengan konstruksi yang berlaku.
Disclaimer: Artikel ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Edisi Sabtu, 6 Juli 2019 pada halaman Regional. Artikel di blog ini merupakan versi lain yang diunggah di blog pribadi penulis tanpa proses penyuntingan redaksi.
Disclaimer: Artikel ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Edisi Sabtu, 6 Juli 2019 pada halaman Regional. Artikel di blog ini merupakan versi lain yang diunggah di blog pribadi penulis tanpa proses penyuntingan redaksi.
No comments:
Post a Comment