Friday, July 5, 2019

Di Balik Pedasnya Rica


Pedasnya cabai atau rica yang digemari oleh masyarakat Sulawesi Utara bermula dari era kolonialisme di Nusantara.


Tanaman itu, sama halnya dengan tomat, berasal dari benua Amerika. Rica yang merupakan bagian dari genus capsycum ini juga tidak dengan sendirinya terbawa arus lautan dan tiba di Tanah Minahasa. 

Kedatangannya bermula dari perjalanan niaga orang-orang benua biru.

Dalam beberapa literatur, Christopher Columbus sang pengembara dari kerajaan Spanyol diyakini sebagai orang pertama yang memperkenalkan cabai ke Eropa. Cabai merupakan salah satu bahan pangan yang dibawanya dari pengembaraannya ke Amerika pada abad ke-15.

Cita rasa pedas cabai kemudian menjalar di Eropa dengan dibudidayakan di gereja-gereja. Harapannya, rasa pedas cabai dapat menjadi substitusi pedasnya lada yang saat itu jadi komoditas mewah dan tidak banyak tersedia di sana.

Namun, tidak serta merta pencarian rempah Eropa berakhir begitu saja dengan adanya cabai. Mereka terus mengembara mencari rempah hingga akhirnya tiba Indonesia dengan misi perdagangan dan penginjilan. Pada periode inilah, cabai kemungkinan besar mulai dikenal oleh lidah Minahasa.

Sejarawan Kuliner Fadly Rahman mengatakan ada dua teori mengenai kedatangannya di Sulawesi Utara (Sulut). Pertama, cabai dibawa oleh Portugis yang mula-mula tiba di Maluku untuk mencari rempah-rempah. Kedua, Spanyol yang membawa tanaman itu ke Sulut setelah menguasai Filipina terlebih dahulu.

“Karena memang lalu lintas perdagangan rempah-rempah juga menyebabkan dibawanya bahan-bahan tanaman pangan seperti cabai, jagung, sangat mungkin cabai ini dibawa melalui jalur niaga bangsa Portugis dan Spanyol, mereka satu rumpun dan menguasai benua Amerika,” katanya.

Portugis pertama kali tiba di Sulut pada 1563. Bangsa itu datang dengan dua kapal kora-kora yang dipimpin oleh Pater Magelhaes ke Manado (sekarang Pulau Manado Tua). Tak hanya membaptis 1.500 orang, kala itu mereka juga mulai memperkenalkan cabai dan tomat.

Pada periode yang berdekatan, Spanyol juga singgah di daerah lain di Sulut. Jika Portugis pertama kali datang ke Pulau Manado Tua, Spanyol pertama kali tiba di pulau Talaud dan Siau. Keduanya menjalankan misi penginjilan di Sulut.

Sejarawan Universitas Sam Ratulangi Ivan Kaunang mengatakan, meski kedua bangsa itu datang dengan misi religius yang sama, keduanya juga bersaing dalam pencarian rempah-rempah. Sulut yang berdekatan dengan pusat perdagangan rempah di Maluku menjadi rebutan.

“Paus membagi dunia menjadi dua dalam penyebaran Katolik, tapi dua negara ini juga berlomba mencari rempah-rempah, mereka akhirnya bertemu di Maluku dan akhirnya mereka tiba di Sulut yang menjadi rebutan, terutama pesisir Manado. Kekuasan silih berganti di antara keduanya,” kata Ivan.

Meski demikian, menurutnya Spanyol lebih lama tinggal di daerah dengan etnis mayoritas Minahasa ini. Namun, pada akhirnya Bangsa ini juga harus angkat jangkar lebih cepat setelah dikalahkan masyarakat Minahasa yang pada akhirnya bekerja sama dengan Perserikatan Dagang (VOC) Belanda.

Ivan menuturkan, kegeraman masyarakat Minahasa terhadap Spanyol terjadi karena mereka mulai berlaku semena-mena dan memperkosa para perempuan di sana. Hal ini membuat rakyat bersatu dibawah komando para waraney atau para pemimpin perang untuk mengusir mereka.

“Akhirnya, pada 10 Agustus 1644 perang meletus melawan Spanyol, Minahasa berhasil mengusir Spanyol pada 1645. Para waraney dan masyarakat dari berbagai daerah berhasil mengusir mereka. Beberapa tahun setelah itu, barulah Minahasa bekerja sama dengan Belanda,” kata Ivan.

Dia mengatakan, guna membendung kembalinya Spanyol ke sana, para tetua menjalin kontrak kerja sama dengan VOC Belanda yang berkedudukan di Maluku pada 1679. Belanda menjadi penguasa sekaligus ‘penjaga’ Minahasa.

PERAN BUDAYA DAN AGAMA

Jufri Arorang (48) pedagang di Pasar Beriman, Tomohon, Sulawesi Utara, Sabtu (29/6/2019). Harga cabai dijual di kisaran Rp30.000-Rp35.000 per kilogram, mulai kembali normal setelah pada Mei dan awal Juni sempat menembus Rp60.000 per kilogram akibat lonjakan permintaan saat Ramadan dan Lebaran.

Di balik sejarah pertukaran dan perebutan kekuasaan itu, pahitnya kolonialisme juga memberikan rasa pedas yang membara lewat masuknya cabai. Tanaman ini kemudian digemari seiring dengan perkembangan budaya dan penyebaran agama.

Fadly Rahman menuturkan, perkembangan persepsi masyarakat terhadap cita rasa pedas di Minahasa sama halnya dengan di Jawa atau Sumatra. Orang Minahasa menerima cabai sebagai pemedas baru yang lebih dinikmati dibandingkan pemedas sebelumnya.

Sebelum cabai, masyarakat Indonesia, termasuk Minahasa, sudah memiliki pemedas yang berasal dari tanaman endemik Indonesia, seperti jahe dan lada. Namun, cabai lebih disukai karena tidak memberikan rasa pedas yang tertinggal di badan.

“Ada tanaman endemik pemedas, seperti jahe, dan lada, tapi seiring dengan kedatangan cabai, persoalan cita rasa berubah. Cabai diterima dan disukai karena punya sensai pedas yang hanya di mulut ini beda dengan lada dan jahe,” tuturnya.

Selain persoalan cita rasa, pedasnya rica juga diterima oleh kebudayaan Minahasa lantaran fungsinya yang dapat menghilangkan bau amis dari daging. Kebiasaan masyarakat memakan daging hewan buruan dari hutan membutuhkan banyak sentuhan rica.

“Salah satu fungsi dari pemedas, mulai dari jahe, lada, sampai cabai memang berfungsi untuk menghilangkan bau amis dari daging. Ternyata itu yang memang menjadi salah satu alasan mengapa orang Minahasa selalu membaurkan cabai,” katanya.

Pasar Beriman di Tomohon merupakan pusat perdagangan berbagai macam daging hewan, dari mulai tikus hutan atau kawok, anjing atau rintek wuuk (RW/bulu halus), hingga ular piton yang biasa dikonsumsi masyarakat.

Jenis daging tersebut membutuhkan bauran rica dan rempah-rempah yang kuat untuk menghilangkan bau amis. Untuk memasak satu ekor RW misalnya, diperlukan sekitar 1 liter rica yang dicampur dengan serai, jahe, bawang daun, dan berbagai bumbu lain .

Penyebaran agama Katolik dan Kristen di Minahasa yang diperkenalkan Eropa ternyata tidak serta-merta menghilangkan kebiasaan makan tersebut. Berbeda dengan pola penyebaran agama di Jawa yang menggusur kebiasaan kuliner masyarakat sebelumnya.

“Hal ini menunjukkan bahwa kondisi konsumsi terhadap kuliner itu masih tetap bertahan dari abad ke abad. Gerakan kristenisasi itu tidak serta merta menggusur kebudayaan mereka sebelumnya,” ucap Fadly.

Ivan Kaunang berpendapat, hal itu juga berkaitan dengan cara penyebaran agama di Minahasa. Kristenisasi di Minahasa membiarkan kebudayaan lokal tetap ada dan berkembang. Bahkan, dalam beberapa contoh kebudayaan lokal juga diadopsi oleh gereja.

Pedasnya rica yang dibawa Eropa dari benua Amerika telah menjadi identitas kebudayaan kuliner Minahasa. Tingginya konsumsi rica terus terpelihara hingga saat ini, bahkan acap kali menjadi penyebab inflasi di Bumi Nyiur Melambai.

Disclaimer: Artikel ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Edisi Sabtu, 29 Juni 2019 pada halaman Regional. Artikel di blog ini merupakan versi lain yang diunggah di blog pribadi penulis tanpa proses penyuntingan redaksi.

No comments:

Post a Comment