Pedasnya cabai atau rica yang digemari oleh masyarakat
Sulawesi Utara bermula dari era kolonialisme di Nusantara.
Tanaman itu, sama
halnya dengan tomat, berasal dari benua Amerika. Rica yang merupakan bagian dari genus capsycum ini juga tidak dengan sendirinya terbawa arus lautan dan
tiba di Tanah Minahasa.
Kedatangannya bermula dari perjalanan niaga orang-orang benua biru.
Kedatangannya bermula dari perjalanan niaga orang-orang benua biru.
Dalam beberapa literatur,
Christopher Columbus sang pengembara dari kerajaan Spanyol diyakini sebagai
orang pertama yang memperkenalkan cabai ke Eropa. Cabai merupakan salah satu bahan pangan yang dibawanya dari pengembaraannya ke Amerika
pada abad ke-15.
Cita rasa pedas cabai kemudian menjalar di Eropa dengan dibudidayakan di gereja-gereja. Harapannya, rasa
pedas cabai dapat menjadi substitusi pedasnya lada yang saat itu jadi komoditas
mewah dan tidak banyak tersedia di sana.
Namun, tidak serta merta pencarian rempah Eropa berakhir begitu saja dengan adanya cabai.
Mereka terus mengembara mencari rempah hingga akhirnya tiba Indonesia dengan misi perdagangan dan penginjilan. Pada periode inilah, cabai kemungkinan besar mulai dikenal oleh lidah Minahasa.
Sejarawan Kuliner Fadly Rahman mengatakan ada dua teori mengenai kedatangannya di Sulawesi Utara (Sulut). Pertama, cabai dibawa oleh Portugis yang mula-mula tiba di Maluku untuk mencari rempah-rempah. Kedua, Spanyol yang membawa tanaman itu ke Sulut setelah menguasai Filipina terlebih dahulu.
“Karena memang lalu lintas
perdagangan rempah-rempah juga menyebabkan dibawanya bahan-bahan tanaman pangan
seperti cabai, jagung, sangat mungkin cabai ini dibawa melalui jalur niaga
bangsa Portugis dan Spanyol, mereka satu rumpun dan menguasai benua Amerika,”
katanya.
Portugis pertama kali tiba di Sulut pada 1563. Bangsa itu datang dengan dua kapal kora-kora yang dipimpin
oleh Pater Magelhaes ke Manado (sekarang Pulau Manado Tua). Tak hanya membaptis 1.500
orang, kala itu mereka juga mulai memperkenalkan cabai dan tomat.
Pada periode yang
berdekatan, Spanyol juga singgah di daerah lain di Sulut. Jika Portugis pertama
kali datang ke Pulau Manado Tua, Spanyol pertama kali tiba di pulau Talaud dan
Siau. Keduanya menjalankan misi penginjilan di Sulut.
Sejarawan Universitas
Sam Ratulangi Ivan Kaunang mengatakan, meski kedua bangsa itu datang dengan
misi religius yang sama, keduanya juga bersaing dalam pencarian rempah-rempah.
Sulut yang berdekatan dengan pusat perdagangan rempah di Maluku menjadi
rebutan.
“Paus membagi dunia
menjadi dua dalam penyebaran Katolik, tapi dua negara ini juga berlomba mencari
rempah-rempah, mereka akhirnya bertemu di Maluku dan akhirnya mereka tiba di
Sulut yang menjadi rebutan, terutama pesisir Manado. Kekuasan silih berganti di
antara keduanya,” kata Ivan.
Meski demikian,
menurutnya Spanyol lebih lama tinggal di daerah dengan etnis mayoritas Minahasa ini. Namun, pada akhirnya Bangsa ini juga harus
angkat jangkar lebih cepat setelah dikalahkan masyarakat Minahasa yang
pada akhirnya bekerja sama dengan Perserikatan Dagang (VOC) Belanda.
Ivan menuturkan,
kegeraman masyarakat Minahasa terhadap Spanyol terjadi karena mereka mulai
berlaku semena-mena dan memperkosa para perempuan di sana. Hal ini membuat rakyat bersatu
dibawah komando para waraney atau
para pemimpin perang untuk mengusir mereka.
“Akhirnya, pada 10
Agustus 1644 perang meletus melawan Spanyol, Minahasa berhasil mengusir Spanyol
pada 1645. Para waraney dan masyarakat dari berbagai daerah berhasil mengusir mereka. Beberapa
tahun setelah itu, barulah Minahasa bekerja sama dengan Belanda,” kata Ivan.
Dia mengatakan, guna membendung
kembalinya Spanyol ke sana, para tetua menjalin kontrak kerja sama dengan VOC
Belanda yang berkedudukan di Maluku pada 1679. Belanda menjadi penguasa sekaligus
‘penjaga’ Minahasa.
PERAN BUDAYA DAN AGAMA
Di balik sejarah
pertukaran dan perebutan kekuasaan itu, pahitnya kolonialisme juga memberikan
rasa pedas yang membara lewat masuknya cabai. Tanaman ini kemudian digemari seiring dengan perkembangan budaya dan penyebaran agama.
Fadly Rahman
menuturkan, perkembangan persepsi masyarakat terhadap cita rasa pedas di
Minahasa sama halnya dengan di Jawa atau Sumatra. Orang Minahasa menerima cabai
sebagai pemedas baru yang lebih dinikmati dibandingkan pemedas sebelumnya.
Sebelum cabai,
masyarakat Indonesia, termasuk Minahasa, sudah memiliki pemedas yang berasal dari
tanaman endemik Indonesia, seperti jahe dan lada. Namun, cabai lebih disukai
karena tidak memberikan rasa pedas yang tertinggal di badan.
“Ada tanaman endemik
pemedas, seperti jahe, dan lada, tapi seiring dengan kedatangan cabai,
persoalan cita rasa berubah. Cabai diterima dan disukai karena punya sensai
pedas yang hanya di mulut ini beda dengan lada dan jahe,” tuturnya.
Selain persoalan cita
rasa, pedasnya rica juga diterima oleh kebudayaan Minahasa lantaran fungsinya
yang dapat menghilangkan bau amis dari daging. Kebiasaan masyarakat memakan
daging hewan buruan dari hutan membutuhkan banyak sentuhan rica.
“Salah satu fungsi
dari pemedas, mulai dari jahe, lada, sampai cabai memang berfungsi untuk
menghilangkan bau amis dari daging. Ternyata itu yang memang menjadi salah satu
alasan mengapa orang Minahasa selalu membaurkan cabai,” katanya.
Pasar Beriman di
Tomohon merupakan pusat perdagangan berbagai macam daging hewan, dari mulai tikus
hutan atau kawok, anjing atau rintek wuuk (RW/bulu halus), hingga ular
piton yang biasa dikonsumsi masyarakat.
Jenis daging tersebut
membutuhkan bauran rica dan rempah-rempah yang kuat untuk menghilangkan bau
amis. Untuk memasak satu ekor RW misalnya, diperlukan sekitar 1 liter rica yang dicampur dengan serai, jahe, bawang daun, dan berbagai bumbu lain .
Penyebaran agama
Katolik dan Kristen di Minahasa yang diperkenalkan Eropa ternyata tidak serta-merta menghilangkan kebiasaan makan
tersebut. Berbeda dengan pola penyebaran agama di Jawa yang menggusur kebiasaan
kuliner masyarakat sebelumnya.
“Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi konsumsi terhadap kuliner itu masih tetap bertahan dari abad ke
abad. Gerakan kristenisasi itu tidak serta merta menggusur kebudayaan mereka
sebelumnya,” ucap Fadly.
Ivan Kaunang
berpendapat, hal itu juga berkaitan dengan cara penyebaran agama di Minahasa.
Kristenisasi di Minahasa membiarkan kebudayaan lokal tetap ada dan berkembang.
Bahkan, dalam beberapa contoh kebudayaan lokal juga diadopsi oleh gereja.
Pedasnya rica yang
dibawa Eropa dari benua Amerika telah menjadi identitas kebudayaan kuliner
Minahasa. Tingginya konsumsi rica terus terpelihara hingga saat ini, bahkan
acap kali menjadi penyebab inflasi di Bumi Nyiur Melambai.
Disclaimer: Artikel ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Edisi Sabtu, 29 Juni 2019 pada halaman Regional. Artikel di blog ini merupakan versi lain yang diunggah di blog pribadi penulis tanpa proses penyuntingan redaksi.
Disclaimer: Artikel ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Edisi Sabtu, 29 Juni 2019 pada halaman Regional. Artikel di blog ini merupakan versi lain yang diunggah di blog pribadi penulis tanpa proses penyuntingan redaksi.
No comments:
Post a Comment