Wednesday, November 23, 2016

Gara-gara Budek (4)

Malam mulai berlalu, bahkan mungkin sudah hampir sepertiga terakhir. Apa semua tingkah aneh malam itu mulai surut? Tidak juga. Masih banyak kegilaan lainnya yang akan muncul, dimulai dengan teman debutanku tiba-tiba pergi ke kamar mandi dan muntah. Mungkin si jamur tak begitu cocok dengan perutnya, atau MSG-nya yang tak cocok, atau keduanya.

Karena tak ingin kamar mandiku kotor karena kotoran dan muntahan manusia, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkannya. Rupanya niat baikku itu tak berujung baik, karena saat aku masuk ke sana, kamar mandi seakan menawarkan sensasi yang berbeda untuk menikmati efek jamur ini. Kali ini aku bermain dengan semprotan kamar mandi, ya benar-benar bermain dengannya.

Kamar kosanku berwarna hijau, diterangi lampu tidur yang kekuning-kuningan. Sementara kamar mandi, setengah dindingnya berlapis ubin dengan pola-garis-garis, diterangi lampu neon putih terang. Seharusnya garis-garisnya cuma berwarna abu-abu, tapi saat aku masuk ke sana, berubah menjadi warna-warni pelangi, dan mereka bergoyang. Ini mengagumkan!

Aku mengambil semprotan kloset dan menyemprot muntahan, dan kotoran temanku, yang rupanya tak tepat berada di lubang kloset. Kotorannya tidak begitu berantakan, hanya terciprat sedikit ke badan kloset duduk, tapi muntahannya, benar-benar mengerikan. Semua terkumpul di sudut tembok, sepertinya terkucur dari dinding.

Temanku tak muntah di kloset, tapi muntah ke dinding kamar mandi. Sepertinya muntahannya muncrat begitu kuat, seperti muntahan orang-orang yang sedang melakukan Exorcist dalam film horror Amerika. Mungkin si debutan sedang berusaha mengusir Lucy yang sudah masuk terlalu jauh ke dalam pikirannya. “I condemned you back to Hell, Lucy!”. Semoga saja Lucy yang dimaksud bukan Lucy Pinder, karena dia jelas terlalu hot untuk neraka.

Kusemprot semua kotoran itu dengan semprotan air. Aku benar-benar menikmatinya, sambil berjongkok atau mungkin duduk, aku tak benar-benar mengingatnya. Aku pikir itu hal yang menyenangkan, aku bisa melakukan ini berjam-jam. Menyemprot air, membersihkan kotoran, melihat pelangi, dan menonton garis-garis dinding yang bergoyang.

Mungkin aku terlalu lama di kamar mandi, si mirip Ambon berpikir ada yang tidak beres denganku. Dia datang dan menghentikan keasyikanku dengan semprotan, pelangi, dan dinding yang bergoyang. Sedikit sedih waktu dia membawaku keluar, “apa yang salah dengan main semprotan di kamar mandi?” pikirku waktu itu.

Sebetulnya aku harus berterima kasih kepadanya, karena mungkin kalau dia tidak menjemputku di kamar mandi, aku akan berada di sana sampai pagi. Setelah itu aku duduk lagi menikmati alunan musik sembari memejamkan mata. Pikiranku mulai kembali menggila—atau sebetulnya aku memang gila semalaman—kali ini aku berpikir soal adanya aturan agama yang mengatakan musik itu haram.

Aku rasa aku benar-benar jenius malam itu. Aku memecahkan alasan mengapa musik itu haram! Ya, jelas saja, karena jika dikombinasikan dengan jamur bisa membuat pendengarnya masuk ke dalam dunua yang lain! Untung saja tidak semua orang memakan jamur saat mendengarkan musik, ah, atau sebetulnya semua musisi juga memakannya sehingga bisa membuat musik seperti itu?

Baiklah, kini aku paham semua musisi adalah pendosa. Ah, bukan. Semua manusia adalah pendosa. Dengan atau tanpa musik. Dengan atau tanpa jamur. Semuanya hidup untuk berbuat dosa. Menyesalinya, melakukannya lagi, dan menyesal kembali. Dosanya tak pernah sama, tapi pelakunya selalu sama: Manusia.

Pikiran-pikiran itu muncul dan pergi begitu saja, beruntung waktu menuliskan cerita ini aku bisa mengingatnya. Akan tetapi, waktu semuanya terjadi berpikir itu seperti buang-buang waktu saja. Aku bisa menemukan sesuatu yang brilian dalam pikiranku, tapi kemudian hilang. Berpikir lagi, tahu lagi, lalu lupa lagi.

Perlahan-lahan si jamur mulai kehilangan efeknya pada diriku, dan mungkin juga pada teman-temanku. Aku mulai sadar dan bisa bergerak normal. Si debutan juga mulai sadar, tapi masih sulit bicara. Si mirip Ambon tetap saja seperti itu, selonjoran sambil mendengarkan Rock The Casbah, agak sulit menakar tingkat kesadarannya. “Semuanya akan berakhir sebentar lagi, syukurlah,” ucapku dalam hati.

Kalau tidak salah, itu sudah hampir jam 4 atau mungkin jam 5 pagi. Setelah ini aku harus menata ulang hidupku kembali. Aku merasa seperti komputer yang diinstall ulang, aku bingung apa rencana hidupku sebenarnya. Mungkin terdengar berlebihan dan tidak masuk akal, tapi itu benar-benar yang aku pikirkan waktu itu. Mungkin aku harus memulainya dengan tidur, aku sudah mulai ngantuk.

Sebentar, sepertinya ada yang salah. Aku memulai cerita ini bersama tiga orang kawanku bukan? Aku, si debutan, si empunya pulsa, dan si mirip orang Ambon. Si debutan sudah kusebutkan tadi, dia mulai sadar dan tidak lagi bermain bersama Lucy. Si ambon, masih seperti biasa dengan Rock The Casbah-nya, cuma berhenti buang air saja. Si pengirim SMS, alias si empunya pulsa, di mana dia dalam cerita ini? Aku melewatkannya!

Baru saja aku mulai mengantuk, tiba-tiba salah satu dari kami mengangkat meja! Dia terlihat seperti monster yang mulai mengamuk. Dia mengangkat meja, sepertinya hendak membanting meja itu. Tak lain dan tak bukan, ya dia adalah si pengirim SMS! Orang yang hilang dalam cerita ini, orang yang tak kuingat keberadaannya malam itu. Ini gawat, sepertinya efek si Jamur telat naik ke otaknya.

Saat yang lainnya mulai sadar, dia malah baru mulai menggila. Mungkin di awal dia terlalu menahan diri, tidak rileks, tidak mengikuti instruksi sederhana dari pengonsumsian jamur di manapun: Lemesin aja, jangan dilawan. Beruntung si mirip Ambon cukup gesit untuk mencegahnya mengobrak-abrik seisi kamar. Dengan perlahan-lahan, kami menyuruhnya duduk kembali.

Dia mulai duduk dan menyetel lagunya sendiri lewat head set. Kami semua mulai tenang untuk beberapa waktu. Meski begitu, kami masih tetap waspada akan kemungkinan setiap kegilaan yang bisa muncul kapan saja. Di tengah-tengah kami yang mulai sadar, masih ada satu orang yang justru baru mulai terkena efek si jamur. Dan MSG, tentunya.

Suasana mulai hening, aku mulai mengantuk tapi tak bisa tidur. Mau bicara sulit, bergerak apalagi, aku cuma bisa diam dan berpikir, sampai pagi. Rupanya keheningan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba si empunya pulsa menggeliat di karpet, dia seperti tercekik sesuatu. Dia seperti dalam lilitan ular kobra atau cracken, atau makhluk lainnya yang bisa melilit.

Kami jadi ikutan panik dan berusaha menenangkannya. Melepaskan lilitan headsetnya yang berantakan di tubuhnya. Sebetulnya dia tidak terlilit sama sekali, tapi entah bagaimana caranya dia bisa merasa seperti itu. Cuma dia yang benar-benar tahu rasanya. Untung saja dia tidak melawan dan membuat semuanya tambah kacau.

Si empunya pulsa masih menjadi sorotan. Meski kali ini dia cuma duduk dan melamun, kami masih mewaspadai kegilaan yang munkin dari si late bloomer ini—Mungkin sebutan “Late Bloomer” tidak tepat untuk situasi seperti ini, tapi entahlah itu terdengar cocok. Setiap gerak-geriknya kami perhatikan, semua orang tiba-tiba waspada tiap kali dia bergerak.

Mungkin dia agak risih kami perhatikan seperti itu, sampai akhirnya dia pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Aku pikir dia tidak benar-benar ingin kencing, kurasa dia cuma ingin “me time” sejenak. Tak ada yang aneh darinya saat pergi ke kamar mandi, kurasa semuanya aman. Tidak akan ada hal aneh lainnya. Semua mulai tenang dan normal.

Sial! Penilaianku salah. Dia mungkin benar-benar kencing di kamar mandi, lewat alat yang seharusnya, dan juga dengan posisi yang tepat, tapi celananya? Ada yang salah dengan celananya. Dia yang waktu itu menggunakan celana jeans sepertinya lupa menurunkan celananya saat buang air besar. Memang benar saat dia keluar kami melihat gespernya telah dilepas, tapi celananya tidak.

Melihatnya seperti itu aku dan si debutan langsung mencarikannya celana pendek untuknya. Celananya benar-benar bau pesing, bau air kencing yang penuh dengan senyawa psilocybin. Untung dia tidak beranjak dari tempatnya. Si debutan memberinya celana pendek dan memintanya berganti celana di dalam kamar mandi.

Rupanya niatan baik itu tak disambut dengan baik dan suka rela oleh si late bloomer. Dia menolak mengganti celana, dia merasa tak perlu akan hal itu. “Apaan sih? Orang gue gak kenapa-kenapa,” katanya. “Udah, ganti dulu, itu basah celananya,” jawab si debutan. Terjadi perdebatan kecil di sana, untung tidak lama. Dia akhirnya mengalah dan masuk ke kamar mandi.

Tak lama kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan celana jeans yang sama, dengan gesper yang masih terlepas, dan menenteng celana pendek di pundaknya. Jelas, ada yang tidak beres dengannya, aku mulai takut. “Ganti dulu celananya,” kata si debutan. “Apaan sih, ini kan udah gue ganti,” jawab si late bloomer agak marah. Dia benar-benar keras kepala, dan itu jelas tidak baik untuknya ataupun untuk kami semua.

Sang debutan terus membujuknya masuk ke kamar mandi lagi untuk benar-benar mengganti celananya. Entah bagaimana caranya membujuk, akhirnya dia berhasil membuatnya masuk lagi ke kamar mandi. Semoga saja kali ini dia benar-benar mengganti celananya. Kami menunggu lagi, mungkin sambil sedikit berdoa, dan menikmati sedikit dari sisa-sisa efek jamur yang masih ada.

Kami mungkin terlalu berharap padanya. Dia kembali keluar dari kamar mandi dengan setelan yang sama. Celana pendeknya masih di tenteng di pundaknya, dan dia masih bersikeras dia telah mengganti celananya. Ah, sudahlah, di titik ini aku mulai masa bodoh dengannya, ataupun dengan senyawa psychedelic yang membanjiri celananya.

Aku tak ingat bagaimana caranya, tapi akhirnya dia mengganti celannya. Yang tak jelas aku ingat adalah di mana dia menaruh celana jeans-nya yang bau pesing itu. Di gantungkan di gantungan baju, atau di jemuran, atau sebetulnya masih dia tenteng di pundaknya, aku tak ingat. Akhirnya semuanya benar-benar berakhir. Kami perlahan sadarkan diri, dari sini tak ada lagi kegilaan yang terjadi sampai pagi.

Kencing di celana adalah kegilaan yang menutup malam kami yang panjang. Teman-temanku mulai tertidur, aku mulai mengantuk tapi belum bisa tidur. Aku keluar kamar untuk mencari udara segar. Aku memandangi langit yang masih gelap, aku merasa seperti berdialog dengannya, atau mungkin berdialog dengan pemilik langit, aku tak bisa pastikan.

Begitu lama kupandangi dia, sampai ayam berkokok entah dari mana mulai terdengar di telingaku. Udara mulai menghangat, langit mulai menguning, matahari mulai melambung, dan aku masih saja melamun. Tidak banyak yang kuingat, tapi aku yakin betul aku memikirkan banyak hal. Mungkin itu yang orang-orang bilang “basi-an”, atau efek yang muncul saat pengaruh si jamur mulai hilang, dan hal itu jelas tidak menyenangkan.

Aku seperti merasa menjadi seorang filsuf, aku merasa aku adalah Socrates—tentunya bukan yang pemain sepak bola. Aku bertanya, aku menjawabnya. Aku lupa lagi, bertanya lagi, dan menjawab lagi. Banyak sekali pertanyaan soal kehidupan manusia yang muncul, kujawab semuanya, dan kulupakan semuanya. Perasaan itu begitu absurd dan sulit digambarkan. Aneh, benar-benar aneh, mungkin juga mengerikan, tapi juga menyenangkan, aneh!

Apa malam itu membuatku menyesal? Sedikit. Apa malam itu mengubah hidupku? Tidak juga. Apa aku tidak akan bertemu lagi dengan jamur itu? Entahlah, mungkin saja, aku tak bisa jamin apa-apa, tapi sebisa mungkin akan kucoba agar tidak mengalaminya lagi. Satu hal yang bisa kupastikan setelah malam itu hanyalah: Aku akan lebih hati-hati saat mendengar kata “jamu”—dan tentunya akan lebih sering membersihkan telinga.

No comments:

Post a Comment