Sunday, November 13, 2016

Gara-gara Budek (3)

Sebuah video yang berisi ilusi optik distel di layar monitor komputer jinjingku. Aku duduk di kursi, yang lainnya duduk di kasur, dan di lantai. Kami semua terperangah, seakan masuk ke dalam video tersebut. Sekilas, video tersebut cuma berisi sebuah gambar spiral yang terus berputar ke dalam. Anehnya, semakin lama menonton, semakin masuk ke dalamnya. Durasi videonya tak begitu lama, mungkin cuma satu sampai dua menit saja, tapi setelahnya, semua mulai berbeda.

Tiba-tiba kepalaku miring ke arah kanan, seperti tertarik ke bawah, terbawa suatu gaya yang aneh. Aneh sekali, ada sesuatu yang ganjil dan tak biasa di sini. Aku menengok ke kanan, melihat wajah teman debutanku yang sedang duduk di kasur. Wajahnya aneh sekali, meliuk-liuk, bergelombang, bukan manusia! Wajahnya tiba-tiba seperti wajah Indro dan Dono pada bagian intro Warkop Milenium.

Jamur sudah bekerja, ini pasti tidak akan baik-baik saja, hal aneh pasti terjadi di sini. Dari pada terjadi sesuatu yang tidak-tidak, kupindahkan terlebih dahulu komputer jinjingku ke kursi, dan dihadapkan ke kasur. Aku buat posisinya begitu agar tidak terjadi hal yang aneh-aneh, kami berempat harus menikmati efek jamur ini dengan tertib dan tidak rusuh, setidaknya itu yang aku rencanakan.

Menyadari efek jamur ini sudah semakin menjadi aku berusaha membuat diriku senyaman mungkin. Karena belakangan ini aku sedang keranjingan lagu-lagu instrumental, ambient, dan postrock, kuputar salah satu akun souncloud yang punya lagu-lagu terbaik untuk itu. Kalau tidak salah namanya Preserved Sound, sebuah label rekaman dari Eropa, aku lupa tepatnya di mana.

Berdasarkan referensi yang aku punya perihal menikmati hal seperti ini, lagu-lagu yang kusebut di atas akan terdengar lebih nyata dan lebih berbahaya di bawah pengaruhnya. Tiap suara yang terdengar akan lebih keras di telinga, kadang masih menempel hingga beberapa detik setelah suaranya hilang. Emosi yang terbangun lewat lagu juga akan lebih hidup. Aku pikir aku sudah melakukan sesuatu yang tepat untuk menikmati si jamur malam itu.

Waktu terus berlalu, kalau tidak salah sudah pukul 10 atau 11 malam. Kami berempat mulai melakukan hal-hal aneh. Temanku yang punya kontak sang saudagar berada di depanku, cuma duduk di lantai dengan wajah agak pucat, ekspresi wajahnya sedikit ketakutan, tapi terlihat masih waras. Sementara itu, temanku yang debutan mulai mengawang-ngawang, duduk di sebelahku menikmati musik dengan mata terpejam.

Di belakangku, teman mirip Ambonku tampak sudah lebih antisipatif akan efek jamur ini, dia menyetel lagu kesukaannya sendiri lewat telepon genggamnya. Dia berbaring ke arah jendela di dinding Barat ruangan, matanya terpejam, kupingnya dicocoki head set, dan kakinya, lagi-lagi, bergoyang seperti saat menyetel dangdut koplo. Bedanya, kali ini dia memutar lagu Rock The Casbah dari The Clash, dan tentunya tak lagi meminta jamu.

Aku semakin bingung dengan apa yang kulihat, semuanya terlihat bergoyang dan begelombang. Aneh sekali, seperti saat melihat aspal di bawah terik matahari. Tapi ini di kosanku, tidak ada sinar matahari ataupun benda lain yang panasnya bisa membuat pandanganku seperti itu. Tadi kepalaku berat, sekarang penglihatanku mulai tak masuk akal. Si jamur mulai kurang ajar, aku tahu itu.

Si debutan mulai mengambil gitar dan memainkannya. Dia benar-benar menikmatinya, memainkannya layaknya John Petrucci, kadang juga seperti Jimi Hendrix. Mungkin rambut panjangnya memang mirip Petrucci, tapi badannya yang besar membuatnya lebih mirip dengan Jack Black dalam film Tenacious D. Dalam salah satu adegannya, Jack Black juga sedang dalam pengaruh magic mushroom, benar-benar mirip.

Aku tak sempat memperhatikan temanku yang lain, ya si pemilik kontak saudagar itu. Untuk alasan yang tak aku ketahui, aku malah fokus pada karpet di kamarku. Sebisa mungkin aku membuatnya rapi, tak boleh ada bagiannya yang terlipat sama sekali. Tiap kali karpetku bergeser, aku buru-buru merapikannya. Entah benar atau tidak, tapi seingatku begitu. Sambil merapikan karpet, aku selalu mengatakan, “Harus rapi, gak boleh berantakan”.

Masing-masing dari kami mulai asyik dengan dunianya sendiri. Aku sendiri mulai memikirkan banyak hal, tapi tak sanggup mengatakannya. Sesuatu yang brilian, sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, tapi aku tak bisa mengatkannya. Lidahku kelu, tiap mau bicara, yang terucap bukan yang kuinginkan, bahkan beberapa kali, tak bisa bicara sama sekali.

“Aduh...”

“Itu SBY waktu itu kan, aduh...”

“Aduh, malah aduh-aduh lagi...”

Yang unik malam itu, selain aku yang cuma bisa bilang “Aduh”, saat aku melantur, teman debutanku selalu mengerti dan meladeniku. Seingatku aku seperti mengobrol dengannya, dengan kata-kata pendek yang tak jelas, tapi nyambung. Misalnya aku bilang, “Ah, itu dunia itu, iya gitu kan, ji? Aduh...” atau “Heeh, ya, heeh?” maka dia akan menjawab, “Iya, gitu betul, gitu” atau “Iya, heeh, iya”.

Karena bicara sangat sulit, aku ingin mengabadikan pikiranku dalam tulisan, aku ingin menuliskannya lewat catatan. Aku buka aplikasi Microsoft Word, jemariku sudah benar-benar berada di atas key board, tapi tetap tak ada yang bisa kutulis. Semuanya aneh, semakin aneh. Aku pikir kedua tanganku sudah tak lagi sinkron, mungkin kemampuan motorikku sudah mulai lumpuh.

Aku lihat baik-baik kedua tanganku. Aku berusaha mempertemukan kedua telapak tanganku, tapi mereka tak pernah bertemu! Ini aneh! Apa aku tibat-tiba mengidap ataksia? Aku mencoba, lagi-dan lagi, tapi semuanya percuma. Sang jamur telah menumpahkan magisnya pada tanganku. “Gimana ini, tuh liat, kanan, kiri, tapi gak bisa ketemu!” ucapku berulang-ulang.

Mungkin karena aku mulai menyebalkan dengan tingkah yang aneh itu, teman debutanku tiba-tiba pergi ke luar kamar. “Ji, mau ke mana?” tanyaku padanya. Aku takut, dia masih debutan, apa dia benar-benar bisa berjalan dengan baik? Tiba-tiba aku jadi paranoid. “Mau ke kamar, sebentar-sebentar,” jawabnya dengan tersenyum.

Kuperhatikan, ternyata benar dia berjalan ke kamarnya, syukurlah. Tapi setelah itu aku duduk, dan bertanya pada temanku yang lain, “Tadi dia ke mana, ya?”. “Ke kamar,” jawab temanku yang makin pucat dan tertunduk lesu. Itu terjadi berulang-ulang, aku selalu menanyakan apa yang aku sudah tahu. Aku rasa ada yang aneh short term memmory-ku.

Aku tidak bisa mengingat dengan baik setiap hal yang baru saja terjadi, atau perkataan orang lain. Mungkin aku dikutuk jadi Dory karena memakan jamur ini. Atau, mungkin juga pembuat karakter Dory dalam film FInding Nemo yang terkenal itu terinspirasi dari efek jamur ini? Atau memang dalam ceritanya Dory adalah ikan yang doyan makan jamur? Ah, masa bodoh.

Alunan musik dari Soundcloud semakin menambah efek si jamur. Karena itu sebuah playlist, urutan lagunya tak bisa kuubah. Lagu-lagunya terputar secara berulang-ulang dan tak ada habisnya. Lagunya kadang terdengar menyenangkan dan menggugah semangat, tapi kadang juga terdengar sedih dan mengiris hati, kadang juga membuat takut diri sendiri.

Rupanya keputusan memutar lagu dari akun tersebut adalah keputusan yang tak tepat-tepat amat. Tiap nada minor keluar, tiba-tiba ada sesuatu yang aneh. Aku jadi panik tiba-tiba. Gundah, perasaannya campur aduk tapi mengambang. Tidak nyata, tapi sungguh terasa. Ada sesuatu yang terasa panas dan membakar di tulang belakangku, membuat badanku mengeliat, ini gila!

Selama beberapa menit, semua itu terjadi secara berulang-ulang. Lagu senang, hatiku terasa damai, lagu sedih, aku merasa takut dan panik. Aku merasa dipermainkan oleh lagu-lagu itu. Aku yakin si Preserved Sound itu sudah bekerja sama dengan korporasi dagang jamur seluruh dunia. Mereka pasti sengaja membuat lagu seperti itu untuk orang-orang yang sedang dalam pengaruh jamur. Aku yakin itu!

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, si debutan kembali ke kamarku. Ada yang aneh dengannya, senyumnya semakin lebar, matanya semakin menyipit, dan rambutnya basah! Bajunya juga benar-benar basah! Seperti baru disiram air lewat selang oleh perempuan seksi dalam iklan pompa air Shimizu, “Sedotannya kuat, semburannya kenceng!”. Semuanya kaget melihatnya seperti itu.

“Dari mana, ji?” tanyaku padanya. Bukannya menjawab dia cuma semakin melebarkan senyumnya dan duduk bersila di tengah-tengah karpet. Dia tiba-tiba menunduk, ini semakin aneh! Dia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya, berkali-kali. Kutanya lagi dia, “Dari mana ji?”. Dia benar-benar seperti arca, cuma diam dan duduk bersila. Arca yang gemuk.

“Hmm... Aku dari perjalanan yang sangat jauh,” jawabnya dengan lembut. Senyumnya makin lebar, wajahnya yang hampir bulat sempurna terlihat semakin menggemaskan. Seketika aku tidak merespon jawabannya, aku tiba-tiba ingat bayi legendaris yang menjadi matahari dalam Teletubbies. Ya, wajahnya mirip sekali dengan bayi itu! Apa mungkin sebenarnya dialah sang bayi, dan sekarang sudah dewasa?

Aku terdiam memikirkan hal itu untuk beberapa saat. Sampai tiba-tiba lagu dengan nada minor terdengar dari komputer jinjingku. Nada-nada itu benar-benar menghantamku telingaku,  lagi-lagi, aku tiba-tiba lesu dan layu. Kali ini, kuambil gitar yang berada tak jauh di sampingku, aku berdiri, memeluk gitar itu, dan berdansa dengannya. Sembari memejamkan mata, aku merasa sedang berada dalam pesta dansa kolosal.

Aku tak benar-benar ingat apa yang aku pikirkan saat melakukan itu, tapi aku ingat betul itu terasa menyenangkan. Mungkin karena saat itu aku sedang jomblo, aku merasa seperti sedang berdansa dengan seorang perempuan. Kata orang, perempuan yang badannya bagus itu yang seperti gitar Spanyol, mungkin saja, sekali lagi, mungkin saja, kuanggap gitar itu perempuan aduhay yang bohay luar biasa.

Si mirip Ambon yang dari tadi cuma goyang-goyang kaki tiba-tiba bangun dan ingin buang air besar. Dia masuk ke dalam kamar mandi yang berada di surut ruangan. Sekali lagi, karena aku tak mudah mengingat apa yang baru saja terjadi, aku menanyainya berulang-ulang dengan pertanyaan yang sama. “Dik, lu boker beneran?” tanyaku. “Iya,” jawabnya. Semua terjadi berulang ulang, pertanyaan yang sama, jawaban yang sama.

Sampai sekarang, aku tak ingat dia buang air besar berapa kali, entah berulang-ulang atau hanya sekali. Mungkin karena yang aku ingat aku menanyainya berulang-ulang aku pikir dia buang air besar berkali-kali, tapi entahlah. Tapi aku tak mungkin salah dengan kejadian setelahnya, di mana teman debutanku mulai meracau tak jelas. Dia terbaring di kasur, sambil mengatakan hal aneh, “I see Lucy, ah... Lucy in the sky...”.

Mungkin, ya cuma mungkin, dia mencoba mengasosiasikan apa yang dilihatnya dengan lagu kesohor dari The Beatles, Lucy In The Sky With Diamonds. Si debutan sedang berusaha memahami lagu itu, lagu yang katanya merujuk pada pengalaman Beatles saat menggunakan LSD. Mungkin dia sedang bertamasya bersama Lucy di sebuah negeri imajinasi yang tak mungkin. Seperti apa Lucy itu? Si debutan yang tahu.

Tak lama berselang, si mirip Ambon kembali dari kamar mandi, dia duduk di samping kasur. Di atas kasur masih ada si debutan yang masih menikmati euforia bertemu Lucy. Tiba-tiba, ya, selalu tiba-tiba, si debutan bangun dan bertanya dengan panik. “Dik, gue gak apa-apa kan?” tanyanya. Si mirip Ambon menjawab, “Enggak, kok”. Sama sepertiku, dia menanyainya pertanyaan yang sama, berulang-ulang, dan dijawab dengan jawaban yang sama, berulang-ulang.

Mendengar kepanikan si debutan, aku juga mulai panik. Aku melihat pisau yang ada di atas rak buku, tepat di sebelah meja. Entah kenapa, aku tiba-tiba takut melihat pisau itu. Apa yang bisa aku lakukan dengan itu? Atau aku sudah melakukan sesuatu dengannya? Atau mungkin salah satu dari kami sudah menggunakannya untuk sesuatu? Aku ketakutan setengah mati, tapi aku berusaha menyembunyikannya.

Dari pada terus ketakutan, aku memutuskan untuk menonton sesuatu yang menyenangkan. Aku tak ingin efek jamur ini terbuang sia-sia dalam ketakutan karena sebilah pisau yang sebetulnya hanya diam. Lewat laman muka Google aku cari “Best Trippy Websites”. Dan rupanya ada website semacam itu di dunia maya, aku baru tahu, dan aku terperangah takjub akan itu.

Ada 15 laman web yang bisa dikunjungi dari postingan yang aku klik di Google. Semua web yang ditawarkan bisa dikatakan cukup absurd, aneh, tapi sepertinya memang cocok untuk orang dalam kondisi trippy. Ada yang berisi wajah perempuan dengan mata besar yang menyeramkan, ada yang hanya berisi kotak-kotak dengan gambar seekor kudanil yang berputar-putar diiringi suara “Hippo! Hippo! Hippo!”, aneh sekali.

Tapi ada satu web yang paling lama aku nikmati, aku tak ingat namanya, tapi web itu sangat menarik. Cukup sentuh touch pad dengan jari, tiba-tiba banyak warna yang muncul tak beraturan di monitor. Aku merasa seperti berada di tengah-tengah galaksi. Menyenangkan sekali. Bukan hanya aku, si debutan dan si ambon juga ikut menikmatinya, seingatku sih begitu.

No comments:

Post a Comment