Sebuah video yang berisi ilusi
optik distel di layar monitor komputer jinjingku. Aku duduk di kursi, yang
lainnya duduk di kasur, dan di lantai. Kami semua terperangah, seakan masuk ke
dalam video tersebut. Sekilas, video tersebut cuma berisi sebuah gambar spiral
yang terus berputar ke dalam. Anehnya, semakin lama menonton, semakin masuk ke
dalamnya. Durasi videonya tak begitu lama, mungkin cuma satu sampai dua menit
saja, tapi setelahnya, semua mulai berbeda.
Tiba-tiba kepalaku miring ke arah
kanan, seperti tertarik ke bawah, terbawa suatu gaya yang aneh. Aneh sekali,
ada sesuatu yang ganjil dan tak biasa di sini. Aku menengok ke kanan, melihat
wajah teman debutanku yang sedang duduk di kasur. Wajahnya aneh sekali,
meliuk-liuk, bergelombang, bukan manusia! Wajahnya tiba-tiba seperti wajah
Indro dan Dono pada bagian intro Warkop
Milenium.
Jamur sudah bekerja, ini pasti
tidak akan baik-baik saja, hal aneh pasti terjadi di sini. Dari pada terjadi
sesuatu yang tidak-tidak, kupindahkan terlebih dahulu komputer jinjingku ke
kursi, dan dihadapkan ke kasur. Aku buat posisinya begitu agar tidak terjadi
hal yang aneh-aneh, kami berempat harus menikmati efek jamur ini dengan tertib dan
tidak rusuh, setidaknya itu yang aku rencanakan.
Menyadari efek jamur ini sudah
semakin menjadi aku berusaha membuat diriku senyaman mungkin. Karena belakangan ini aku sedang keranjingan lagu-lagu instrumental, ambient, dan postrock, kuputar salah satu
akun souncloud yang punya lagu-lagu terbaik untuk itu. Kalau tidak salah
namanya Preserved Sound, sebuah label
rekaman dari Eropa, aku lupa tepatnya di mana.
Berdasarkan referensi yang aku
punya perihal menikmati hal seperti ini, lagu-lagu yang kusebut di atas akan
terdengar lebih nyata dan lebih berbahaya di bawah pengaruhnya. Tiap suara yang
terdengar akan lebih keras di telinga, kadang masih menempel hingga beberapa
detik setelah suaranya hilang. Emosi yang terbangun lewat lagu juga akan lebih
hidup. Aku pikir aku sudah melakukan sesuatu yang tepat untuk menikmati si
jamur malam itu.
Waktu terus berlalu, kalau tidak
salah sudah pukul 10 atau 11 malam. Kami berempat mulai melakukan hal-hal aneh.
Temanku yang punya kontak sang saudagar berada di depanku, cuma duduk di lantai dengan wajah agak
pucat, ekspresi wajahnya sedikit ketakutan, tapi terlihat masih waras. Sementara
itu, temanku yang debutan mulai mengawang-ngawang, duduk di sebelahku menikmati
musik dengan mata terpejam.
Di belakangku, teman mirip
Ambonku tampak sudah lebih antisipatif akan efek jamur ini, dia menyetel lagu
kesukaannya sendiri lewat telepon genggamnya. Dia berbaring ke arah jendela di
dinding Barat ruangan, matanya terpejam, kupingnya dicocoki head set, dan kakinya, lagi-lagi,
bergoyang seperti saat menyetel dangdut koplo. Bedanya, kali ini dia memutar
lagu Rock The Casbah dari The Clash,
dan tentunya tak lagi meminta jamu.
Aku semakin bingung dengan apa
yang kulihat, semuanya terlihat bergoyang dan begelombang. Aneh sekali, seperti
saat melihat aspal di bawah terik matahari. Tapi ini di kosanku, tidak ada
sinar matahari ataupun benda lain yang panasnya bisa membuat pandanganku
seperti itu. Tadi kepalaku berat, sekarang penglihatanku mulai tak masuk akal.
Si jamur mulai kurang ajar, aku tahu itu.
Si debutan mulai mengambil gitar
dan memainkannya. Dia benar-benar menikmatinya, memainkannya layaknya John
Petrucci, kadang juga seperti Jimi Hendrix. Mungkin rambut panjangnya memang
mirip Petrucci, tapi badannya yang besar membuatnya lebih mirip dengan Jack
Black dalam film Tenacious D. Dalam
salah satu adegannya, Jack Black juga sedang dalam pengaruh magic mushroom, benar-benar mirip.
Aku tak sempat memperhatikan
temanku yang lain, ya si pemilik kontak saudagar itu. Untuk alasan yang tak aku
ketahui, aku malah fokus pada karpet di kamarku. Sebisa mungkin aku membuatnya
rapi, tak boleh ada bagiannya yang terlipat sama sekali. Tiap kali karpetku
bergeser, aku buru-buru merapikannya. Entah benar atau tidak, tapi seingatku
begitu. Sambil merapikan karpet, aku selalu mengatakan, “Harus rapi, gak boleh
berantakan”.
Masing-masing dari kami mulai
asyik dengan dunianya sendiri. Aku sendiri mulai memikirkan banyak hal, tapi
tak sanggup mengatakannya. Sesuatu yang brilian, sesuatu yang tak pernah
terpikirkan sebelumnya, tapi aku tak bisa mengatkannya. Lidahku kelu, tiap mau
bicara, yang terucap bukan yang kuinginkan, bahkan beberapa kali, tak bisa
bicara sama sekali.
“Aduh...”
“Itu SBY waktu itu kan, aduh...”
“Aduh, malah aduh-aduh lagi...”
Yang unik malam itu, selain aku
yang cuma bisa bilang “Aduh”, saat aku melantur, teman debutanku selalu mengerti
dan meladeniku. Seingatku aku seperti mengobrol dengannya, dengan kata-kata
pendek yang tak jelas, tapi nyambung. Misalnya
aku bilang, “Ah, itu dunia itu, iya gitu kan, ji? Aduh...” atau “Heeh, ya,
heeh?” maka dia akan menjawab, “Iya, gitu betul, gitu” atau “Iya, heeh, iya”.
Karena bicara sangat sulit, aku
ingin mengabadikan pikiranku dalam tulisan, aku ingin menuliskannya lewat
catatan. Aku buka aplikasi Microsoft
Word, jemariku sudah benar-benar berada di atas key board, tapi tetap tak ada yang bisa kutulis. Semuanya aneh,
semakin aneh. Aku pikir kedua tanganku sudah tak lagi sinkron, mungkin
kemampuan motorikku sudah mulai lumpuh.
Aku lihat baik-baik kedua
tanganku. Aku berusaha mempertemukan kedua telapak tanganku, tapi mereka tak
pernah bertemu! Ini aneh! Apa aku tibat-tiba mengidap ataksia? Aku mencoba,
lagi-dan lagi, tapi semuanya percuma. Sang jamur telah menumpahkan magisnya
pada tanganku. “Gimana ini, tuh liat, kanan, kiri, tapi gak bisa ketemu!”
ucapku berulang-ulang.
Mungkin karena aku mulai
menyebalkan dengan tingkah yang aneh itu, teman debutanku tiba-tiba pergi ke luar
kamar. “Ji, mau ke mana?” tanyaku padanya. Aku takut, dia masih debutan, apa
dia benar-benar bisa berjalan dengan baik? Tiba-tiba aku jadi paranoid. “Mau ke
kamar, sebentar-sebentar,” jawabnya dengan tersenyum.
Kuperhatikan, ternyata benar dia
berjalan ke kamarnya, syukurlah. Tapi setelah itu aku duduk, dan bertanya pada
temanku yang lain, “Tadi dia ke mana, ya?”. “Ke kamar,” jawab temanku yang
makin pucat dan tertunduk lesu. Itu terjadi berulang-ulang, aku selalu
menanyakan apa yang aku sudah tahu. Aku rasa ada yang aneh short term memmory-ku.
Aku tidak bisa mengingat dengan baik
setiap hal yang baru saja terjadi, atau perkataan orang lain. Mungkin aku
dikutuk jadi Dory karena memakan jamur ini. Atau, mungkin juga pembuat karakter
Dory dalam film FInding Nemo yang
terkenal itu terinspirasi dari efek jamur ini? Atau memang dalam ceritanya Dory
adalah ikan yang doyan makan jamur? Ah, masa bodoh.
Alunan musik dari Soundcloud
semakin menambah efek si jamur. Karena itu sebuah playlist, urutan lagunya tak
bisa kuubah. Lagu-lagunya terputar secara berulang-ulang dan tak ada habisnya. Lagunya
kadang terdengar menyenangkan dan menggugah semangat, tapi kadang juga
terdengar sedih dan mengiris hati, kadang juga membuat takut diri sendiri.
Rupanya keputusan memutar lagu
dari akun tersebut adalah keputusan yang tak tepat-tepat amat. Tiap nada minor keluar,
tiba-tiba ada sesuatu yang aneh. Aku jadi panik tiba-tiba. Gundah, perasaannya
campur aduk tapi mengambang. Tidak nyata, tapi sungguh terasa. Ada sesuatu yang
terasa panas dan membakar di tulang belakangku, membuat badanku mengeliat, ini
gila!
Selama beberapa menit, semua itu terjadi
secara berulang-ulang. Lagu senang, hatiku terasa damai, lagu sedih, aku merasa
takut dan panik. Aku merasa dipermainkan oleh lagu-lagu itu. Aku yakin si Preserved Sound itu sudah bekerja sama
dengan korporasi dagang jamur seluruh dunia. Mereka pasti sengaja membuat lagu
seperti itu untuk orang-orang yang sedang dalam pengaruh jamur. Aku yakin itu!
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka,
si debutan kembali ke kamarku. Ada yang aneh dengannya, senyumnya semakin
lebar, matanya semakin menyipit, dan rambutnya basah! Bajunya juga benar-benar
basah! Seperti baru disiram air lewat selang oleh perempuan seksi dalam iklan
pompa air Shimizu, “Sedotannya kuat, semburannya kenceng!”. Semuanya kaget
melihatnya seperti itu.
“Dari mana, ji?” tanyaku padanya.
Bukannya menjawab dia cuma semakin melebarkan senyumnya dan duduk bersila di
tengah-tengah karpet. Dia tiba-tiba menunduk, ini semakin aneh! Dia menarik
nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya, berkali-kali. Kutanya lagi dia,
“Dari mana ji?”. Dia benar-benar seperti arca, cuma diam dan duduk bersila.
Arca yang gemuk.
“Hmm... Aku dari perjalanan yang
sangat jauh,” jawabnya dengan lembut. Senyumnya makin lebar, wajahnya yang
hampir bulat sempurna terlihat semakin menggemaskan. Seketika aku tidak
merespon jawabannya, aku tiba-tiba ingat bayi legendaris yang menjadi matahari dalam
Teletubbies. Ya, wajahnya mirip
sekali dengan bayi itu! Apa mungkin sebenarnya dialah sang bayi, dan sekarang
sudah dewasa?
Aku terdiam memikirkan hal itu
untuk beberapa saat. Sampai tiba-tiba lagu dengan nada minor terdengar dari
komputer jinjingku. Nada-nada itu benar-benar menghantamku telingaku, lagi-lagi, aku tiba-tiba lesu dan layu. Kali
ini, kuambil gitar yang berada tak jauh di sampingku, aku berdiri, memeluk
gitar itu, dan berdansa dengannya. Sembari memejamkan mata, aku merasa sedang
berada dalam pesta dansa kolosal.
Aku tak benar-benar ingat apa
yang aku pikirkan saat melakukan itu, tapi aku ingat betul itu terasa
menyenangkan. Mungkin karena saat itu aku sedang jomblo, aku merasa seperti
sedang berdansa dengan seorang perempuan. Kata orang, perempuan yang badannya
bagus itu yang seperti gitar Spanyol, mungkin saja, sekali lagi, mungkin saja, kuanggap
gitar itu perempuan aduhay yang bohay luar biasa.
Si mirip Ambon yang dari tadi
cuma goyang-goyang kaki tiba-tiba bangun dan ingin buang air besar. Dia masuk
ke dalam kamar mandi yang berada di surut ruangan. Sekali lagi, karena aku tak
mudah mengingat apa yang baru saja terjadi, aku menanyainya berulang-ulang
dengan pertanyaan yang sama. “Dik, lu
boker beneran?” tanyaku. “Iya,” jawabnya. Semua terjadi berulang ulang,
pertanyaan yang sama, jawaban yang sama.
Sampai sekarang, aku tak ingat
dia buang air besar berapa kali, entah berulang-ulang atau hanya sekali. Mungkin
karena yang aku ingat aku menanyainya berulang-ulang aku pikir dia buang air
besar berkali-kali, tapi entahlah. Tapi aku tak mungkin salah dengan kejadian
setelahnya, di mana teman debutanku mulai meracau tak jelas. Dia terbaring di
kasur, sambil mengatakan hal aneh, “I see
Lucy, ah... Lucy in the sky...”.
Mungkin, ya cuma mungkin, dia mencoba
mengasosiasikan apa yang dilihatnya dengan lagu kesohor dari The Beatles, Lucy In The Sky With Diamonds. Si
debutan sedang berusaha memahami lagu itu, lagu yang katanya merujuk pada
pengalaman Beatles saat menggunakan LSD. Mungkin dia sedang bertamasya bersama
Lucy di sebuah negeri imajinasi yang tak mungkin. Seperti apa Lucy itu? Si
debutan yang tahu.
Tak lama berselang, si mirip
Ambon kembali dari kamar mandi, dia duduk di samping kasur. Di atas kasur masih
ada si debutan yang masih menikmati euforia bertemu Lucy. Tiba-tiba, ya, selalu
tiba-tiba, si debutan bangun dan bertanya dengan panik. “Dik, gue gak apa-apa
kan?” tanyanya. Si mirip Ambon menjawab, “Enggak, kok”. Sama sepertiku, dia
menanyainya pertanyaan yang sama, berulang-ulang, dan dijawab dengan jawaban
yang sama, berulang-ulang.
Mendengar kepanikan si debutan,
aku juga mulai panik. Aku melihat pisau yang ada di atas rak buku, tepat di
sebelah meja. Entah kenapa, aku tiba-tiba takut melihat pisau itu. Apa yang
bisa aku lakukan dengan itu? Atau aku sudah melakukan sesuatu dengannya? Atau mungkin
salah satu dari kami sudah menggunakannya untuk sesuatu? Aku ketakutan setengah
mati, tapi aku berusaha menyembunyikannya.
Dari pada terus ketakutan, aku
memutuskan untuk menonton sesuatu yang menyenangkan. Aku tak ingin efek jamur
ini terbuang sia-sia dalam ketakutan karena sebilah pisau yang sebetulnya hanya
diam. Lewat laman muka Google aku
cari “Best Trippy Websites”. Dan
rupanya ada website semacam itu di dunia maya, aku baru tahu, dan aku
terperangah takjub akan itu.
Ada 15 laman web yang bisa
dikunjungi dari postingan yang aku klik di Google. Semua web yang ditawarkan
bisa dikatakan cukup absurd, aneh, tapi sepertinya memang cocok untuk orang
dalam kondisi trippy. Ada yang berisi
wajah perempuan dengan mata besar yang menyeramkan, ada yang hanya berisi
kotak-kotak dengan gambar seekor kudanil yang berputar-putar diiringi suara
“Hippo! Hippo! Hippo!”, aneh sekali.
Tapi ada satu web yang paling
lama aku nikmati, aku tak ingat namanya, tapi web itu sangat menarik. Cukup
sentuh touch pad dengan jari,
tiba-tiba banyak warna yang muncul tak beraturan di monitor. Aku merasa seperti
berada di tengah-tengah galaksi. Menyenangkan sekali. Bukan hanya aku, si
debutan dan si ambon juga ikut menikmatinya, seingatku sih begitu.
No comments:
Post a Comment