Aku ingin memutar waktu, kembali
ke saat lagu dangdut koplo itu dimainkan. Ingin kukorek kupingku sampai bersih,
agar tak budek-budek amat. Budek sedikit sebetulnya tidak apa-apa, toh Haji
Bolot juga budek tapi bisa memberi hiburan yang tak ternilai. Setidaknya, supaya
tak ada kejadian konyol yang berujung malapetaka. Rasa takut itu makin menjadi,
pikiranku memvonis diriku sendiri, aku hanya akan jadi mahasiswa yang tak
sanggup menyelesaikan studi karena perkara budek.
Kabar baik pun datang, mungkin
karena segala doa dan amal baik kami secara kumulatif selama hidup ini mampu
menyelamatkan kami. Atau mungkin juga karena sebetulnya hal ini adalah sesuatu
yang lumrah, tak perlu jauh-jauh terjebak dalam ketakutan yang mungkin juga
cuma mengada-ngada. Entah lah, yang jelas kedua rekan kami datang dengan kabar
baik.
Segala pikiran buruk itu hilang seketika, entah bagaimana cara otakku bekerja waktu itu, tapi sekiranya itulah yang aku pikir. Padahal, sebetulnya rasa takut akan sirine, dosa, dan jeruji tak pernah sepenuhnya hilang. Masih ada kemungkinan buruk lainnya, masih banyak. Misalnya saja, bagamaina kalau ternyata sekembalinya mereka dari proses transaksi, polisi-polisi itu mengikuti?
Segala pikiran buruk itu hilang seketika, entah bagaimana cara otakku bekerja waktu itu, tapi sekiranya itulah yang aku pikir. Padahal, sebetulnya rasa takut akan sirine, dosa, dan jeruji tak pernah sepenuhnya hilang. Masih ada kemungkinan buruk lainnya, masih banyak. Misalnya saja, bagamaina kalau ternyata sekembalinya mereka dari proses transaksi, polisi-polisi itu mengikuti?
Dari pada memikirkan hal yang tidak-tidak, lebih baik segera membuka barang bawaan mereka berdua. Rasanya aku seperti anak kecil yang begitu girang dengan kedatangan orang tuanya sepulang bekerja, membawa buah tangan yang menyenangkan. Mungkin memang bukan mainan dari Happy Meals, atau juga mainan Megazord, ataupun Toy Story, tapi perasaannya sama-sama menyenangkan.
Mereka berdua kembali dengan wajah agak sumringah, atau lega, atau keduanya. Yang jelas, mereka berdua kembali dengan selamat, membawa si jamur impian yang ditunggu-tunggu, dalam sebuah kantung kresek hitam murahan. Tidak terlihat manis ataupun menyenangkan, tapi aku yakin itu memabukkan. Seperti barang-barang jahat lainnya yang dibawa dengan kantung kresek yang sama.
Kadang aku bingung, mengapa kantung kresek hitam identik sekali dengan hal yang jahat. Bukan hal baru menyaksikan barang jahat dalam kantung kresek. Di tiap sudut kota, di helatan musik di kampung sampai di ibu kota, kresek hitam di mana-mana. Isinya macam-macam, anggur merah, intisari, ciu, lapen, bahkan lem aibon. Kali ini, satu lagi hal buruk dibawa dalam kresek hitam, jamur.
“Gue udah mau cabut tadi, lama banget, takut kena cepu gue,” ujar teman keambon-ambonanku. “Ayo buka lah nih, dikasih bonus sama abangnya, royco nih,” tambahnya. Aku bingung bukan main, apa hubungannya royco dengan jamur ini? Apa kandungan MSG yang katanya bikin warga Indonesia bodoh-bodoh ini bisa bikin tambah mantap efek si jamur?
“Biar mantep katanya, soalnya gak ada rasanya, kasih royco aja biar ada rasanya,” kata temanku yang lain menimpali. Ah, cukup masuk akal. Mengingat dari mana jamur ini berasal, rasanya mungkin bisa bikin mual, dan royco ini adalah penawarnya. Aku yang makin penasaran segera mengambil mangkuk besar sebagai penampungan terakhir jamur-jamur lucu itu, sebelum masuk ke dalam perut kami dan melaksanakan tugasnya.
Tak kuduga, rupanya jamur ini tak seperti jamur crispy yang aku bayangkan. Dalam pikiranku, jamur itu seperti jamur crispy yang biasa aku beli di warung makan, kecoklat-coklatan, panjang-panjang, berlapis tepung ala KFC. Rupanya jamur ini bulat-bulat dan kecil-kecil. Bukan jamur yang biasa ditemukan dalam cah jamur ataupun jamur crispy pada umumnya. Baunya? Entahlah. Rasanya? Biar royco yang bekerja untuk hal ini.
Saat jamur-jamur itu terkumpul di mangkuk dan mulai ditaburi dengan royco, aku benar-benar tidak tertarik. Warnanya yang coklat gelap, agak hijau, seperti kripik bayam, bedanya ini kecil-kecil dan bulat. Aku tak suka kripik bayam, siapapun yang buat, atau dibeli dari manapun. Hal itu sempat membuatku hampir mengurungkan niatku untuk melahap jamur-jamur itu beserta kegilaan yang dibawanya.
“Sini tangannya, bikin seukuran segini,” temanku memberi instruksi. Dia meminta kami merapatkan jari-jari di tangan kami, membuat genggaman kosong, membentuk tangan kami seperti akan mengambil air di kolam atau di bak mandi. Aku sempat tidak percaya ini benar-benar terjadi, sebentar lagi. Tanganku ini akan segera dipenuhi oleh jamur-jamur itu, jamur impian, jamur ajaib, jamur jahat!
mengapa jamurnya sedikit sekali? Aku pikir dengan ukuran seperti itu, itu cuma akan bikin geli. “Percaya sama gue, segini aja dulu, rasain dulu dah,” ujar temanku. Karena dia sudah lebih berpengalaman dengan hal ini, aku percaya-percaya saja. Biar dia melakukan tugasnya dan menunjukkan kepadaku cara terbaik yang mungkin agar jamur ini bekerja sebaik mungkin.
Aku, temanku yang debutan, temanku yang punya pulsa, dan temanku yang memicu hal ini terjadi, telah menggenggam jamurnya masing-masing. Mereka mulai melahap jamur-jamur itu dalam satu suapan, seperti saat anak kecil menikmati Mie Kremez, ataupun Mie Soba. Mereka tampak masih waras dan sehat setelahnya. Tak seperti yang aku kira, si jamur rupanya tak bekerja dalam hitungan detik.
Sesaat sebelum melahapnya, aku masih bertanya-tanya, seperti apa rasanya? Apa benar ini jamur yang selama ini dibicarakan di mana-mana? Tapi mengapa benar-benar mirip seperti kripik bayam yang aku benci. Satu-satunya hal baik soal jamur ini adalah, dia berlumur royco. Pasti asin, dan sesuai dengan lidah indonesiaku yang butuh asupan MSG dalam jumlah yang tak sedikit.
Dari pada aku mati penasaran dengan menggenggam jamur, aku putuskan melahapnya dalam satu suapan, sama seperti yang lain. Jamur-jamur itu aku kunyah perlahan, mencoba meraba-raba rasa asli dari jamur ini. Tapi itu sia-sia, yang muncul cuma rasa royco yang asin. Bahkan setelah aku pastikan semua jamur itu telah melewati tenggorokanku, rasa asinnya masih kuat dan terasa menyala-nyala dalam mulut.
Tak ada yang berubah, semua masih biasa saja. Aku melihat teman-temanku yang lain, mereka juga masih waras, sehat wal afiat, biasa-biasa saja. Mungkin kami salah beli jamur, mungkin saja itu hanya jamur merang yang dibuat sedemikian rupa agar mirip kripik bayam. “Tunggu dulu, gak langsung kerja dia,” kata temanku yang semalaman itu akan menjadi satu-satunya orang yang agak waras di dalam kamar.
Kami yang belum kunjung merasakan sesuatu dengan masuknya jamur-jamur tadi mencoba melakukan sesuatu agar mereka cepat bekerja. “Kami butuh stimuli untuk ini!” itulah mungkin yang kami pikir waktu itu. Akhirnya, dicarilah medium-medium lain yang bisa membuat sang jamur bekerja lebih cepat. Dari mulai video hingga gambar yang mengandung muatan ilusi optik, kami tonton semuanya, dan itu bekerja! Ini benar-benar terjadi!
No comments:
Post a Comment