Wednesday, November 23, 2016

Gara-gara Budek (4)

Malam mulai berlalu, bahkan mungkin sudah hampir sepertiga terakhir. Apa semua tingkah aneh malam itu mulai surut? Tidak juga. Masih banyak kegilaan lainnya yang akan muncul, dimulai dengan teman debutanku tiba-tiba pergi ke kamar mandi dan muntah. Mungkin si jamur tak begitu cocok dengan perutnya, atau MSG-nya yang tak cocok, atau keduanya.

Karena tak ingin kamar mandiku kotor karena kotoran dan muntahan manusia, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkannya. Rupanya niat baikku itu tak berujung baik, karena saat aku masuk ke sana, kamar mandi seakan menawarkan sensasi yang berbeda untuk menikmati efek jamur ini. Kali ini aku bermain dengan semprotan kamar mandi, ya benar-benar bermain dengannya.

Kamar kosanku berwarna hijau, diterangi lampu tidur yang kekuning-kuningan. Sementara kamar mandi, setengah dindingnya berlapis ubin dengan pola-garis-garis, diterangi lampu neon putih terang. Seharusnya garis-garisnya cuma berwarna abu-abu, tapi saat aku masuk ke sana, berubah menjadi warna-warni pelangi, dan mereka bergoyang. Ini mengagumkan!

Aku mengambil semprotan kloset dan menyemprot muntahan, dan kotoran temanku, yang rupanya tak tepat berada di lubang kloset. Kotorannya tidak begitu berantakan, hanya terciprat sedikit ke badan kloset duduk, tapi muntahannya, benar-benar mengerikan. Semua terkumpul di sudut tembok, sepertinya terkucur dari dinding.

Temanku tak muntah di kloset, tapi muntah ke dinding kamar mandi. Sepertinya muntahannya muncrat begitu kuat, seperti muntahan orang-orang yang sedang melakukan Exorcist dalam film horror Amerika. Mungkin si debutan sedang berusaha mengusir Lucy yang sudah masuk terlalu jauh ke dalam pikirannya. “I condemned you back to Hell, Lucy!”. Semoga saja Lucy yang dimaksud bukan Lucy Pinder, karena dia jelas terlalu hot untuk neraka.

Kusemprot semua kotoran itu dengan semprotan air. Aku benar-benar menikmatinya, sambil berjongkok atau mungkin duduk, aku tak benar-benar mengingatnya. Aku pikir itu hal yang menyenangkan, aku bisa melakukan ini berjam-jam. Menyemprot air, membersihkan kotoran, melihat pelangi, dan menonton garis-garis dinding yang bergoyang.

Mungkin aku terlalu lama di kamar mandi, si mirip Ambon berpikir ada yang tidak beres denganku. Dia datang dan menghentikan keasyikanku dengan semprotan, pelangi, dan dinding yang bergoyang. Sedikit sedih waktu dia membawaku keluar, “apa yang salah dengan main semprotan di kamar mandi?” pikirku waktu itu.

Sebetulnya aku harus berterima kasih kepadanya, karena mungkin kalau dia tidak menjemputku di kamar mandi, aku akan berada di sana sampai pagi. Setelah itu aku duduk lagi menikmati alunan musik sembari memejamkan mata. Pikiranku mulai kembali menggila—atau sebetulnya aku memang gila semalaman—kali ini aku berpikir soal adanya aturan agama yang mengatakan musik itu haram.

Aku rasa aku benar-benar jenius malam itu. Aku memecahkan alasan mengapa musik itu haram! Ya, jelas saja, karena jika dikombinasikan dengan jamur bisa membuat pendengarnya masuk ke dalam dunua yang lain! Untung saja tidak semua orang memakan jamur saat mendengarkan musik, ah, atau sebetulnya semua musisi juga memakannya sehingga bisa membuat musik seperti itu?

Baiklah, kini aku paham semua musisi adalah pendosa. Ah, bukan. Semua manusia adalah pendosa. Dengan atau tanpa musik. Dengan atau tanpa jamur. Semuanya hidup untuk berbuat dosa. Menyesalinya, melakukannya lagi, dan menyesal kembali. Dosanya tak pernah sama, tapi pelakunya selalu sama: Manusia.

Pikiran-pikiran itu muncul dan pergi begitu saja, beruntung waktu menuliskan cerita ini aku bisa mengingatnya. Akan tetapi, waktu semuanya terjadi berpikir itu seperti buang-buang waktu saja. Aku bisa menemukan sesuatu yang brilian dalam pikiranku, tapi kemudian hilang. Berpikir lagi, tahu lagi, lalu lupa lagi.

Perlahan-lahan si jamur mulai kehilangan efeknya pada diriku, dan mungkin juga pada teman-temanku. Aku mulai sadar dan bisa bergerak normal. Si debutan juga mulai sadar, tapi masih sulit bicara. Si mirip Ambon tetap saja seperti itu, selonjoran sambil mendengarkan Rock The Casbah, agak sulit menakar tingkat kesadarannya. “Semuanya akan berakhir sebentar lagi, syukurlah,” ucapku dalam hati.

Kalau tidak salah, itu sudah hampir jam 4 atau mungkin jam 5 pagi. Setelah ini aku harus menata ulang hidupku kembali. Aku merasa seperti komputer yang diinstall ulang, aku bingung apa rencana hidupku sebenarnya. Mungkin terdengar berlebihan dan tidak masuk akal, tapi itu benar-benar yang aku pikirkan waktu itu. Mungkin aku harus memulainya dengan tidur, aku sudah mulai ngantuk.

Sebentar, sepertinya ada yang salah. Aku memulai cerita ini bersama tiga orang kawanku bukan? Aku, si debutan, si empunya pulsa, dan si mirip orang Ambon. Si debutan sudah kusebutkan tadi, dia mulai sadar dan tidak lagi bermain bersama Lucy. Si ambon, masih seperti biasa dengan Rock The Casbah-nya, cuma berhenti buang air saja. Si pengirim SMS, alias si empunya pulsa, di mana dia dalam cerita ini? Aku melewatkannya!

Baru saja aku mulai mengantuk, tiba-tiba salah satu dari kami mengangkat meja! Dia terlihat seperti monster yang mulai mengamuk. Dia mengangkat meja, sepertinya hendak membanting meja itu. Tak lain dan tak bukan, ya dia adalah si pengirim SMS! Orang yang hilang dalam cerita ini, orang yang tak kuingat keberadaannya malam itu. Ini gawat, sepertinya efek si Jamur telat naik ke otaknya.

Saat yang lainnya mulai sadar, dia malah baru mulai menggila. Mungkin di awal dia terlalu menahan diri, tidak rileks, tidak mengikuti instruksi sederhana dari pengonsumsian jamur di manapun: Lemesin aja, jangan dilawan. Beruntung si mirip Ambon cukup gesit untuk mencegahnya mengobrak-abrik seisi kamar. Dengan perlahan-lahan, kami menyuruhnya duduk kembali.

Dia mulai duduk dan menyetel lagunya sendiri lewat head set. Kami semua mulai tenang untuk beberapa waktu. Meski begitu, kami masih tetap waspada akan kemungkinan setiap kegilaan yang bisa muncul kapan saja. Di tengah-tengah kami yang mulai sadar, masih ada satu orang yang justru baru mulai terkena efek si jamur. Dan MSG, tentunya.

Suasana mulai hening, aku mulai mengantuk tapi tak bisa tidur. Mau bicara sulit, bergerak apalagi, aku cuma bisa diam dan berpikir, sampai pagi. Rupanya keheningan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba si empunya pulsa menggeliat di karpet, dia seperti tercekik sesuatu. Dia seperti dalam lilitan ular kobra atau cracken, atau makhluk lainnya yang bisa melilit.

Kami jadi ikutan panik dan berusaha menenangkannya. Melepaskan lilitan headsetnya yang berantakan di tubuhnya. Sebetulnya dia tidak terlilit sama sekali, tapi entah bagaimana caranya dia bisa merasa seperti itu. Cuma dia yang benar-benar tahu rasanya. Untung saja dia tidak melawan dan membuat semuanya tambah kacau.

Si empunya pulsa masih menjadi sorotan. Meski kali ini dia cuma duduk dan melamun, kami masih mewaspadai kegilaan yang munkin dari si late bloomer ini—Mungkin sebutan “Late Bloomer” tidak tepat untuk situasi seperti ini, tapi entahlah itu terdengar cocok. Setiap gerak-geriknya kami perhatikan, semua orang tiba-tiba waspada tiap kali dia bergerak.

Mungkin dia agak risih kami perhatikan seperti itu, sampai akhirnya dia pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Aku pikir dia tidak benar-benar ingin kencing, kurasa dia cuma ingin “me time” sejenak. Tak ada yang aneh darinya saat pergi ke kamar mandi, kurasa semuanya aman. Tidak akan ada hal aneh lainnya. Semua mulai tenang dan normal.

Sial! Penilaianku salah. Dia mungkin benar-benar kencing di kamar mandi, lewat alat yang seharusnya, dan juga dengan posisi yang tepat, tapi celananya? Ada yang salah dengan celananya. Dia yang waktu itu menggunakan celana jeans sepertinya lupa menurunkan celananya saat buang air besar. Memang benar saat dia keluar kami melihat gespernya telah dilepas, tapi celananya tidak.

Melihatnya seperti itu aku dan si debutan langsung mencarikannya celana pendek untuknya. Celananya benar-benar bau pesing, bau air kencing yang penuh dengan senyawa psilocybin. Untung dia tidak beranjak dari tempatnya. Si debutan memberinya celana pendek dan memintanya berganti celana di dalam kamar mandi.

Rupanya niatan baik itu tak disambut dengan baik dan suka rela oleh si late bloomer. Dia menolak mengganti celana, dia merasa tak perlu akan hal itu. “Apaan sih? Orang gue gak kenapa-kenapa,” katanya. “Udah, ganti dulu, itu basah celananya,” jawab si debutan. Terjadi perdebatan kecil di sana, untung tidak lama. Dia akhirnya mengalah dan masuk ke kamar mandi.

Tak lama kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan celana jeans yang sama, dengan gesper yang masih terlepas, dan menenteng celana pendek di pundaknya. Jelas, ada yang tidak beres dengannya, aku mulai takut. “Ganti dulu celananya,” kata si debutan. “Apaan sih, ini kan udah gue ganti,” jawab si late bloomer agak marah. Dia benar-benar keras kepala, dan itu jelas tidak baik untuknya ataupun untuk kami semua.

Sang debutan terus membujuknya masuk ke kamar mandi lagi untuk benar-benar mengganti celananya. Entah bagaimana caranya membujuk, akhirnya dia berhasil membuatnya masuk lagi ke kamar mandi. Semoga saja kali ini dia benar-benar mengganti celananya. Kami menunggu lagi, mungkin sambil sedikit berdoa, dan menikmati sedikit dari sisa-sisa efek jamur yang masih ada.

Kami mungkin terlalu berharap padanya. Dia kembali keluar dari kamar mandi dengan setelan yang sama. Celana pendeknya masih di tenteng di pundaknya, dan dia masih bersikeras dia telah mengganti celananya. Ah, sudahlah, di titik ini aku mulai masa bodoh dengannya, ataupun dengan senyawa psychedelic yang membanjiri celananya.

Aku tak ingat bagaimana caranya, tapi akhirnya dia mengganti celannya. Yang tak jelas aku ingat adalah di mana dia menaruh celana jeans-nya yang bau pesing itu. Di gantungkan di gantungan baju, atau di jemuran, atau sebetulnya masih dia tenteng di pundaknya, aku tak ingat. Akhirnya semuanya benar-benar berakhir. Kami perlahan sadarkan diri, dari sini tak ada lagi kegilaan yang terjadi sampai pagi.

Kencing di celana adalah kegilaan yang menutup malam kami yang panjang. Teman-temanku mulai tertidur, aku mulai mengantuk tapi belum bisa tidur. Aku keluar kamar untuk mencari udara segar. Aku memandangi langit yang masih gelap, aku merasa seperti berdialog dengannya, atau mungkin berdialog dengan pemilik langit, aku tak bisa pastikan.

Begitu lama kupandangi dia, sampai ayam berkokok entah dari mana mulai terdengar di telingaku. Udara mulai menghangat, langit mulai menguning, matahari mulai melambung, dan aku masih saja melamun. Tidak banyak yang kuingat, tapi aku yakin betul aku memikirkan banyak hal. Mungkin itu yang orang-orang bilang “basi-an”, atau efek yang muncul saat pengaruh si jamur mulai hilang, dan hal itu jelas tidak menyenangkan.

Aku seperti merasa menjadi seorang filsuf, aku merasa aku adalah Socrates—tentunya bukan yang pemain sepak bola. Aku bertanya, aku menjawabnya. Aku lupa lagi, bertanya lagi, dan menjawab lagi. Banyak sekali pertanyaan soal kehidupan manusia yang muncul, kujawab semuanya, dan kulupakan semuanya. Perasaan itu begitu absurd dan sulit digambarkan. Aneh, benar-benar aneh, mungkin juga mengerikan, tapi juga menyenangkan, aneh!

Apa malam itu membuatku menyesal? Sedikit. Apa malam itu mengubah hidupku? Tidak juga. Apa aku tidak akan bertemu lagi dengan jamur itu? Entahlah, mungkin saja, aku tak bisa jamin apa-apa, tapi sebisa mungkin akan kucoba agar tidak mengalaminya lagi. Satu hal yang bisa kupastikan setelah malam itu hanyalah: Aku akan lebih hati-hati saat mendengar kata “jamu”—dan tentunya akan lebih sering membersihkan telinga.

Sunday, November 13, 2016

Gara-gara Budek (3)

Sebuah video yang berisi ilusi optik distel di layar monitor komputer jinjingku. Aku duduk di kursi, yang lainnya duduk di kasur, dan di lantai. Kami semua terperangah, seakan masuk ke dalam video tersebut. Sekilas, video tersebut cuma berisi sebuah gambar spiral yang terus berputar ke dalam. Anehnya, semakin lama menonton, semakin masuk ke dalamnya. Durasi videonya tak begitu lama, mungkin cuma satu sampai dua menit saja, tapi setelahnya, semua mulai berbeda.

Tiba-tiba kepalaku miring ke arah kanan, seperti tertarik ke bawah, terbawa suatu gaya yang aneh. Aneh sekali, ada sesuatu yang ganjil dan tak biasa di sini. Aku menengok ke kanan, melihat wajah teman debutanku yang sedang duduk di kasur. Wajahnya aneh sekali, meliuk-liuk, bergelombang, bukan manusia! Wajahnya tiba-tiba seperti wajah Indro dan Dono pada bagian intro Warkop Milenium.

Jamur sudah bekerja, ini pasti tidak akan baik-baik saja, hal aneh pasti terjadi di sini. Dari pada terjadi sesuatu yang tidak-tidak, kupindahkan terlebih dahulu komputer jinjingku ke kursi, dan dihadapkan ke kasur. Aku buat posisinya begitu agar tidak terjadi hal yang aneh-aneh, kami berempat harus menikmati efek jamur ini dengan tertib dan tidak rusuh, setidaknya itu yang aku rencanakan.

Menyadari efek jamur ini sudah semakin menjadi aku berusaha membuat diriku senyaman mungkin. Karena belakangan ini aku sedang keranjingan lagu-lagu instrumental, ambient, dan postrock, kuputar salah satu akun souncloud yang punya lagu-lagu terbaik untuk itu. Kalau tidak salah namanya Preserved Sound, sebuah label rekaman dari Eropa, aku lupa tepatnya di mana.

Berdasarkan referensi yang aku punya perihal menikmati hal seperti ini, lagu-lagu yang kusebut di atas akan terdengar lebih nyata dan lebih berbahaya di bawah pengaruhnya. Tiap suara yang terdengar akan lebih keras di telinga, kadang masih menempel hingga beberapa detik setelah suaranya hilang. Emosi yang terbangun lewat lagu juga akan lebih hidup. Aku pikir aku sudah melakukan sesuatu yang tepat untuk menikmati si jamur malam itu.

Waktu terus berlalu, kalau tidak salah sudah pukul 10 atau 11 malam. Kami berempat mulai melakukan hal-hal aneh. Temanku yang punya kontak sang saudagar berada di depanku, cuma duduk di lantai dengan wajah agak pucat, ekspresi wajahnya sedikit ketakutan, tapi terlihat masih waras. Sementara itu, temanku yang debutan mulai mengawang-ngawang, duduk di sebelahku menikmati musik dengan mata terpejam.

Di belakangku, teman mirip Ambonku tampak sudah lebih antisipatif akan efek jamur ini, dia menyetel lagu kesukaannya sendiri lewat telepon genggamnya. Dia berbaring ke arah jendela di dinding Barat ruangan, matanya terpejam, kupingnya dicocoki head set, dan kakinya, lagi-lagi, bergoyang seperti saat menyetel dangdut koplo. Bedanya, kali ini dia memutar lagu Rock The Casbah dari The Clash, dan tentunya tak lagi meminta jamu.

Aku semakin bingung dengan apa yang kulihat, semuanya terlihat bergoyang dan begelombang. Aneh sekali, seperti saat melihat aspal di bawah terik matahari. Tapi ini di kosanku, tidak ada sinar matahari ataupun benda lain yang panasnya bisa membuat pandanganku seperti itu. Tadi kepalaku berat, sekarang penglihatanku mulai tak masuk akal. Si jamur mulai kurang ajar, aku tahu itu.

Si debutan mulai mengambil gitar dan memainkannya. Dia benar-benar menikmatinya, memainkannya layaknya John Petrucci, kadang juga seperti Jimi Hendrix. Mungkin rambut panjangnya memang mirip Petrucci, tapi badannya yang besar membuatnya lebih mirip dengan Jack Black dalam film Tenacious D. Dalam salah satu adegannya, Jack Black juga sedang dalam pengaruh magic mushroom, benar-benar mirip.

Aku tak sempat memperhatikan temanku yang lain, ya si pemilik kontak saudagar itu. Untuk alasan yang tak aku ketahui, aku malah fokus pada karpet di kamarku. Sebisa mungkin aku membuatnya rapi, tak boleh ada bagiannya yang terlipat sama sekali. Tiap kali karpetku bergeser, aku buru-buru merapikannya. Entah benar atau tidak, tapi seingatku begitu. Sambil merapikan karpet, aku selalu mengatakan, “Harus rapi, gak boleh berantakan”.

Masing-masing dari kami mulai asyik dengan dunianya sendiri. Aku sendiri mulai memikirkan banyak hal, tapi tak sanggup mengatakannya. Sesuatu yang brilian, sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, tapi aku tak bisa mengatkannya. Lidahku kelu, tiap mau bicara, yang terucap bukan yang kuinginkan, bahkan beberapa kali, tak bisa bicara sama sekali.

“Aduh...”

“Itu SBY waktu itu kan, aduh...”

“Aduh, malah aduh-aduh lagi...”

Yang unik malam itu, selain aku yang cuma bisa bilang “Aduh”, saat aku melantur, teman debutanku selalu mengerti dan meladeniku. Seingatku aku seperti mengobrol dengannya, dengan kata-kata pendek yang tak jelas, tapi nyambung. Misalnya aku bilang, “Ah, itu dunia itu, iya gitu kan, ji? Aduh...” atau “Heeh, ya, heeh?” maka dia akan menjawab, “Iya, gitu betul, gitu” atau “Iya, heeh, iya”.

Karena bicara sangat sulit, aku ingin mengabadikan pikiranku dalam tulisan, aku ingin menuliskannya lewat catatan. Aku buka aplikasi Microsoft Word, jemariku sudah benar-benar berada di atas key board, tapi tetap tak ada yang bisa kutulis. Semuanya aneh, semakin aneh. Aku pikir kedua tanganku sudah tak lagi sinkron, mungkin kemampuan motorikku sudah mulai lumpuh.

Aku lihat baik-baik kedua tanganku. Aku berusaha mempertemukan kedua telapak tanganku, tapi mereka tak pernah bertemu! Ini aneh! Apa aku tibat-tiba mengidap ataksia? Aku mencoba, lagi-dan lagi, tapi semuanya percuma. Sang jamur telah menumpahkan magisnya pada tanganku. “Gimana ini, tuh liat, kanan, kiri, tapi gak bisa ketemu!” ucapku berulang-ulang.

Mungkin karena aku mulai menyebalkan dengan tingkah yang aneh itu, teman debutanku tiba-tiba pergi ke luar kamar. “Ji, mau ke mana?” tanyaku padanya. Aku takut, dia masih debutan, apa dia benar-benar bisa berjalan dengan baik? Tiba-tiba aku jadi paranoid. “Mau ke kamar, sebentar-sebentar,” jawabnya dengan tersenyum.

Kuperhatikan, ternyata benar dia berjalan ke kamarnya, syukurlah. Tapi setelah itu aku duduk, dan bertanya pada temanku yang lain, “Tadi dia ke mana, ya?”. “Ke kamar,” jawab temanku yang makin pucat dan tertunduk lesu. Itu terjadi berulang-ulang, aku selalu menanyakan apa yang aku sudah tahu. Aku rasa ada yang aneh short term memmory-ku.

Aku tidak bisa mengingat dengan baik setiap hal yang baru saja terjadi, atau perkataan orang lain. Mungkin aku dikutuk jadi Dory karena memakan jamur ini. Atau, mungkin juga pembuat karakter Dory dalam film FInding Nemo yang terkenal itu terinspirasi dari efek jamur ini? Atau memang dalam ceritanya Dory adalah ikan yang doyan makan jamur? Ah, masa bodoh.

Alunan musik dari Soundcloud semakin menambah efek si jamur. Karena itu sebuah playlist, urutan lagunya tak bisa kuubah. Lagu-lagunya terputar secara berulang-ulang dan tak ada habisnya. Lagunya kadang terdengar menyenangkan dan menggugah semangat, tapi kadang juga terdengar sedih dan mengiris hati, kadang juga membuat takut diri sendiri.

Rupanya keputusan memutar lagu dari akun tersebut adalah keputusan yang tak tepat-tepat amat. Tiap nada minor keluar, tiba-tiba ada sesuatu yang aneh. Aku jadi panik tiba-tiba. Gundah, perasaannya campur aduk tapi mengambang. Tidak nyata, tapi sungguh terasa. Ada sesuatu yang terasa panas dan membakar di tulang belakangku, membuat badanku mengeliat, ini gila!

Selama beberapa menit, semua itu terjadi secara berulang-ulang. Lagu senang, hatiku terasa damai, lagu sedih, aku merasa takut dan panik. Aku merasa dipermainkan oleh lagu-lagu itu. Aku yakin si Preserved Sound itu sudah bekerja sama dengan korporasi dagang jamur seluruh dunia. Mereka pasti sengaja membuat lagu seperti itu untuk orang-orang yang sedang dalam pengaruh jamur. Aku yakin itu!

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, si debutan kembali ke kamarku. Ada yang aneh dengannya, senyumnya semakin lebar, matanya semakin menyipit, dan rambutnya basah! Bajunya juga benar-benar basah! Seperti baru disiram air lewat selang oleh perempuan seksi dalam iklan pompa air Shimizu, “Sedotannya kuat, semburannya kenceng!”. Semuanya kaget melihatnya seperti itu.

“Dari mana, ji?” tanyaku padanya. Bukannya menjawab dia cuma semakin melebarkan senyumnya dan duduk bersila di tengah-tengah karpet. Dia tiba-tiba menunduk, ini semakin aneh! Dia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya, berkali-kali. Kutanya lagi dia, “Dari mana ji?”. Dia benar-benar seperti arca, cuma diam dan duduk bersila. Arca yang gemuk.

“Hmm... Aku dari perjalanan yang sangat jauh,” jawabnya dengan lembut. Senyumnya makin lebar, wajahnya yang hampir bulat sempurna terlihat semakin menggemaskan. Seketika aku tidak merespon jawabannya, aku tiba-tiba ingat bayi legendaris yang menjadi matahari dalam Teletubbies. Ya, wajahnya mirip sekali dengan bayi itu! Apa mungkin sebenarnya dialah sang bayi, dan sekarang sudah dewasa?

Aku terdiam memikirkan hal itu untuk beberapa saat. Sampai tiba-tiba lagu dengan nada minor terdengar dari komputer jinjingku. Nada-nada itu benar-benar menghantamku telingaku,  lagi-lagi, aku tiba-tiba lesu dan layu. Kali ini, kuambil gitar yang berada tak jauh di sampingku, aku berdiri, memeluk gitar itu, dan berdansa dengannya. Sembari memejamkan mata, aku merasa sedang berada dalam pesta dansa kolosal.

Aku tak benar-benar ingat apa yang aku pikirkan saat melakukan itu, tapi aku ingat betul itu terasa menyenangkan. Mungkin karena saat itu aku sedang jomblo, aku merasa seperti sedang berdansa dengan seorang perempuan. Kata orang, perempuan yang badannya bagus itu yang seperti gitar Spanyol, mungkin saja, sekali lagi, mungkin saja, kuanggap gitar itu perempuan aduhay yang bohay luar biasa.

Si mirip Ambon yang dari tadi cuma goyang-goyang kaki tiba-tiba bangun dan ingin buang air besar. Dia masuk ke dalam kamar mandi yang berada di surut ruangan. Sekali lagi, karena aku tak mudah mengingat apa yang baru saja terjadi, aku menanyainya berulang-ulang dengan pertanyaan yang sama. “Dik, lu boker beneran?” tanyaku. “Iya,” jawabnya. Semua terjadi berulang ulang, pertanyaan yang sama, jawaban yang sama.

Sampai sekarang, aku tak ingat dia buang air besar berapa kali, entah berulang-ulang atau hanya sekali. Mungkin karena yang aku ingat aku menanyainya berulang-ulang aku pikir dia buang air besar berkali-kali, tapi entahlah. Tapi aku tak mungkin salah dengan kejadian setelahnya, di mana teman debutanku mulai meracau tak jelas. Dia terbaring di kasur, sambil mengatakan hal aneh, “I see Lucy, ah... Lucy in the sky...”.

Mungkin, ya cuma mungkin, dia mencoba mengasosiasikan apa yang dilihatnya dengan lagu kesohor dari The Beatles, Lucy In The Sky With Diamonds. Si debutan sedang berusaha memahami lagu itu, lagu yang katanya merujuk pada pengalaman Beatles saat menggunakan LSD. Mungkin dia sedang bertamasya bersama Lucy di sebuah negeri imajinasi yang tak mungkin. Seperti apa Lucy itu? Si debutan yang tahu.

Tak lama berselang, si mirip Ambon kembali dari kamar mandi, dia duduk di samping kasur. Di atas kasur masih ada si debutan yang masih menikmati euforia bertemu Lucy. Tiba-tiba, ya, selalu tiba-tiba, si debutan bangun dan bertanya dengan panik. “Dik, gue gak apa-apa kan?” tanyanya. Si mirip Ambon menjawab, “Enggak, kok”. Sama sepertiku, dia menanyainya pertanyaan yang sama, berulang-ulang, dan dijawab dengan jawaban yang sama, berulang-ulang.

Mendengar kepanikan si debutan, aku juga mulai panik. Aku melihat pisau yang ada di atas rak buku, tepat di sebelah meja. Entah kenapa, aku tiba-tiba takut melihat pisau itu. Apa yang bisa aku lakukan dengan itu? Atau aku sudah melakukan sesuatu dengannya? Atau mungkin salah satu dari kami sudah menggunakannya untuk sesuatu? Aku ketakutan setengah mati, tapi aku berusaha menyembunyikannya.

Dari pada terus ketakutan, aku memutuskan untuk menonton sesuatu yang menyenangkan. Aku tak ingin efek jamur ini terbuang sia-sia dalam ketakutan karena sebilah pisau yang sebetulnya hanya diam. Lewat laman muka Google aku cari “Best Trippy Websites”. Dan rupanya ada website semacam itu di dunia maya, aku baru tahu, dan aku terperangah takjub akan itu.

Ada 15 laman web yang bisa dikunjungi dari postingan yang aku klik di Google. Semua web yang ditawarkan bisa dikatakan cukup absurd, aneh, tapi sepertinya memang cocok untuk orang dalam kondisi trippy. Ada yang berisi wajah perempuan dengan mata besar yang menyeramkan, ada yang hanya berisi kotak-kotak dengan gambar seekor kudanil yang berputar-putar diiringi suara “Hippo! Hippo! Hippo!”, aneh sekali.

Tapi ada satu web yang paling lama aku nikmati, aku tak ingat namanya, tapi web itu sangat menarik. Cukup sentuh touch pad dengan jari, tiba-tiba banyak warna yang muncul tak beraturan di monitor. Aku merasa seperti berada di tengah-tengah galaksi. Menyenangkan sekali. Bukan hanya aku, si debutan dan si ambon juga ikut menikmatinya, seingatku sih begitu.

Sunday, November 6, 2016

Gara-gara Budek (2)

Aku ingin memutar waktu, kembali ke saat lagu dangdut koplo itu dimainkan. Ingin kukorek kupingku sampai bersih, agar tak budek-budek amat. Budek sedikit sebetulnya tidak apa-apa, toh Haji Bolot juga budek tapi bisa memberi hiburan yang tak ternilai. Setidaknya, supaya tak ada kejadian konyol yang berujung malapetaka. Rasa takut itu makin menjadi, pikiranku memvonis diriku sendiri, aku hanya akan jadi mahasiswa yang tak sanggup menyelesaikan studi karena perkara budek.

Kabar baik pun datang, mungkin karena segala doa dan amal baik kami secara kumulatif selama hidup ini mampu menyelamatkan kami. Atau mungkin juga karena sebetulnya hal ini adalah sesuatu yang lumrah, tak perlu jauh-jauh terjebak dalam ketakutan yang mungkin juga cuma mengada-ngada. Entah lah, yang jelas kedua rekan kami datang dengan kabar baik.

Segala pikiran buruk itu hilang seketika, entah bagaimana cara otakku bekerja waktu itu, tapi sekiranya itulah yang aku pikir. Padahal, sebetulnya rasa takut akan sirine, dosa, dan jeruji tak pernah sepenuhnya hilang. Masih ada kemungkinan buruk lainnya, masih banyak. Misalnya saja, bagamaina kalau ternyata sekembalinya mereka dari proses transaksi, polisi-polisi itu mengikuti?

Dari pada memikirkan hal yang tidak-tidak, lebih baik segera membuka barang bawaan mereka berdua. Rasanya aku seperti anak kecil yang begitu girang dengan kedatangan orang tuanya sepulang bekerja, membawa buah tangan yang menyenangkan. Mungkin memang bukan mainan dari Happy Meals, atau juga mainan Megazord, ataupun Toy Story, tapi perasaannya sama-sama menyenangkan.

Mereka berdua kembali dengan wajah agak sumringah, atau lega, atau keduanya. Yang jelas, mereka berdua kembali dengan selamat, membawa si jamur impian yang ditunggu-tunggu, dalam sebuah kantung kresek hitam murahan. Tidak terlihat manis ataupun menyenangkan, tapi aku yakin itu memabukkan. Seperti barang-barang jahat lainnya yang dibawa dengan kantung kresek yang sama.

Kadang aku bingung, mengapa kantung kresek hitam identik sekali dengan hal yang jahat. Bukan hal baru menyaksikan barang jahat dalam kantung kresek. Di tiap sudut kota, di helatan musik di kampung sampai di ibu kota, kresek hitam di mana-mana. Isinya macam-macam, anggur merah, intisari, ciu, lapen, bahkan lem aibon. Kali ini, satu lagi hal buruk dibawa dalam kresek hitam, jamur.

“Gue udah mau cabut tadi, lama banget, takut kena cepu gue,” ujar teman keambon-ambonanku. “Ayo buka lah nih, dikasih bonus sama abangnya, royco nih,” tambahnya. Aku bingung bukan main, apa hubungannya royco dengan jamur ini? Apa kandungan MSG yang katanya bikin warga Indonesia bodoh-bodoh ini bisa bikin tambah mantap efek si jamur?

“Biar mantep katanya, soalnya gak ada rasanya, kasih royco aja biar ada rasanya,” kata temanku yang lain menimpali. Ah, cukup masuk akal. Mengingat dari mana jamur ini berasal, rasanya mungkin bisa bikin mual, dan royco ini adalah penawarnya. Aku yang makin penasaran segera mengambil mangkuk besar sebagai penampungan terakhir jamur-jamur lucu itu, sebelum masuk ke dalam perut kami dan melaksanakan tugasnya.

Tak kuduga, rupanya jamur ini tak seperti jamur crispy yang aku bayangkan. Dalam pikiranku, jamur itu seperti jamur crispy yang biasa aku beli di warung makan, kecoklat-coklatan, panjang-panjang, berlapis tepung ala KFC. Rupanya jamur ini bulat-bulat dan kecil-kecil. Bukan jamur yang biasa ditemukan dalam cah jamur ataupun jamur crispy pada umumnya. Baunya? Entahlah. Rasanya? Biar royco yang bekerja untuk hal ini.

Saat jamur-jamur itu terkumpul di mangkuk dan mulai ditaburi dengan royco, aku benar-benar tidak tertarik. Warnanya yang coklat gelap, agak hijau, seperti kripik bayam, bedanya ini kecil-kecil dan bulat. Aku tak suka kripik bayam, siapapun yang buat, atau dibeli dari manapun. Hal itu sempat membuatku hampir mengurungkan niatku untuk melahap jamur-jamur itu beserta kegilaan yang dibawanya.

“Sini tangannya, bikin seukuran segini,” temanku memberi instruksi. Dia meminta kami merapatkan jari-jari di tangan kami, membuat genggaman kosong, membentuk tangan kami seperti akan mengambil air di kolam atau di bak mandi. Aku sempat tidak percaya ini benar-benar terjadi, sebentar lagi. Tanganku ini akan segera dipenuhi oleh jamur-jamur itu, jamur impian, jamur ajaib, jamur jahat!

mengapa jamurnya sedikit sekali? Aku pikir dengan ukuran seperti itu, itu cuma akan bikin geli. “Percaya sama gue, segini aja dulu, rasain dulu dah,” ujar temanku. Karena dia sudah lebih berpengalaman dengan hal ini, aku percaya-percaya saja. Biar dia melakukan tugasnya dan menunjukkan kepadaku cara terbaik yang mungkin agar jamur ini bekerja sebaik mungkin.

Aku, temanku yang debutan, temanku yang punya pulsa, dan temanku yang memicu hal ini terjadi, telah menggenggam jamurnya masing-masing. Mereka mulai melahap jamur-jamur itu dalam satu suapan, seperti saat anak kecil menikmati Mie Kremez, ataupun Mie Soba. Mereka tampak masih waras dan sehat setelahnya. Tak seperti yang aku kira, si jamur rupanya tak bekerja dalam hitungan detik.

Sesaat sebelum melahapnya, aku masih bertanya-tanya, seperti apa rasanya? Apa benar ini jamur yang selama ini dibicarakan di mana-mana? Tapi mengapa benar-benar mirip seperti kripik bayam yang aku benci. Satu-satunya hal baik soal jamur ini adalah, dia berlumur royco. Pasti asin, dan sesuai dengan lidah indonesiaku yang butuh asupan MSG dalam jumlah yang tak sedikit.

Dari pada aku mati penasaran dengan menggenggam jamur, aku putuskan melahapnya dalam satu suapan, sama seperti yang lain. Jamur-jamur itu aku kunyah perlahan, mencoba meraba-raba rasa asli dari jamur ini. Tapi itu sia-sia, yang muncul cuma rasa royco yang asin. Bahkan setelah aku pastikan semua jamur itu telah melewati tenggorokanku, rasa asinnya masih kuat dan terasa menyala-nyala dalam mulut.

Tak ada yang berubah, semua masih biasa saja. Aku melihat teman-temanku yang lain, mereka juga masih waras, sehat wal afiat, biasa-biasa saja. Mungkin kami salah beli jamur, mungkin saja itu hanya jamur merang yang dibuat sedemikian rupa agar mirip kripik bayam. “Tunggu dulu, gak langsung kerja dia,” kata temanku yang semalaman itu akan menjadi satu-satunya orang yang agak waras di dalam kamar.

Kami yang belum kunjung merasakan sesuatu dengan masuknya jamur-jamur tadi mencoba melakukan sesuatu agar mereka cepat bekerja. “Kami butuh stimuli untuk ini!” itulah mungkin yang kami pikir waktu itu. Akhirnya, dicarilah medium-medium lain yang bisa membuat sang jamur bekerja lebih cepat. Dari mulai video hingga gambar yang mengandung muatan ilusi optik, kami tonton semuanya, dan itu bekerja! Ini benar-benar terjadi!

Sunday, October 30, 2016

Gara-gara Budek! (1)

Di suatu hari libur kuliah, aku lupa kapan tepatnya, yang jelas saat liburan kuliah. Aku dan tiga orang temanku melakukan hal terkonyol dalam hidupku, entah buat yang lain, tapi buatku itu benar-benar bodoh. Tak ada rencana, tak ada juga keinginan yang begitu sangat, semua terjadi begitu saja. Diawali sebuah kekonyolan yang teramat sangat.

Temanku yang rupanya mirip orang Ambon tapi bukan orang Ambon sedang asyik menyetel video dangdut koplo di Youtube. Entah bagaimana awalnya, tapi begitulah dia, dari Daft Punk, sampai alunan dangdut pantura masuk ke telinganya. Di tengah-tengah anggukan kepalanya yang nikmat, dan hentakan kakinya yang ikuti irama, tiba-tiba dia mengucapkan sesuatu yang menjadi awal mula kekonyolan kami sore itu.

Waduh asyik banget nih, apa lagi kalo pake jamu, mantep pasti,” ucapnya tiba-tiba. Jamu yang dia maksud adalah jamu memabukkan yang bisa kamu temukan di warung jamu manapun. Bisa intisari atau anggur merah, yang jelas murah dan bikin meriah. Aku yang waktu itu sedang tidak begitu fokus, dan mungkin memang sudah agak budek karena jarang membersihkan kotoran telinga, salah mendengar ucapannya.

Apaan? Jamur?” tanyaku spontan. “Bukan! Jamu, ah budek dah lo,” jawab teman agak ambonku. Sampai di sini perkara budek belum jadi biang masalah, sekadar bahan instrospeksi diri saja. Lagi-lagi aku salah dengar, sepertinya membersihkan telinga tak boleh terus menerus aku tinggalkan. Mungkin besok-besok aku harus lebih sering membeli cotton buds—yang padahal sebetulnya bukan alat yang tepat untuk membersihkan telinga, tapi di Indonesia, begitulah adanya.

Tiba-tiba saja, temanku yang lain menyahut, “Sabi sih, gue belum pernah nih.” Di sinilah semuanya dimulai! semua terjadi begitu cepat, begitu ganjil, dan tak terduga. Sahut-sahutan kami sore itu layaknya pertunjukan humor dengan naskah yang padu, tapi jujur saja, semua terjadi begitu saja. Jika kuingat-ingat, mungkin itu adalah cuplikan terkonyol seumur hidupku sejauh ini.

“Nah, ini gue ada kontak abang-abang yang jual nih, tapi gak ada pulsa,” ujar temanku yang lain. Teman yang satu ini sudah pernah mencoba jamur yang dari tadi kita bicarakan, mungkin sudah beberapa kali. Hanya berselang detik, satu kalimat penutup tiba-tiba terucap dari si Ambon tapi bukan Ambon. Kalimat yang menutup sahut-sahutan konyol itu, dan mengawali kegilaan kami di sebuah kamar kosan di suatu sudut Jatinangor.

“Gue ada pulsa nih!”

Semua kepala yang ada di kamar tiba-tiba terdiam sejenak. Aku tak tahu apa yang ada di tiap-tiap kepala itu, tapi setidaknya aku bisa beri tahu apa yang muncul di kepalaku. Kira-kira begini, “Ini akan menjadi sesuatu yang gila, aku belum pernah mencoba hal ini sebelumnya. Cerita soal jamur yang selama ini cuma legenda sebentar lagi akan kesampaian juga.”

Tiba-tiba aku ingat seorang teman dari masa pengabdian (atau pengasingan) di Pangandaran. Dia memberitahuku pengalamannya dengan jamur. Dia bilang itu pengalaman yang paling mengerikan buatnya. Dirinya hilang entah kemana, dia lupa apa yang dilakukannya. Tinggal luka-luka, dan sakit badan yang dia dapat setelah bangun.

Teman ini adalah seorang yang sudah cukup ahli di bidang ini. Jika dibandingkan dengan aku, aku mungkin baru sampai di fasenya ketika SMP atau SMA. Segala macam zat-zat terburuk sekalipun sudah pernah mampir dalam aliran darahnya. Kenyataan ini semakin membuatku gugup, akan seperti apa aku nanti? Seorang yang sudah lebih banyak pengalaman saja bisa hilang kontrol, apa lagi aku? Aku benar-benar gugup, takut, merasa bodoh, tapi juga bersemangat.

Setelah keheningan itu berakhir, kekonyolan tak terlupakan itu akhirnya berlanjut. Dikirimkanlah sms kepada sang saudagar, menanyakan ketersediaan si jamur yang dicari-cari. Sampai titik ini aku sempat masih tak percaya dan berharap ini tidak nyata. Semakin aku berharap demikian, semakin nyata kejadian ini. Tak lama berselang, si penjual membawa kabar baik. Dia sedang punya stok melimpah, tapi dalam bentuk jamur crispy, bukan dalam bentuk mentah.

Tak masalah, crispy atau mentah yang penting itu adalah jamur yang dicari-cari. Jamur penuh kejutan yang muncul dari hal mengejutkan pula: kotoran sapi! Ah, seketika itu aku tak peduli lagi dengan segala dosa, rasa takut, atau apapun yang bisa menghalangi terlaksananya hajat yang satu ini. Aku ingin segera merasakan bagaimana gilanya si jamur crispy.

Setelah sepakat soal harga dengan sang saudagar, dua temanku berangkat untuk menjemput sang jamur impian. Dua temanku yang berangkat adalah si empunya kontak dan si empunya pulsa, keduanya sudah lebih pro soal ini. Aku dan temanku yang masih debutan menunggu di kosan yang tak lama lagi, setelah kejadian ini, akan semakin tidak barokah untuk penghuni selanjutnya.

Mereka pergi saat menjelang maghrib, hanya beberapa saat sebelum adzan maghrib berkumandang. Keduanya akan menemui sang saudagar di sebuah tempat yang sangat terbuka di Jatinangor. Agak ketakutan sebenarnya aku mendengar hal itu, semua bisa terjadi, bahkan bisa saja sang saudagar kali ini sedang berkirim pesan dengan kami dari balik jeruji. Alih-alih jual beli, malah adu nyali dengan risiko mendekam di balik jeruji.

Rasa takut itu kian muncul, adzan maghrib mengambang di antara perasaan yang semrawut dan campur aduk. Bayangan dosa, penjara, gila, sapi, kotoran, dan jamur, semuanya berpeluk dalam satu pangkuan perasaan yang aneh. Perasaan yang mungkin cuma aku yang bisa rasakan, tak bisa kugambarkan dengan baik, meskipun aku sangat ingin.

Aku dan temanku yang sama-sama debutan cuma saling tatap, sedikit berbincang, kadang juga bercanda. Aku tahu semua itu cuma akal-akalan rasionalitas kami berdua yang sama-sama gugup. Kami berdua tahu akan berhadapan dengan sesuatu yang benar-benar baru dan tak terbayangkan. Memang banyak referensi soal ini, tapi kami belum pernah berjumpa dengannya.

“Bagaimana bentuknya? Mengapa bisa seajaib itu sampai orang menamainya magic shroom. Bagaimana rasanya?” tanyaku dalam hati. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkembang dan menjadi-jadi. Kami tahu kami berdua sedang mengobrol, tapi kami tahu otak kami sedang tak berfokus dalam obrolan. Kami berdua memikirkan hal yang sama, dengan cara yang berbeda, di balik obrolan yang sama.

Batang demi batang rokok kami habiskan untuk menikmati menunggu yang tidak ada nikmatnya sama sekali itu. Tiap hisapan rokok itu cuma semakin mengajak kami memikirkan si jamur ajaib ini. Untuk sekian waktu yang entah berapa lama, tak kunjung ada kabar yang muncul dari teman-teman kami di luar sana. Jujur, aku mulai panik.

Kalau sampai benar ini adalah jebakan, kami harus bersiap dengan iring-iringan sirine dan polisi yang akan menciduk kami tanpa ampun. Mungkin yang tersisa hanyalah isapan jempol belaka. Di balik dinding penjara yang dingin dan sunyi, di hadapan sipir-sipir tengik. Empat pemuda tertangkap akibat salah satunya budek. Konyol sekali.

Sunday, May 15, 2016

Budaya Melahap Lalap

Siapa yang tak kenal makanan khas Sunda dari tanah parahyangan. Jika kebetulan sedang berada di daerah Sunda, dengan mudah dapat ditemukan banyak tempat makan yang menawarkan makanan ‘khas’ Sunda.

Biasanya rumah makan Sunda identik dengan sambal. Beberapa sajian lain seperti pepes, lalapan, hingga berbagai makanan yang dibakar juga merupakan sajian yang lazim ditemui di beberapa rumah makan khas Sunda. Selain itu, rumah makan khas Sunda lazimnya juga menawarkan suasana alam dan konsep lesehan.

Makanan dan Kebudayaan

Makanan secara harfiah dapat diartikan sebagai segala bahan yang kita makan atau masuk ke dalam tubuh yang membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga, atau mengatur semua proses dalam tubuh. Sedangkan dalam kajian antropologi, makanan bukan hanya sebatas pemenuh kebutuhan biologis, makanan memiliki banyak arti simbolik yang jauh lebih dalam ketimbang sekadar pemenuh kebutuhan semata.

Seto Nurseto, alumni Prodi (Program Studi) Antropologi Universitas Padjadjaran mengatakan bahwa makanan adalah bagian dari kebudayaan, makanan sangat erat kaitannya dengan budaya di mana makanan itu ada. 

"Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi," ungkap pria yang juga pemilik usaha kuliner di Bandung ini.

Budaya saat ini sering kali hanya dilihat melalui kesenian, padahal kesenian itu hanyalah bagian kecil dari kebudayaan itu sendiri. Banyak orang terjebak dalam melihat suatu kebudayaan hanya dari keseniannya saja. Seperti budaya Sunda misalnya, banyak orang hanya melihat budaya Sunda dari musik, dan jenis-jenis tariannya saja. 

Hal tersebut terungkap saat penulis berbincang dengan Ari, salah seorang pengamat budaya Sunda. Ia mengatakan, saat ini banyak orang yang menyalahartikan budaya sebagai seni.

“Budaya sering tertukar dengan seni. Jadi orang kalau ditanya ‘tahu gak budaya sunda?’ jawabnya itu  jaipongan, ketuk tilu, budaya sunda hanya itu.” Ujar Ari.

Kepada penulis, Ari memaparkan lebih jauh mengenai konsep budaya. Menurutnya, budaya adalah tatanan dari mulai kita masih di dalam perut ibu sampai kembali lagi ke tanah. Budaya mengatur bagaimana hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain.

Melalui konsep tersebut, makanan adalah bagian dari kebudayaan. Makanan adalah hal yang diatur oleh kebudayaan. Apa yang disebut makanan dan bukan makanan adalah bagian dari rekonstruksi kebudayaan.

Rimbo Gunawan, pengampu mata kuliah ‘Makanan dan Kebudayaan’ di Prodi Antropologi Universitas Padjadjaran menjelaskan bahwa makanan adalah bagian penting dari kebudayaan. Apa yang dianggap makanan oleh satu kebudayaan, belum tentu dianggap makanan juga oleh kebudayaan yang lain.

Setiap budaya mengatur makanan mereka berdasarkan aturan budaya mereka. Aturan tersebut bisa didasari berbagai macam hal seperti keyakinan, sejarah, dan lain-lain. Tapi pengertian makanan menurut Rimbo sebetulnya paradoks, di satu sisi makanan bisa mengkotak-kotakan, tapi di sisi lain makanan juga bisa menjadi pemersatu.

“Selain mengkotak-kotakan orang berdasarkan klasifikasinya, makanan juga bisa menyatukan dalam konteks lain. Suatu perjanjian damai, pasti diawali atau diakhiri dengan makan bersama. Itu konteks paradoks makanan,” ujar pria berambut panjang yang sedang mengambil studi doktor di Radboud University, Nijmegen, Belanda tersebut.

Makanan Sunda dan Lalapan

Makanan Sunda identik dengan lalap. Lalap adalah tumbuh-tumbuhan yang biasa dimakan langsung oleh masyarakat Sunda. Di makalah yang dibahas dalam acara Konferensi Internasional Budaya Sunda I di Bandung pada Agustus 2001 silam, ahli mikrobiologi Istitut Teknologi Bandung, Unus Suriawieia (1036-2007), menjelaskan bahwa dari 80 jenis makanan Sunda, lebih dari 65 persen di antaranya berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Unus dalam bukunya yang berjudul Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda menjelaskan kegemaran masyarakat Sunda makan lalap adalah akibat budaya dan kehidupan masyarakat yang menyatu dengan alam. Hal ini akhirnya membuat orang Sunda punya pengetahuan tentang tumbuhan mana yang bisa dimakan dan yang tidak (Kompas, 25 Juli 2015).

Konsep hidup budaya Sunda yang menyatu dengan alam sudah ada sejak lama. Sunda telah mengenal berladang sejak puluhan tahun sebelum masehi. Salah satu pengamat budaya Sunda lainnya, Samson, mengatakan bahwa manusia sunda terbagi menjadi tiga golongan yaitu orang yang hidup di huma (ladang), orang yang hidup di kebun, dan orang yang hidup di sawah.

Ia juga menjelaskan, dalam kajian antropologi, peradaban lama ditandai dengan menjalankan kegiatan berladang untuk memenuhi kebutuhan makanan. Menurutnya, kebudayaan Sunda termasuk ke dalam peradaban lama, Peradaban lama yang telah maju.

“Kalau dalam antropologi peradaban lama ditandai dengan berladang sebagai sumber makanan, sedangkan manusia sunda pokok hidupnya itu dari berladang. Kurang lebih puluhan tahun sebelum masehi,” jelasnya.

Sejalan dengan pendapat Ari yang mengatakan budaya Sunda adalah tatanan kehidupan manusia, Samson juga mengatakan budaya Sunda bukan hanya berbicara soal suku ataupun etnis semata. Budaya Sunda lebih dalam dari itu, bicara soal kebaikan dan keburukan. Samson menjelaskan, ada enam aspek kemanusiaan Sunda yang disebut dengan Sad Rasa Kamanusiaan.

“Yang pertama adalah moral manusia terhadap tuhan, kedua adalah moral manusia terhadap pribadinya, yang ketiga adalah moral manusia dengan manusia lainnya, keempat adalah moral manusia terhadap waktu, yang ke lima itu moral manusia terhadap alam, yang terakhir adalah moral manusia terhadap kesejahteraan lahir batin,” Jelasnya.

Dalam kebudayaan Sunda, manusia dituntut berhubungan baik dengan semua ciptaan Tuhan lainnya. Tidak hanya dengan sesama manusia, tapi juga dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini semakin memperjelas bahwa manusia Sunda memang mengenal alamnya dan terbiasa hidup menyatu dengan alam. Kebiasaan mengonsumsi lalap menjadi salah satu contoh kebiasaan yang muncul dari kebiasaan masyarakat Sunda yang hidup menyatu dengan alam.

Samson melanjutkan, sudah ada pembagian tanaman dalam kebiasaan bercocok tanam orang huma dalam masyarakat Sunda. Dalam proses bertani mereka yang berlangsung selama kurang lebih enam bulan, mereka juga menanam tanaman-tanaman yang sengaja ditanam untuk orang lain dan juga untuk makhluk lain di sekitar ladang mereka.

Penanaman tanaman tersebut berdasarkan pada perhitungan yang matang berdasarkan fungsi dan manfaatnya. Contohnya, di dekat sumber air atau tampias biasanya ditanami marémé karena mampu menahan air lebih lama. Selain itu, juga marémé bisa langsung dimakan pucuknya sebagai sumber makanan cadangan bagi orang huma.

Pembagian penanaman tanaman tersebut juga didasarkan pada untuk siapa tanaman tersebut ditanam. Dalam menangani hama, kebudayaan sunda tidak membasmi mereka, tapi justru memberi mereka makanan. Contohnya, di tepian petak sawahnya, mereka menanam umbi-umbian. Hal ini dilakukan untuk memberi makanan kepada hama tikus, sekaligus menjauhkan mereka dari padi.

Sedikit berbeda dengan pendapat Samson, Rimbo rupanya punya pandangan lain. menurutnya, Keterampilan manusia Sunda mengenali alamnya dan mengkonsumsi makanan dari alam bisa jadi merupakan buah dari keragaman ekologi yang ada di tanah Sunda.

“Ada di seminar kebudayaan Sunda di tahun 2005 atau 2009, saya lupa, ada satu paper yang mengatakan keragaman hayati terutama tumbuhan, terutama di Jawa Barat itu jauh lebih banyak dibanding di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari pernyataan itu kita bisa menganalisis apakah keragaman itu terkait dengan lalapan. Dan dari situ kita bisa menangkap bahwa orang Sunda mendefinisikan lalap itu sangat luas,” tandasnya.

Tak heran, ada lelucon yang mengatakan hidup orang Sunda itu gampang. Cukup sediakan kebun dan ladang, pasti orang Sunda bisa bertahan hidup (dengan memakan lalap).

Tuesday, May 3, 2016

Memerah di Oktober

Bulan merah, di penghujung oktober
Di tepi daratan, di muka lautan
Berkawan dengan angin malam
Berdamai dengan kegelisahan

Sisipkan sedikit rindu di antara amarah
Sembunyikan amarah di balik cinta
Biarkan dunia yang pertama tertawa
Lihat siapa yang terluka di akhir nanti

Padamkan benci yang membara
Bangkitkan tawa yang tak bergairah

Pikirmu kau siapa?

Saturday, March 12, 2016

Ragam Rasa dan Cerita Secangkir Kopi



Dalam secangkir kopi terdapat sejuta cerita. Rasa yang tersaji dalam setiap lekuk cangkir kopi menawarkan berbagai cerita yang berbeda-beda. Di Indonesia sendiri, kopi bukanlah barang baru. Masyarakat Indonesia telah terbiasa mengonsumsi kopi sejak lama.

Budaya meminum kopi sudah ada di berbagai daerah di Indonesia. Budaya minum kopi di Belitung misalnya, kedai kopi di sana selalu ramai meski warungnya kecil. Kedai kopi menjadi sarana pertukaran informasi dan bersosialisasi.

Seto Nurseto, Antopolog Makanan dan Kebudayaan lulusan Universitas Padjadjaran mengatakan, sebenarnya kopi pertama kali di bawa ke Indonesia oleh Belanda. Kopi sendiri sebenarnya datang dari Afrika.

“Kebiasaan minum kopi sudah ada sejak kolonial membawa kopi ke indonesia. Aslinya, kopi tanaman afrika, dibawa ke sini oleh Belanda. Kebun kopi, kebun karet, kebun teh, itu belanda,” jelasnya.

Seto menjelaskan, pada masa kolonial penjajah membawa kopi arabica dan menyisakan kopi robusta untuk masyarakat Indonesia. Maka tak heran, kopi-kopi tradisional di Indonesia menggunakan kopi robusta. Contohnya kopi Aceh, Pontianak, dan Belitung, semua menggunakan robusta.

Tiap-tiap kebudayaan minum kopi punya cara penyajian yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bergantung pada karakteristik budayanya masing-masing. Cara penyajian kopi yang umum ditemui di Indonesia, terutama di pulau Jawa, adalah dengan cara tubruk.

Beda lagi dengan Aceh yang terkenal dengan kopi tariknya. Penyajiannya menggunakan saringan panjang seperti kaus kaki. Mirip dengan kopi pancung di Pontianak, bedanya saringan yang digunakan di Aceh lebih panjang.

Dengan perkembangan teknologi dan informasi, kopi mulai mengalami perubahan di mata masyarakat Indonesia. Dari konsep kedai kopi hingga cara meminumnya pun mulai berubah. Masyarakat tidak lagi hanya mengonsumsi kopi robusta dengan proses penyajian yang sederhana.

Saat ini, orang sudah mulai mengenal beragam cara penyajian kopi yang berasal dari luar negeri. Tak sedikit orang yang sudah tidak canggung meminum secangkir espresso atau capucinno. Orang-orang mulai melirik kedai kopi modern, tak lagi kedai kopi tradisional.

“Karena mulai tren dunia di tahun 2010-an lah, orang-orang mulai mengenal kopi. Dulunya cuma kopi tubruk di indonesia, kopi, air panas, diaduk. Kemudian, orang mulai kenal espresso, french press, mocca pot, V60. Sebenarnya, itu yang membuat coffee shop saat ini jadi menarik,” jelas Seto.

Tren kedai kopi modern mulai menjamur di Indonesia saat ini, tak terkecuali untuk daerah Bandung. Beragam kedai kopi yang menawarkan cara penyajian kopi modern mulai membanjiri dunia usaha kuliner Bandung.

KOPI PANCUNG PONTIANAK

Made Mahardika menyajikan kopi pancung di kedai Ngopilok.

Meski kedai kopi modern mulai mendominasi, tak berarti kedai kopi tradisional terpental dari dunia usaha kopi. Masih ada kedai kopi tradisional yang menawarkan suasana sederhana di Bandung.

Salah satunya adalah kedai kopi Ngopilok yang berlokasi di Jl. Surapati No. 235 Bandung. Kedai kopi ini menyajikan kopi pancung khas Pontianak. Ukuran kedainya memang tidak besar, tapi kedai kopi ini mampu membayarkan  rasa rindu pengunjung akan kopi pancung.

Teko berwarna keemasan berbahan tembaga dengan leher panjang duduk nyaman di atas dandang  yang berisi air mendidih. Di dalam teko, terdapat kopi robusta yang tengah dihangatkan. Hingga pesanan datang, kopi akan tetap hangat di dalam teko tersebut.

Ketika dikucurkan, aroma kopi robusta asli pontianak langsung masuk ke hidung. Kopi berwarna hitam kemerahan itu seakan tak sabar ingin segera melewati kerongkongan. Disajikan dalam cangkir besi kecil, kopi pancung siap menggoyang indra perasa.

Rasa pahitnya mendominasi mulut, seperti robusta pada umumnya. Bagi yang suka rasa manis, bisa tambahkan gula secukupnya. Tapi untuk menikmati rasa asli kopinya, pemakaian gula tidak disarankan. Citarasa sesungguhnya akan muncul saat kopi tidak dicampur apapun.

Ukuran cangkir kopi pancung  yang kecil rupanya punya cerita sendiri. Made Mahardika, pemilik kedai kopi Ngopilok bercerita dulunya kopi pancung dibuat untuk para buruh. Karena harganya yang mahal, ukurannya dipangkas menjadi setengah agar bisa dibeli para buruh.

“Penjual kopi yang mayoritas orang tionghoa waktu itu, nah mereka inisiatif memangkas si ukuran penyajian asli jadi setengah. Supaya si buruh bisa menikmati kopi, dengan murah,” kata Made.

Kecintaan dan rasa rindu terhadap suasana minum kopi pancung di pontianak mendorongnya membuat kedai kopi di Bandung. Suasana dengan secangkir kopi yang menemani sampai pagi menjelang. Tanpa sekat golongan sosial dan internet yang memisahkan.

“Orang harusnya bisa ngopi murah, sekalian bisa ngobrol, bisa tukar pikiran, tukar informasi. DI pontianak itu dari pejabat sampe orang biasa duduk di satu warung kopi, gak ada batasan siapa yang kaya dan siapa yang miskin, saling tukar informasi ketika udah satu meja dan satu ada kopi semua sama,” tutur pria lulusan Universitas Padjadjaran ini.

Secangkir kopi pancung dihargai Rp5.000, bila mau menggunakan susu anda cukup menambah Rp2.000. Kopi pancung cocok untuk jadi teman mengobrol bersama teman-teman semalaman. Karakter robusta yang tidak berubah rasanya meski sudah didiamkan lama menjadi alasannya.

“Robusta, mau dia baru dibikin, mau dua jam, tiga jam setelahnya, rasanya tetep sama, tidak ada waktu maksimal seperti arabica,” tambah pria yang memulai usahanya sejak September 2015 itu.

KOPI GAYO ACEH

Saputra Ekonadi (putra) sedang melakukan pemanggangan biji kopi di Red Long Gayo Coffee.


Selain Pontianak, beberapa daerah lain seperti Wamena, Aceh, dan Toraja juga terkenal dengan kopinya. Aceh selain terkenal dengan kopi saringnya, juga terkenal karena biji kopi khasnya. Salah satu kopi terkenal dari aceh adalah kopi Gayo.

Kopi Gayo adalah kopi Arabica yang dihasilkan dari perkebunan kopi di dataran tinggi Gayo, Aceh. Tingginya berada di antara 1.000-1.700 di atas permukaan laut. Citarasanya yang khas membuatnya dikenal bangsa Eropa sejak dulu.

Di Bandung ada juga kedai kopi yang menggunakan kopi Gayo. Namanya kedai kopi Red Long Gayo Coffee. Berlokasi di Jl. Teuku Umar No. 1/60, Sekeloa, Coblong, Bandung. Kedai Red Long menggunakan kopi specialty dari Gayo, Aceh.

Saputra Ekonadi (Putra) pemilik kedai kopi Red Long mengatakan, kopi yang ia gunakan dipetik langsung dari kebun keluarganya di Gayo. Kopi Red Long sendiri medapat nilai cupping test di atas 85 dari SCEAE (Specialty Coffee Association of Europe).

Red Long Gayo Coffe menyajikan kopi dengan cara penyajian yang beragam, dari mulai tubruk, espresso, hingga drip v60. Semua sajian kopinya menggunakan kopi Arabica dari Gayo. Tak hanya itu, Red Long juga menjual kopi dalam bentuk green bean, dan bubuk kopi.

Di kedai kopi ini juga terdapat mesin roasting yang bisa membuat anda melihat langsung proses pemanggangan kopi. Saat proses pemanggangan dimulai, seisi ruangan langsung dipenuhi aroma kopi yang kuat. Suasana yang semakin menambah gairah meminum kopi.

Secangkir kopi Red Long bisa membuat anda ketagihan. Kopi yang disajikan dengan metode drip V60 dari mereka misalnya, tak akan membuat anda berhenti pada tuangan pertama. Rasanya yang tebal saat memasuki mulut memberi sebuah kenikmatan tersendiri.

“Ini V60, pakai filter, kalau ketagihan saya gak tanggung jawab ya,” kelakar pria yang juga seorang musisi metal ini.

Ketika mulai diseruput, seisi mulut langsung dipenuhi dengan rasa asam dari khas kopi arabica. Menyenangkan membiarkan kopi tersebut melewati tiap lekuk mulut. Setelah melewati tenggorokan, rasa pahit yang pas langsung tertinggal di pangkal lidah. Tak ada rasa lengket yang tertinggal di tenggorokan.

Rasa kopi gayo yang khas tersebut diakui Putra, didapatkan dari proses pengolahan kopinya. Dari mulai dipetik di kebun hingga ditungkan ke cangkir, semua harus dilakukan dengan baik.

“Pemetikan, pick up, fermentasi, pulping, fermentasi, cooling, baru proses penjemurannya bagaimana, jadi tidak asal jemur di lantai, ada aturannya,” jelas pria yang dalam sehari mengaku bisa meminum 15-20 gelas kopi dalam sehari tersebut.

Rasa Kopi Gayo yang nikmat dipercaya muncul karena dipetik dari perkebunan di dataran tinggi. Jika anda berkunjung ke dataran tinggi Gayo, sejauh mata memandang anda akan menemukan kebun kopi di mana-mana.

KOPI JAWA BARAT



Tak hanya Aceh yang punya dataran tinggi penghasil kopi. Di Jawa Barat sendiri juga banyak perkebunan kopi di dataran tinggi yang tersebar di berbagai daerah seperti Subang, Pengalengan, Garut dan Sumedang. Dalam beberapa tahun terakhir kualitas kopi Jawa Barat memang mulai diakui, harganya pun mulai melonjak.

Kualitas kopi Jawa Barat yang mulai diakui juga membuat pengusaha kopi lokal mulai melirik mereka. Seperti halnya kedai kopi Morning Glory Coffee. Morning Glory Coffee yang sampai saat ini sudah punya delapan cabang, selalu menggunakan kopi dari tanah Jawa barat.

Morning Glory Coffee sendiri ternyata bukan pemain baru di dunia kopi Jawa Barat. Pemiliki Morning Glory Coffee bernama Natanael Charis ternyata adalah salah satu orang pertama yang berusaha mendongkrak kualitas kopi Jawa Barat.

Dulunya Nael, sapaan akrabnya, berprofesi sebagai fotografer. Ia mengaku dulunya ia bukan peminum kopi, barulah saat ia berkunjung ke Eropa ia mulai jatuh cinta pada kopi. Sepanjang 2002 sampai 2006 ia mulai mendalami dunia kopi di luar negeri, di Italia dan Australia.

Tahun 2004 ia benar-benar meninggalkan dunia fotografi, dan semakin serius dengan kopi. Setelah merasa memiliki pengetahuan yang cukup soal kopi. Pada tahun 2006 ia mencoba mengedukasi petani di daerah Jawa Barat. Perlu waktu dua tahun sampai akhirnya para petani mau mendengarkannya.

Pada tahun 2008, ia bersama Dinas Perkebunan mulai mengedukasi para petani di daerah Pengalengan. Ia mengakui saat pertama kali ia datang, kualitas kopi di sana sangat buruk. Perubahan mulai terasa setelah ia mulai mengajarkan ilmu yang ia punya kepada petani kopi di sana.

“Kita ajarin, kasih knowledge, kita kasih workshop, kasih tahu cara berkebun yang benar, setelah petik harus seperti apa,” ujar pria yang punya sertifikat Authorized Trainer dari SCAE.

“tahun 2009 mereka mulai ekspor ke Australia, terakhir mereka bisa ekspor itu tahun 1924. Tahun 2008 Rp18.000, 2009 naik dua kali lipat jadi Rp38.500, dan sekarang di sana kopi paling murah itu harganya Rp70.000 satu kilogram,” tambahnya.

Morning Glory Coffee sampai saat ini hanya menggunakan kopi Jawa Barat. Nael beralasan, dengan cara seperti itu, tiap kali ada gerai baru yang dibuka, dia telah menolong satu petani kopi baru di Jawa Barat. Ciri khas kopi di Jawa Barat sendiri kuat dengan rasa asam buah-buahan tropisnya.

“Ini kopi yang sedang kita gunakan kopinya dari Subang, rasanya lebih ke fruitty,” ujarnya saat ditemui ditengah-tengah soft launching Morning Glori Coffee Kesatriaan di Jl. Kesatriaan No. 14 Bandung.

Secangkir espresso yang disajikan di Morning Glory Coffee sangat kuat dengan rasa buah-buahan. Begitu dihirup, aroma asam buah tropis dan dark chocolate langsung menyeruak ke dalam hidung. Dalam sesapan pertama rasa asam nanas yang dominan langsung memenuhi mulut, diikuti rasa dark chocolate yang muncul belakangan.

Rasa unik dari setiap cangkir kopi tak lepas dari semua proses yang dilaluinya. Nael mengatakan seorang barista harus mengenal kopinya dengan baik, bahkan dari mulai proses di kebun. Kemudian barista harus paham langkah dalam proses selanjutnya agar rasa terbaik dari kopi bisa muncul.

“Buat saya, kopi itu seperti selembar kertas kosong. Saat lihat kebun kopi, saya langsung apa yang harus dilakukan dengan kopinya. Setelah cicip, langsung berpikir bisa dibagaimakanan kopinya. Langsung kasih tau petani soal pupuknya, terusnya metiknya, kemudian komunikasi juga dengan roaster,” jelas pria penyuka espresso tersebut.

“Barista, dia harus belajar, kaya penikmat, di harus tahu, kasar atau halusnya, berapa lama, berapa tekanan, saya bisa bikin tastenya lebih pait, lebih asem, bisa lebih kaya teh,” tambahnya.


Sejak pertama kali buka di tahun 2004, Morning Glory Coffe sudah punya 8 kedai yang tersebar di Jakarta (Pondok Indah Mall), Medan, dan Bandung. Selain kedai kopi, sejak tahun 2012, Nael juga mulai membuka Morning Glory Academy di Setrasari Mall, Jl. Surya Sumantri, Bandung.

Wednesday, February 3, 2016

Kalender Daging Ayam

Hari ini aku tak pulang malam, aku pikir setoran beritaku hari ini sudah cukup buat gaji bulan depan. Beberapa teman bantu aku hari ini dengan kiriman tulisan mereka. Cukup untuk penuhi target 5 berita satu hari.

Semua orang baik hari ini, aku terbantu oleh mereka. Tapi  Mas Hendro yang paling baik. Dia beri aku Rp50.000. Lumayan buat isi bensin motor kreditan yang tinggal satu garis.

Aku dan Mas Hendro sebenarnya bekerja di media yang sama, hanya beda nasib saja. Dia rajin cari iklan, aku tidak. Bukan tidak rajin, tapi aku rasa aku tidak bisa cari iklan.

Aku pikir kalau aku disuruh menjual pelet ikan ke peternak ikan yang sedang butuh saja aku tak bisa. Akan seperti berjualan pelet ikan ke peternak sapi. Sulit sekali.

Media tempatku bekerja bolehkan wartawan kontributor mencari iklan. Sebagai tambahan pemasukan katanya. Brengsek memang si empunya ini media, dia lacurkan profesiku dengan mengharuskan aku berjualan iklan.

Meskipun dia bilang wartawan cuma buka jalan, yang maju nanti orang marketing, tetap  saja buat aku yang tidak bisa cari iklan, ini menyulitkan. Ah sudahlah, rejeki sudah ada yang atur.

Ngomong-ngomong soal Mas Hendro, dia juga bukan wartawan yang hebat-hebat amat sebenarnya. Dia dulu bekerja di media yang tak jauh beda dengan aku, sama-sama dapat uang dibawah UMR. Untungnya, dia punya istri yang anak Camat. Tak perlu kerja juga sudah pasti kena ciprat uang terus.

Karena dia kaya, dia sering kasih duit ke wartawan lain. Makanya mereka semua manut sama dia. Kadang dia gak perlu ke lapangan, tapi dapat berita sampai tiga halaman. Si brengsek ini memang beruntung.

Oiya, si Hendro ini dulu pernah gabung semacam organisasi wartawan idealis. Tapi semenjak kenal jualan iklan, dan ternyata dia berbakat, dia ditendang dari sana. Mungkin mengotori idealisme mereka. Padahal, di lapangan mereka  sering minta kena basah juga.

Sebelum pulang, redakturku si Surya bilang, “Kalau dapat lagi, bagi dua lagi ya.” Si bangsat memang, selalu mau kena basah, padahal gajinya sebulan sudah kena Rp9 juta. Masih saja ganggu rejeki orang.

Kemarin aku memang baru dapat duit gede. Gak sengaja ketemu pak Alfred, pengusaha batu bara dari Cirebon. Dia kasih aku Rp10 juta. Padahal niatnya mau coba tawarkan iklan disuruh si Surya, eh dia bilang, “Saya gak perlu iklan, produk saya gak perlu iklan, ambil aja ini kamu, saya tahu kamu butuh.”

Dia memang turunan cina kaya, tapi untungnya dia baik sama aku. Gara-gara dulu pernah aku tahan berita soal pajaknya dia yang nunggak besar. Tapi, uang sebanyak itu aku tak sanggup pegang. Takut dosanya, kalau hanya seratus dua ratus pasti aku ambil.

Aku bawa saja uang itu ke kantor. Aku bilang ke Kepala Biroku, aku dapat uang tapi tak mau simpan uang itu, terlalu besar, aku tak mau. Eh, dia malah bilang, “Ah kamu ini, jadi orang jujur-jujur amat sih.” Aku heran dengan si bos ini, dia bilang jadi wartawan harus idealis, tapi kalau sudah begini dia jadi materialistis.

“Yasudah kalau tak mau, aku pakai untuk operasional kantor saja ya, ini ambil saja lah buat kamu,” katanya sambil sodorkan uang Rp3 juta ke padaku. Ya sudahlah, uang segitu tak gede-gede amat, pasti Tuhan juga paham.

Nah ini, baru saja aku mau pakai uang itu untuk bayar ini itu, eh si setan Surya telpon.

“Dapet berapa jadinya dari si Alfred? Jadi kan bagi setengah-setengah?”

Ingin aku pacul muka si Surya. Tak ada janji apa-apa, tau-tau minta. Tapi mau bagaimana lagi, kalau gak dikasih nanti dia berulah. Kalau sudah berulah, tulisanku sering jadi korban. Pasti tak akan dikirim ke Jakarta, bahkan dibacapun tidak.

Akhirnya aku cuma ambil Rp1,5 juta. Biarlah, rejeki sudah ada yang atur. Itupun habis untuk kenyangkan orang bank yang minta aku buru-buru bayar cicilan rumah.

Dunia ini memang gila, dan yang lebih gila ya memang aku. Kenapa aku mau-maunya jadi kontributor di biro daerah seperti ini. Gaji kecil, tak ada tunjangan, kalau sakit aku yang tanggung, duit cekak. Yah, aku mungkin berada di urutan teratas orang bodoh di dunia.

Tapi aku masih untung tak sebodoh si Yusuf. Dia penjilat yang selalu gagal. Dia si bangsat lainnya dengan muka dua. Selalu ingin terlihat baik di depan si bos, tapi omongannya di belakang sudah sampai ke tiap-tiap telinga orang di kantor.

Kadang-kadang aku kasihan sama dia. Baru cerai, tak punya rumah, ah kasihan lah pokoknya. Belum lagi di kantor, tak ada yang mau ngobrol dengan dia. Habisnya, mulutnya itu, aduh, ingin kusumbat dengan botol kecap kalau bisa. Selalu ingin adu domba orang. Kalau ada lowongan panitia adu bagong di kampungku, ingin aku daftarkan dia.

Ah tampaknya aku terlalu banyak bercerita soal orang. Lama-lama aku bisa jadi seperti si Yusuf. Intinya aku ini wartawan kontributor daerah, yang tak cakap jual iklan. Kalau mau dikatai bodoh, ya memang bodoh. Di era seperti ini jadi kontributor tapi tak bisa jual iklan tak ubahnya jadi pelacur tapi tak punya kemaluan.

Sudah cukup ah bicarakan orang terus. Aku ingin cepat pulang hari ini. Istriku dan anak pertamaku yang baru mau satu setengah tahun sudah menungguku. Aku ingin segera makan bersama mereka. Aku sudah bawa makanan untuk keluarga kecilku.

Dari Rp50 ribu tadi, aku beli bensin dua liter, cukup lah sampai besok. Aku juga tadi beli pulsa Rp25 ribu, gara-gara si kepala bank itu minta ditelpon. Karena dia ngiklan ya, aku mau tak mau harus telpon. Kalau tidak, si bos bisa marah. Sisa Rp10 ribu, cukup lah buat besok.

Sudah hampir jam 5 sore, aku tinggal beberapa langkah dari pintu rumahku. Tak sabar aku ingin segera bertemu mereka dan makan bersama.

Ah, hari ini aku ingin buat sedikit kejutan, aku tak langsung buka pintu. Aku biasanya pulang larut malam, tapi hari ini aku pulang cepat, mereka pasti terkejut, pasti senang.

Rupanya aku yang kena kejutan. Baru mengintip sebentar, aku langsung lemas. Aku merasa tak punya muka untuk pulang sebagai bapak. Ah, aku benar-benar malu. Aku sedih, aku ingin menangis sejadi-jadinya.

“Ayam... Ma mau makangayam...”

Anakku yang belum jelas bicaranya, mengatakan sesuatu yang jujur dari mulutnya. Ia ingin makan ayam. Iya, hanya itu. Dia ingin daging untuk perutnya, sementara yang aku bawa hanya gorengan dalam kantung kresek hitam.

Anakku terus bilang “ayam” sembari menunjuk gambar orang makan ayam di kalender. Aku ini bapak, tapi aku memalukan. Aku tak sanggup beri apa yang anakku mau. Sepotong daging ayam pun aku tak sanggup. Ya Tuhan, aku malu.

Aku bergegas pergi, cari warung nasi. Aku ingin daging ayam untuk anakku. Aku tak mau anakku makan nasi dengan gorengan hari ini. Tak apa aku makan itu, tapi anakku tidak boleh. Setidaknya untuk kali ini, selagi bisa. Masih ada sedikit duit dari Mas Hendro.

“Bu, ayam goreng satu, dibungkus”

“Rp8 ribu mas”

“Ah mahal banget bu, biasa kan Rp7 ribu”

“Masnya wartawan masa gak tau harga ayam naik terus, sekarang sekilo aja Rp41 ribu!”

“Gak ada utang-utangan buat mas ah, yang kemaren aja belum dibayar”

“Ini cuma ada Rp6 ribu bu, serebu lagi besok deh, bener saya janji,”

“Iya sehari dua ribu, sebulan udah tiga puluh, mau sampe berapa utang baru dibayar?”

“Sekarang doang bu, gak lagi-lagi nanti, ini cuma seribu,”

Ini gara-gara impor jagung dilarang sama orang bego. Harga ayam jadi mahal, aku yang susah. Meski memang biasanya tak beli ayam, tapi kali ini bikin tambah sulit urusanku. Padahal cuma ingin anakku makan ayam. Ah bangsat memang!

Si ibu warung nasi itu memang pelit. Padahal bapakku dulu yang nolong usahanya. Ah, sudahlah, toh akhirnya dia mau juga kasih aku hutang dua ribu. Cuma basa-basi gak mau kasih utang, toh dia juga tak ngerti-ngerti amat siapa yang berhutang dan yang tidak.

Aku berlari, buru-buru ingin kasih daging ayam untuk anakku. Semoga dia bisa senang dan lahap memakan ayam ini.

“Mana jagoan bapak? Lihat bapak bawa apa...”

Girang bukan main aku melihatnya. Meski bicaranya masih belum jelas, tapi aku yakin betul ucapannya itu penuh kegembiraan.

Istriku hanya tersenyum melihat ku. Dia tahu apa yang baru saja aku lakukan, dia pasti paham. Dia bawakan aku piring, lengkap dengan nasi panas yang masih mengepul. Oiya, piring ini pemberian Mas Hendro saat pernikahanku dulu. “Untuk bantu-bantu, siapa tau perlu,” katanya waktu itu.

Kami bertiga duduk bersama di lantai rumah. Menikmati tiap suapan kami masing-masing. Anakku makan ayam, aku dan istriku makan nasi dan gorengan. Sesekali aku tengok kalendar itu, kesal juga lihat si orang di kalender.

Karena dia, anakku jadi mau makan ayam, bukan gorengan. Kalau ada kalender dengan gambar orang makan gorengan, pasti sudah ku pasang. Tapi tak apa lah, karena dia, setidaknya anakku punya teman makan daging ayam.


Sekarang baru tanggal 20, masih ada 11 hari lagi sampai gajian. Semoga anakku tetap bisa makan daging ayam. Ya, Semoga.