Sunday, May 15, 2016

Budaya Melahap Lalap

Siapa yang tak kenal makanan khas Sunda dari tanah parahyangan. Jika kebetulan sedang berada di daerah Sunda, dengan mudah dapat ditemukan banyak tempat makan yang menawarkan makanan ‘khas’ Sunda.

Biasanya rumah makan Sunda identik dengan sambal. Beberapa sajian lain seperti pepes, lalapan, hingga berbagai makanan yang dibakar juga merupakan sajian yang lazim ditemui di beberapa rumah makan khas Sunda. Selain itu, rumah makan khas Sunda lazimnya juga menawarkan suasana alam dan konsep lesehan.

Makanan dan Kebudayaan

Makanan secara harfiah dapat diartikan sebagai segala bahan yang kita makan atau masuk ke dalam tubuh yang membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga, atau mengatur semua proses dalam tubuh. Sedangkan dalam kajian antropologi, makanan bukan hanya sebatas pemenuh kebutuhan biologis, makanan memiliki banyak arti simbolik yang jauh lebih dalam ketimbang sekadar pemenuh kebutuhan semata.

Seto Nurseto, alumni Prodi (Program Studi) Antropologi Universitas Padjadjaran mengatakan bahwa makanan adalah bagian dari kebudayaan, makanan sangat erat kaitannya dengan budaya di mana makanan itu ada. 

"Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi," ungkap pria yang juga pemilik usaha kuliner di Bandung ini.

Budaya saat ini sering kali hanya dilihat melalui kesenian, padahal kesenian itu hanyalah bagian kecil dari kebudayaan itu sendiri. Banyak orang terjebak dalam melihat suatu kebudayaan hanya dari keseniannya saja. Seperti budaya Sunda misalnya, banyak orang hanya melihat budaya Sunda dari musik, dan jenis-jenis tariannya saja. 

Hal tersebut terungkap saat penulis berbincang dengan Ari, salah seorang pengamat budaya Sunda. Ia mengatakan, saat ini banyak orang yang menyalahartikan budaya sebagai seni.

“Budaya sering tertukar dengan seni. Jadi orang kalau ditanya ‘tahu gak budaya sunda?’ jawabnya itu  jaipongan, ketuk tilu, budaya sunda hanya itu.” Ujar Ari.

Kepada penulis, Ari memaparkan lebih jauh mengenai konsep budaya. Menurutnya, budaya adalah tatanan dari mulai kita masih di dalam perut ibu sampai kembali lagi ke tanah. Budaya mengatur bagaimana hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain.

Melalui konsep tersebut, makanan adalah bagian dari kebudayaan. Makanan adalah hal yang diatur oleh kebudayaan. Apa yang disebut makanan dan bukan makanan adalah bagian dari rekonstruksi kebudayaan.

Rimbo Gunawan, pengampu mata kuliah ‘Makanan dan Kebudayaan’ di Prodi Antropologi Universitas Padjadjaran menjelaskan bahwa makanan adalah bagian penting dari kebudayaan. Apa yang dianggap makanan oleh satu kebudayaan, belum tentu dianggap makanan juga oleh kebudayaan yang lain.

Setiap budaya mengatur makanan mereka berdasarkan aturan budaya mereka. Aturan tersebut bisa didasari berbagai macam hal seperti keyakinan, sejarah, dan lain-lain. Tapi pengertian makanan menurut Rimbo sebetulnya paradoks, di satu sisi makanan bisa mengkotak-kotakan, tapi di sisi lain makanan juga bisa menjadi pemersatu.

“Selain mengkotak-kotakan orang berdasarkan klasifikasinya, makanan juga bisa menyatukan dalam konteks lain. Suatu perjanjian damai, pasti diawali atau diakhiri dengan makan bersama. Itu konteks paradoks makanan,” ujar pria berambut panjang yang sedang mengambil studi doktor di Radboud University, Nijmegen, Belanda tersebut.

Makanan Sunda dan Lalapan

Makanan Sunda identik dengan lalap. Lalap adalah tumbuh-tumbuhan yang biasa dimakan langsung oleh masyarakat Sunda. Di makalah yang dibahas dalam acara Konferensi Internasional Budaya Sunda I di Bandung pada Agustus 2001 silam, ahli mikrobiologi Istitut Teknologi Bandung, Unus Suriawieia (1036-2007), menjelaskan bahwa dari 80 jenis makanan Sunda, lebih dari 65 persen di antaranya berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Unus dalam bukunya yang berjudul Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda menjelaskan kegemaran masyarakat Sunda makan lalap adalah akibat budaya dan kehidupan masyarakat yang menyatu dengan alam. Hal ini akhirnya membuat orang Sunda punya pengetahuan tentang tumbuhan mana yang bisa dimakan dan yang tidak (Kompas, 25 Juli 2015).

Konsep hidup budaya Sunda yang menyatu dengan alam sudah ada sejak lama. Sunda telah mengenal berladang sejak puluhan tahun sebelum masehi. Salah satu pengamat budaya Sunda lainnya, Samson, mengatakan bahwa manusia sunda terbagi menjadi tiga golongan yaitu orang yang hidup di huma (ladang), orang yang hidup di kebun, dan orang yang hidup di sawah.

Ia juga menjelaskan, dalam kajian antropologi, peradaban lama ditandai dengan menjalankan kegiatan berladang untuk memenuhi kebutuhan makanan. Menurutnya, kebudayaan Sunda termasuk ke dalam peradaban lama, Peradaban lama yang telah maju.

“Kalau dalam antropologi peradaban lama ditandai dengan berladang sebagai sumber makanan, sedangkan manusia sunda pokok hidupnya itu dari berladang. Kurang lebih puluhan tahun sebelum masehi,” jelasnya.

Sejalan dengan pendapat Ari yang mengatakan budaya Sunda adalah tatanan kehidupan manusia, Samson juga mengatakan budaya Sunda bukan hanya berbicara soal suku ataupun etnis semata. Budaya Sunda lebih dalam dari itu, bicara soal kebaikan dan keburukan. Samson menjelaskan, ada enam aspek kemanusiaan Sunda yang disebut dengan Sad Rasa Kamanusiaan.

“Yang pertama adalah moral manusia terhadap tuhan, kedua adalah moral manusia terhadap pribadinya, yang ketiga adalah moral manusia dengan manusia lainnya, keempat adalah moral manusia terhadap waktu, yang ke lima itu moral manusia terhadap alam, yang terakhir adalah moral manusia terhadap kesejahteraan lahir batin,” Jelasnya.

Dalam kebudayaan Sunda, manusia dituntut berhubungan baik dengan semua ciptaan Tuhan lainnya. Tidak hanya dengan sesama manusia, tapi juga dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini semakin memperjelas bahwa manusia Sunda memang mengenal alamnya dan terbiasa hidup menyatu dengan alam. Kebiasaan mengonsumsi lalap menjadi salah satu contoh kebiasaan yang muncul dari kebiasaan masyarakat Sunda yang hidup menyatu dengan alam.

Samson melanjutkan, sudah ada pembagian tanaman dalam kebiasaan bercocok tanam orang huma dalam masyarakat Sunda. Dalam proses bertani mereka yang berlangsung selama kurang lebih enam bulan, mereka juga menanam tanaman-tanaman yang sengaja ditanam untuk orang lain dan juga untuk makhluk lain di sekitar ladang mereka.

Penanaman tanaman tersebut berdasarkan pada perhitungan yang matang berdasarkan fungsi dan manfaatnya. Contohnya, di dekat sumber air atau tampias biasanya ditanami marémé karena mampu menahan air lebih lama. Selain itu, juga marémé bisa langsung dimakan pucuknya sebagai sumber makanan cadangan bagi orang huma.

Pembagian penanaman tanaman tersebut juga didasarkan pada untuk siapa tanaman tersebut ditanam. Dalam menangani hama, kebudayaan sunda tidak membasmi mereka, tapi justru memberi mereka makanan. Contohnya, di tepian petak sawahnya, mereka menanam umbi-umbian. Hal ini dilakukan untuk memberi makanan kepada hama tikus, sekaligus menjauhkan mereka dari padi.

Sedikit berbeda dengan pendapat Samson, Rimbo rupanya punya pandangan lain. menurutnya, Keterampilan manusia Sunda mengenali alamnya dan mengkonsumsi makanan dari alam bisa jadi merupakan buah dari keragaman ekologi yang ada di tanah Sunda.

“Ada di seminar kebudayaan Sunda di tahun 2005 atau 2009, saya lupa, ada satu paper yang mengatakan keragaman hayati terutama tumbuhan, terutama di Jawa Barat itu jauh lebih banyak dibanding di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari pernyataan itu kita bisa menganalisis apakah keragaman itu terkait dengan lalapan. Dan dari situ kita bisa menangkap bahwa orang Sunda mendefinisikan lalap itu sangat luas,” tandasnya.

Tak heran, ada lelucon yang mengatakan hidup orang Sunda itu gampang. Cukup sediakan kebun dan ladang, pasti orang Sunda bisa bertahan hidup (dengan memakan lalap).

No comments:

Post a Comment