Malam mulai berlalu, bahkan
mungkin sudah hampir sepertiga terakhir. Apa semua tingkah aneh malam itu mulai
surut? Tidak juga. Masih banyak kegilaan lainnya yang akan muncul, dimulai
dengan teman debutanku tiba-tiba pergi ke kamar mandi dan muntah. Mungkin si
jamur tak begitu cocok dengan perutnya, atau MSG-nya yang tak cocok, atau
keduanya.
Karena tak ingin kamar mandiku
kotor karena kotoran dan muntahan manusia, aku pergi ke kamar mandi untuk
membersihkannya. Rupanya niat baikku itu tak berujung baik, karena saat aku
masuk ke sana, kamar mandi seakan menawarkan sensasi yang berbeda untuk
menikmati efek jamur ini. Kali ini aku bermain dengan semprotan kamar mandi, ya
benar-benar bermain dengannya.
Kamar kosanku berwarna hijau,
diterangi lampu tidur yang kekuning-kuningan. Sementara kamar mandi, setengah dindingnya
berlapis ubin dengan pola-garis-garis, diterangi lampu neon putih terang.
Seharusnya garis-garisnya cuma berwarna abu-abu, tapi saat aku masuk ke sana,
berubah menjadi warna-warni pelangi, dan mereka bergoyang. Ini mengagumkan!
Aku mengambil semprotan kloset
dan menyemprot muntahan, dan kotoran temanku, yang rupanya tak tepat berada di
lubang kloset. Kotorannya tidak begitu berantakan, hanya terciprat sedikit ke
badan kloset duduk, tapi muntahannya, benar-benar mengerikan. Semua terkumpul
di sudut tembok, sepertinya terkucur dari dinding.
Temanku tak muntah di kloset,
tapi muntah ke dinding kamar mandi. Sepertinya muntahannya muncrat begitu kuat,
seperti muntahan orang-orang yang sedang melakukan Exorcist dalam film horror Amerika. Mungkin si debutan sedang
berusaha mengusir Lucy yang sudah masuk terlalu jauh ke dalam pikirannya. “I
condemned you back to Hell, Lucy!”. Semoga saja Lucy yang dimaksud bukan Lucy
Pinder, karena dia jelas terlalu hot untuk
neraka.
Kusemprot semua kotoran itu
dengan semprotan air. Aku benar-benar menikmatinya, sambil berjongkok atau
mungkin duduk, aku tak benar-benar mengingatnya. Aku pikir itu hal yang
menyenangkan, aku bisa melakukan ini berjam-jam. Menyemprot air, membersihkan
kotoran, melihat pelangi, dan menonton garis-garis dinding yang bergoyang.
Mungkin aku terlalu lama di kamar
mandi, si mirip Ambon berpikir ada yang tidak beres denganku. Dia datang dan
menghentikan keasyikanku dengan semprotan, pelangi, dan dinding yang bergoyang.
Sedikit sedih waktu dia membawaku keluar, “apa yang salah dengan main semprotan
di kamar mandi?” pikirku waktu itu.
Sebetulnya aku harus berterima
kasih kepadanya, karena mungkin kalau dia tidak menjemputku di kamar mandi, aku
akan berada di sana sampai pagi. Setelah itu aku duduk lagi menikmati alunan
musik sembari memejamkan mata. Pikiranku mulai kembali menggila—atau sebetulnya
aku memang gila semalaman—kali ini aku berpikir soal adanya aturan agama yang
mengatakan musik itu haram.
Aku rasa aku benar-benar jenius
malam itu. Aku memecahkan alasan mengapa musik itu haram! Ya, jelas saja,
karena jika dikombinasikan dengan jamur bisa membuat pendengarnya masuk ke
dalam dunua yang lain! Untung saja tidak semua orang memakan jamur saat mendengarkan
musik, ah, atau sebetulnya semua musisi juga memakannya sehingga bisa membuat
musik seperti itu?
Baiklah, kini aku paham semua
musisi adalah pendosa. Ah, bukan. Semua manusia adalah pendosa. Dengan atau
tanpa musik. Dengan atau tanpa jamur. Semuanya hidup untuk berbuat dosa.
Menyesalinya, melakukannya lagi, dan menyesal kembali. Dosanya tak pernah sama,
tapi pelakunya selalu sama: Manusia.
Pikiran-pikiran itu muncul dan
pergi begitu saja, beruntung waktu menuliskan cerita ini aku bisa mengingatnya.
Akan tetapi, waktu semuanya terjadi berpikir itu seperti buang-buang waktu
saja. Aku bisa menemukan sesuatu yang brilian dalam pikiranku, tapi kemudian
hilang. Berpikir lagi, tahu lagi, lalu lupa lagi.
Perlahan-lahan
si jamur mulai kehilangan efeknya pada diriku, dan mungkin juga pada teman-temanku.
Aku mulai sadar dan bisa bergerak normal. Si debutan juga mulai sadar, tapi
masih sulit bicara. Si mirip Ambon tetap saja seperti itu, selonjoran sambil
mendengarkan Rock The Casbah, agak
sulit menakar tingkat kesadarannya. “Semuanya
akan berakhir sebentar lagi, syukurlah,” ucapku dalam hati.
Kalau tidak
salah, itu sudah hampir jam 4 atau mungkin jam 5 pagi. Setelah ini aku harus
menata ulang hidupku kembali. Aku merasa seperti komputer yang diinstall ulang,
aku bingung apa rencana hidupku sebenarnya. Mungkin terdengar berlebihan dan
tidak masuk akal, tapi itu benar-benar yang aku pikirkan waktu itu. Mungkin aku
harus memulainya dengan tidur, aku sudah mulai ngantuk.
Sebentar,
sepertinya ada yang salah. Aku memulai cerita ini bersama tiga orang kawanku
bukan? Aku, si debutan, si empunya pulsa, dan si mirip orang Ambon. Si debutan
sudah kusebutkan tadi, dia mulai sadar dan tidak lagi bermain bersama Lucy. Si
ambon, masih seperti biasa dengan Rock
The Casbah-nya, cuma berhenti buang air saja. Si pengirim SMS, alias si
empunya pulsa, di mana dia dalam cerita ini? Aku melewatkannya!
Baru saja aku
mulai mengantuk, tiba-tiba salah satu dari kami mengangkat meja! Dia terlihat
seperti monster yang mulai mengamuk. Dia mengangkat meja, sepertinya hendak
membanting meja itu. Tak lain dan tak bukan, ya dia adalah si pengirim SMS!
Orang yang hilang dalam cerita ini, orang yang tak kuingat keberadaannya malam
itu. Ini gawat, sepertinya efek si Jamur telat naik ke otaknya.
Saat yang
lainnya mulai sadar, dia malah baru mulai menggila. Mungkin di awal dia terlalu
menahan diri, tidak rileks, tidak mengikuti instruksi sederhana dari
pengonsumsian jamur di manapun: Lemesin
aja, jangan dilawan. Beruntung si
mirip Ambon cukup gesit untuk mencegahnya mengobrak-abrik seisi kamar. Dengan
perlahan-lahan, kami menyuruhnya duduk kembali.
Dia mulai
duduk dan menyetel lagunya sendiri lewat head
set. Kami semua mulai tenang untuk beberapa waktu. Meski begitu, kami masih
tetap waspada akan kemungkinan setiap kegilaan yang bisa muncul kapan saja. Di
tengah-tengah kami yang mulai sadar, masih ada satu orang yang justru baru
mulai terkena efek si jamur. Dan MSG, tentunya.
Suasana mulai
hening, aku mulai mengantuk tapi tak bisa tidur. Mau bicara sulit, bergerak
apalagi, aku cuma bisa diam dan berpikir, sampai pagi. Rupanya keheningan itu
tak bertahan lama. Tiba-tiba si empunya pulsa menggeliat di karpet, dia seperti
tercekik sesuatu. Dia seperti dalam lilitan ular kobra atau cracken, atau makhluk lainnya yang bisa
melilit.
Kami jadi
ikutan panik dan berusaha menenangkannya. Melepaskan lilitan headsetnya yang
berantakan di tubuhnya. Sebetulnya dia tidak terlilit sama sekali, tapi entah
bagaimana caranya dia bisa merasa seperti itu. Cuma dia yang benar-benar tahu
rasanya. Untung saja dia tidak melawan dan membuat semuanya tambah kacau.
Si empunya
pulsa masih menjadi sorotan. Meski kali ini dia cuma duduk dan melamun, kami
masih mewaspadai kegilaan yang munkin dari si late bloomer ini—Mungkin sebutan “Late Bloomer” tidak tepat untuk situasi seperti ini, tapi entahlah
itu terdengar cocok. Setiap gerak-geriknya kami perhatikan, semua orang
tiba-tiba waspada tiap kali dia bergerak.
Mungkin dia
agak risih kami perhatikan seperti itu, sampai akhirnya dia pergi ke kamar
mandi untuk buang air kecil. Aku pikir dia tidak benar-benar ingin kencing,
kurasa dia cuma ingin “me time”
sejenak. Tak ada yang aneh darinya saat pergi ke kamar mandi, kurasa semuanya
aman. Tidak akan ada hal aneh lainnya. Semua mulai tenang dan normal.
Sial!
Penilaianku salah. Dia mungkin benar-benar kencing di kamar mandi, lewat alat
yang seharusnya, dan juga dengan posisi yang tepat, tapi celananya? Ada yang
salah dengan celananya. Dia yang waktu itu menggunakan celana jeans sepertinya lupa menurunkan
celananya saat buang air besar. Memang benar saat dia keluar kami melihat
gespernya telah dilepas, tapi celananya tidak.
Melihatnya
seperti itu aku dan si debutan langsung mencarikannya celana pendek untuknya. Celananya
benar-benar bau pesing, bau air kencing yang penuh dengan senyawa psilocybin. Untung dia tidak beranjak
dari tempatnya. Si debutan memberinya celana pendek dan memintanya berganti
celana di dalam kamar mandi.
Rupanya niatan
baik itu tak disambut dengan baik dan suka rela oleh si late bloomer. Dia menolak mengganti celana, dia merasa tak perlu
akan hal itu. “Apaan sih? Orang gue gak kenapa-kenapa,” katanya. “Udah, ganti
dulu, itu basah celananya,” jawab si debutan. Terjadi perdebatan kecil di sana,
untung tidak lama. Dia akhirnya mengalah dan masuk ke kamar mandi.
Tak lama
kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan celana jeans yang sama, dengan
gesper yang masih terlepas, dan menenteng celana pendek di pundaknya. Jelas,
ada yang tidak beres dengannya, aku mulai takut. “Ganti dulu celananya,” kata si
debutan. “Apaan sih, ini kan udah gue ganti,” jawab si late bloomer agak marah. Dia benar-benar keras kepala, dan itu
jelas tidak baik untuknya ataupun untuk kami semua.
Sang debutan
terus membujuknya masuk ke kamar mandi lagi untuk benar-benar mengganti
celananya. Entah bagaimana caranya membujuk, akhirnya dia berhasil membuatnya
masuk lagi ke kamar mandi. Semoga saja kali ini dia benar-benar mengganti
celananya. Kami menunggu lagi, mungkin sambil sedikit berdoa, dan menikmati
sedikit dari sisa-sisa efek jamur yang masih ada.
Kami mungkin
terlalu berharap padanya. Dia kembali keluar dari kamar mandi dengan setelan
yang sama. Celana pendeknya masih di tenteng di pundaknya, dan dia masih
bersikeras dia telah mengganti celananya. Ah, sudahlah, di titik ini aku mulai
masa bodoh dengannya, ataupun dengan senyawa psychedelic yang membanjiri celananya.
Aku tak ingat
bagaimana caranya, tapi akhirnya dia mengganti celannya. Yang tak jelas aku
ingat adalah di mana dia menaruh celana jeans-nya
yang bau pesing itu. Di gantungkan di gantungan baju, atau di jemuran, atau
sebetulnya masih dia tenteng di pundaknya, aku tak ingat. Akhirnya semuanya
benar-benar berakhir. Kami perlahan sadarkan diri, dari sini tak ada lagi
kegilaan yang terjadi sampai pagi.
Kencing di celana
adalah kegilaan yang menutup malam kami yang panjang. Teman-temanku mulai
tertidur, aku mulai mengantuk tapi belum bisa tidur. Aku keluar kamar untuk
mencari udara segar. Aku memandangi langit yang masih gelap, aku merasa seperti
berdialog dengannya, atau mungkin berdialog dengan pemilik langit, aku tak bisa
pastikan.
Begitu lama
kupandangi dia, sampai ayam berkokok entah dari mana mulai terdengar di
telingaku. Udara mulai menghangat, langit mulai menguning, matahari mulai melambung,
dan aku masih saja melamun. Tidak banyak yang kuingat, tapi aku yakin betul aku
memikirkan banyak hal. Mungkin itu yang orang-orang bilang “basi-an”, atau efek yang muncul saat
pengaruh si jamur mulai hilang, dan hal itu jelas tidak menyenangkan.
Aku seperti
merasa menjadi seorang filsuf, aku merasa aku adalah Socrates—tentunya bukan
yang pemain sepak bola. Aku bertanya, aku menjawabnya. Aku lupa lagi, bertanya
lagi, dan menjawab lagi. Banyak sekali pertanyaan soal kehidupan manusia yang
muncul, kujawab semuanya, dan kulupakan semuanya. Perasaan itu begitu absurd
dan sulit digambarkan. Aneh, benar-benar aneh, mungkin juga mengerikan, tapi
juga menyenangkan, aneh!
Apa malam itu
membuatku menyesal? Sedikit. Apa malam itu mengubah hidupku? Tidak juga. Apa
aku tidak akan bertemu lagi dengan jamur itu? Entahlah, mungkin saja, aku tak
bisa jamin apa-apa, tapi sebisa mungkin akan kucoba agar tidak mengalaminya lagi.
Satu hal yang bisa kupastikan setelah malam itu hanyalah: Aku akan lebih
hati-hati saat mendengar kata “jamu”—dan tentunya akan lebih sering
membersihkan telinga.