Monday, July 8, 2019

Memahami Potret Pasar Ekstrem Tomohon

Suasana di Pasar Beriman, Tomohon, Sulawesi Utara. Pasar ini dijuluki sebagai pasar ekstrem karena mnyajikan berbagai bahan pangan yang tidak biasa.

“Semua yang berkaki kecuali kaki meja torang [kami] makan. Semua yang terbang kecuali pesawat, torang makan juga.”


Begitulah Roy Nangka, salah seorang pedagang di Pasar Beriman, Tomohon berkelakar soal kebiasaan masyarakat Minahasa memakan berbagai jenis daging, Sabtu (29/6/2019) pekan lalu. “Kaki meja juga bisa torang makan, kalau pakai rica [cabai],” tambahnya.

Sabtu adalah hari pasar besar, stok barang dagangan lebih banyak dari hari-hari lainnya. Dengan menggunakan sepeda motor, perlu waktu sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Manado untuk tiba di sana. Pengunjung juga bisa menggunakan bus dari Terminal Karombasan.

Hari itu, Roy yang berdomisili di Tomohon membawa sekitar 60 kg paniki atau kelelawar dan 50 kg daging babi hutan. Dia sebenarnya memiliki stok ular piton atau patola, namun dia memilih tak membawanya hari itu. “Kita malas bawa ini hari, berat. Mungkin besok kita bawa, so ada di kulkas,” ujarnya.

Lelaki berusia 40 tahun ini sudah berjualan berbagai jenis daging hewan sejak 1998. Pada mulanya, dia mengaku juga sempat menjadi pemburu. Namun, belakangan dia memilih untuk menjadi penjual saja dengan menerima daging dari pemasok.

Roy Nangka (40), salah seorang pedagang di Pasar Beriman, Tomohon memotong daging paniki atau kelelawar sesuai pesrmintaan pembeli. Dia sudah berjualan di sana sejak 1998. 
Sejak buka lapak dari pagi hingga siang hari, sudah lebih dari separuh barang dagangannya ludes. Hanya sekitar 20 kg paniki yang tersisa dan beberapa potong paha babi hutan. Barang dagangannya itu, lanjutnya, didapatkan dari pemasok di luar Sulawesi Utara.

“Kalau paniki ini saya dapat dari pedagang besar, dia ambil dari supplier di Makassar. Tidak semua daging yang ada di sini dari daerah Sulut, ada juga dari daerah lain karena tidak dimakan di sana. Saya bawa ke sini dalam keadaan dingin, sudah disimpan di dalam es,” tuturnya.

Roy adalah salah satu dari puluhan pedagang yang saban hari berjualan di Pasar Beriman. Pedagang lain punya lebih banyak varian dagangan. Daging tikus hutan atau kawok, anjing atau RW [rintek wuuk/bulu halus], kucing, hingga biawak tersedia.

Salah satu jenis daging yang mencuri perhatian saya siang itu adalah sejenis musang dengan ekor panjang membentuk spiral. Sulit membayangkan bentuk aslinya karena semua bulunya sudah terbakar. Berwarna hitam dan dan berbau gosong.

Kuskus atau kuse yang dijajakan salah satu pedagang di pasar Tomohon pada Sabtu (29/6/2019). Hari Sabtu merupakan hari pasar besar, dagangan yang disajikan lebih lengkap dari hari lainnya. 

“Ah ini kuse, memang seperti monyet jadinya karena bulunya sudah hilang dibakar. Dulu memang ada orang jual Yaki [monyet hitam Sulawesi], tapi sekarang sudah tidak ada. Kalau mau jual itu pedagang harus siap dulu Rp300 juta dan siap dipenjara,” kata Roy.

Yaki atau macaca nigra adalah jenis primata endemik Sulawesi yang dilindungi. Dulu sering ditemukan daging primata berbokong merah ini. Yaki sempat dianggap hama sehingga dibunuh dan dikonsumsi masyarakat yang tidak mengetahui hewan itu berstatus langka.

Hingga sore hari, pembeli silih berganti singgah ke kios milik Roy. Ada yang membeli, ada pula yang hanya menawar. Ada yang membeli untuk konsumsi mingguan, ada pula yang sengaja membelinya untuk mengadakan pesta.

Fierce Polii, seorang ibu dari Tomohon berusia 52 tahun adalah salah satunya. Dia membeli lebih dari 10 potong paniki di kios milik Roy. Jumlah sebanyak itu, lanjutnya, disiapkan untuk acara mengenang 1 tahun meninggal orang tuanya.

Kedatangannya siang itu merupakan kunjungan kedua di hari yang sama. Pada pagi hari, dia sudah membeli beberapa bumbu masakan seperti cabai, tomat, dan jahe atau goraka. Beberapa daging lain seperti kawok juga sudah dibeli.

Untuk dikonsumsi, bagian leher paniki dibuang. Bagian itu dinilai hanya berisi lemak dan tidak disukai. Hal ini juga diyakini dapat menghilangkan bau si binatang malam .

Acara peringatan yang akan digelarnya pada Senin pekan depan merupakan acara penting. Tamu yang hadir adalah para tetangga dan keluarga besarnya. Untuk memastikan semua berjalan sempurna, Fierce merasa perlu menghadirkan jenis penganan dengan lengkap.

“Kita bale ulang ke sini dang untuk beli paniki, kalau RW [anjing] kita so potong sendiri di rumah, ada dua. Babi juga ada punya sendiri, dari torang pe keluarga. Kalau paniki mau tidak mau beli di pasar,” ujarnya.

Biaya yang dikeluarkannya tidak sedikit. Untuk satu ekor paniki, dia merogoh kocek Rp50.000. Harga itu, menurut Roy masih termasuk harga standar. Saat permintaan tinggi dan stok sedikit, pedagang biasa menjualnya sampai Rp60.000—Rp70.000 per ekor.

“Mahal sih, tapi tidak apa-apa untuk acara penting seperti ini semua daging harus ada,” kata Fierce.

Fierce mengatakan, meski mengorbankan anjing yang dipeliharanya, dia tak akan ikut menikmati hidangan itu. Bukan karena anti daging anjing atau tergabung dalam kelompok aktivis Dog Meat Free Indonesia, tetapi dia merasa tak tega.

Rifaldi Kawandoda (20), sedang membakar bulu dari paha babi hutan. Dia bergabung dengan Roy sejak 2 tahun lalu. Semua daging yang ditawarkan di pasar ini terlebih dahulu melewati proses pembakaran bulu ini.

“Memang tidak dipelihara disayang-sayang begitu, cuma saya kasih makan dari kecil jadi tidak tega untuk makan. Tapi kalau saya datang ke acara pesta orang lain dan ada RW saya makan juga sih,” jelasnya.

MENUAI KECAMAN

Daging anjing atau RW yang dijajakan di Pasar Beriman, Tomohon. Hidangan ini menjadi salah satu penganan wajib dalam pesta-pesta di Minahasa. Harganya dijual sekitar Rp35.000 per kilogram.

Kebiasaan makan berbagai jenis daging di Minahasa memang menjadi perhatian luas, khususnya para aktivis penyayang binatang. Salah satu kebiasaan konsumsi yang paling diperdebatkan adalah konsumsi daging RW.

Roy mengatakan, tanggapan para aktivis itu sangat merugikan untuk para pedagang di Pasar Beriman. Tak jarang, video kegiatan perdagangan di pasar itu menjadi perhatian dunia internasional. Para pedagang jadi sorotan karena dianggap tidak menyayangi hewan.

“Dulu itu ada video viral, bule China atau Amerika, kita so agak lupa. Dia posting video dari pasar ini, anjing yang dibakar hidup-hidup, padahal itu kejadian sebenarnya bule itu yang bayar dan meminta hal itu dilakukan, dia berani bayar lebih dari Rp700.000,” katanya.

Dia mengatakan, setelah kejadian itu tidak semua pedagang mau bicara kepada orang asing tentang barang dagangan mereka. Para pedagang jadi lebih berhati-hati karena takut ucapan mereka dipelintir untuk pemberitaan bombastis, atau demi video viral semata.

Tumpukan daging anjing atau RW di atas timbangan, disiapkan untuk dikirim ke luar Sulawesi Utara. Pedagang di Pasar Tomohon juga melayani permintaan dari sejumlah daerah timur Indonesia.

Teolog dan Budayawan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon Denni Pinontoan menerangkan, kebiasaan mengkonsumsi berbagai jenis hewan di Minahasa berhubungan erat dengan kebiasaan berburu. Kebiasaan ini ada dalam catatan Gubernur Belanda di Maluku Robert Padtbrugge yang berkunjung ke Manado pada abad 17.

Pada mulanya, anjing adalah teman berburu para leluhur minahasa. Dalam kegiatan perburuan yang dicatat oleh para penginjil Eropa, anjing berperan penting. Namun, dia mengatakan bahwa ada pula jenis anjing tertentu yang digunakan sebagai makanan.

"Jadi bukan berarti orang Minahasa makan semuanya, anjing itu juga teman berburu para leluhur. Namun, kebudayaan yang waktu itu sudah memisahkan juga mana anjing yang punya kemampuan berburu dan mana yang untuk dikonsumsi," tuturnya.

Dia menerangkan, anjing bukan daging konsumsi sehari-hari orang Minahasa. Pada mulanya anjing hanya dikonsumsi dalam acara sakral atau ritual tertentu. Salah satunya adalah dalam kegiatan fosso atau ritual penyambutan rumah baru.

Dalam ritual itu, darah anjing digunakan sebagai persembahan. Selepas prosesi, untuk tidak menyia-nyiakan anjing yang dikorbankan, dagingnya dimasak dan disantap bersama. Bagian kepala kadang dinikmati sebagai tola-tola atau teman menenggak minuman beralkohol.

Cara membunuhnya pun tidak sembarangan. Proses itu harus dilakukan oleh orang yang dituakan dengan syarat tertentu. Penyembelihan yang dilakukan dengan cara di-toki atau dipukul dikepala itu juga dilakukan di belakang rumah, secara tersembunyi.

"Pada saat mengorbankan anjing, ada doa-doa tertentu yang dirapal sebelumnya. Kurang lebih intinya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan dan alam telah memberikan anjing itu, mereka meminta izin untuk mengorbankannya," kata dia.

Proses ini berbeda dengan penyembelihan babi yang dilakukan secara terbuka di depan rumah. Alasannya, jumlah babi yang dipotong menunjukkan seberapa tinggi status ekonomi orang itu. Hal ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa mengkonsumsi anjing adalah hal sakral.

“Yang saya heran sekarang adalah orang luar berpikir bahwa daging anjing adalah konsumsi sehari-hari orang Minahasa, padahal tidak seperti itu. Tidak sembarangan, dan tidak setiap saat orang makan anjing, hanya pada acara tertentu saja,” jelasnya.

Tidak hanya menjual daging anjing yang sudah dibakar bulunya, pedagang juga menyediakan anjing hidup. Pembeli terkadang ingin mengetahui kondisi fisik anjing sebelum membelinya. Anjing dibunuh dengan cara ditoki atau dipukul di kepala.

Namun, tradisi itu perlahan-lahan bergeser karena permintaan pasar. Pembeli ingin mengetahui asal-usul dan kondisi anjing yang akan dikonsumsinya. Maka, para pedagang mulai menjajakan anjing yang masih hidup dan bersedia melakukan toki langsung di pasar.

“Kembali ke hukum ekonomi, yang beredar di online itu kan orang hanya bagiannya, bukan cerita panjangnya. Itu kan bermula dari permintaan konsumen, mereka tidak mau beli anjing kalau tidak jelas, fisiknya ataupun prosesnya,” jelasnya.

Salah seorang pedagang di Pasar Tomohon mencacah daging babi banpres. Sebutan babi banpres berasal dari frasa "bantuan presiden", merujuk pada jenis babi yang diberikan dalam program bantuan pangan era Soeharto.

Dia menjelaskan, faktor lain yang membuat praktik konsumsi daging anjing dikecam adalah persoalan asal-usul dan cara mendapatakan anjing tersebut. Dalam beberapa kasus, lanjutnya, memang ditemukan bahwa anjing yang dijual adalah curian.

"Para aktivis itu beranggapan pencuri anjing itu muncul karena kebiasaan orang mengkonsumsi anjing, jadi mereka pikir kebiasaan makan anjing ini yang harus dihilangkan. Apa hubungannya? Tidak seperti itu solusinya, ini kan hukum ekonomi," jelasnya.

Dalam pengertian paling sederhana pasar adalah pertemuan antara barang atau jasa dengan konsumen. Tidak mungkin ada barang yang diperdagangkan tanpa ada permintaan konsumen. Cerita dari Pasar Beriman, menjelaskan selera konsumsi masyarakat yang khas.

“Di sini hukum pasar yang berlaku. Kata biadab hanya digunakan oleh orang lain dari luar lingkungan ini untuk mengecap tradisi kuliner ini. Ironis menurut saya karena barat yang dikenal berpikir modern dan egaliter dalam menilai kebudayaan lain ternyata gagal” jelasnya.

Dia mengharapkan masyarakat luas dapat memahami kebiasaan makanan Minahasa ini sebagi sebuah warisan kebudayaan. Meski demikian, dia juga mengatakan bahwa kebudayaan dan identitas itu sendiri bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai dengan konstruksi yang berlaku.

Disclaimer: Artikel ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Edisi Sabtu, 6 Juli 2019 pada halaman Regional. Artikel di blog ini merupakan versi lain yang diunggah di blog pribadi penulis tanpa proses penyuntingan redaksi.

Friday, July 5, 2019

Di Balik Pedasnya Rica


Pedasnya cabai atau rica yang digemari oleh masyarakat Sulawesi Utara bermula dari era kolonialisme di Nusantara.


Tanaman itu, sama halnya dengan tomat, berasal dari benua Amerika. Rica yang merupakan bagian dari genus capsycum ini juga tidak dengan sendirinya terbawa arus lautan dan tiba di Tanah Minahasa. 

Kedatangannya bermula dari perjalanan niaga orang-orang benua biru.

Dalam beberapa literatur, Christopher Columbus sang pengembara dari kerajaan Spanyol diyakini sebagai orang pertama yang memperkenalkan cabai ke Eropa. Cabai merupakan salah satu bahan pangan yang dibawanya dari pengembaraannya ke Amerika pada abad ke-15.

Cita rasa pedas cabai kemudian menjalar di Eropa dengan dibudidayakan di gereja-gereja. Harapannya, rasa pedas cabai dapat menjadi substitusi pedasnya lada yang saat itu jadi komoditas mewah dan tidak banyak tersedia di sana.

Namun, tidak serta merta pencarian rempah Eropa berakhir begitu saja dengan adanya cabai. Mereka terus mengembara mencari rempah hingga akhirnya tiba Indonesia dengan misi perdagangan dan penginjilan. Pada periode inilah, cabai kemungkinan besar mulai dikenal oleh lidah Minahasa.

Sejarawan Kuliner Fadly Rahman mengatakan ada dua teori mengenai kedatangannya di Sulawesi Utara (Sulut). Pertama, cabai dibawa oleh Portugis yang mula-mula tiba di Maluku untuk mencari rempah-rempah. Kedua, Spanyol yang membawa tanaman itu ke Sulut setelah menguasai Filipina terlebih dahulu.

“Karena memang lalu lintas perdagangan rempah-rempah juga menyebabkan dibawanya bahan-bahan tanaman pangan seperti cabai, jagung, sangat mungkin cabai ini dibawa melalui jalur niaga bangsa Portugis dan Spanyol, mereka satu rumpun dan menguasai benua Amerika,” katanya.

Portugis pertama kali tiba di Sulut pada 1563. Bangsa itu datang dengan dua kapal kora-kora yang dipimpin oleh Pater Magelhaes ke Manado (sekarang Pulau Manado Tua). Tak hanya membaptis 1.500 orang, kala itu mereka juga mulai memperkenalkan cabai dan tomat.

Pada periode yang berdekatan, Spanyol juga singgah di daerah lain di Sulut. Jika Portugis pertama kali datang ke Pulau Manado Tua, Spanyol pertama kali tiba di pulau Talaud dan Siau. Keduanya menjalankan misi penginjilan di Sulut.

Sejarawan Universitas Sam Ratulangi Ivan Kaunang mengatakan, meski kedua bangsa itu datang dengan misi religius yang sama, keduanya juga bersaing dalam pencarian rempah-rempah. Sulut yang berdekatan dengan pusat perdagangan rempah di Maluku menjadi rebutan.

“Paus membagi dunia menjadi dua dalam penyebaran Katolik, tapi dua negara ini juga berlomba mencari rempah-rempah, mereka akhirnya bertemu di Maluku dan akhirnya mereka tiba di Sulut yang menjadi rebutan, terutama pesisir Manado. Kekuasan silih berganti di antara keduanya,” kata Ivan.

Meski demikian, menurutnya Spanyol lebih lama tinggal di daerah dengan etnis mayoritas Minahasa ini. Namun, pada akhirnya Bangsa ini juga harus angkat jangkar lebih cepat setelah dikalahkan masyarakat Minahasa yang pada akhirnya bekerja sama dengan Perserikatan Dagang (VOC) Belanda.

Ivan menuturkan, kegeraman masyarakat Minahasa terhadap Spanyol terjadi karena mereka mulai berlaku semena-mena dan memperkosa para perempuan di sana. Hal ini membuat rakyat bersatu dibawah komando para waraney atau para pemimpin perang untuk mengusir mereka.

“Akhirnya, pada 10 Agustus 1644 perang meletus melawan Spanyol, Minahasa berhasil mengusir Spanyol pada 1645. Para waraney dan masyarakat dari berbagai daerah berhasil mengusir mereka. Beberapa tahun setelah itu, barulah Minahasa bekerja sama dengan Belanda,” kata Ivan.

Dia mengatakan, guna membendung kembalinya Spanyol ke sana, para tetua menjalin kontrak kerja sama dengan VOC Belanda yang berkedudukan di Maluku pada 1679. Belanda menjadi penguasa sekaligus ‘penjaga’ Minahasa.

PERAN BUDAYA DAN AGAMA

Jufri Arorang (48) pedagang di Pasar Beriman, Tomohon, Sulawesi Utara, Sabtu (29/6/2019). Harga cabai dijual di kisaran Rp30.000-Rp35.000 per kilogram, mulai kembali normal setelah pada Mei dan awal Juni sempat menembus Rp60.000 per kilogram akibat lonjakan permintaan saat Ramadan dan Lebaran.

Di balik sejarah pertukaran dan perebutan kekuasaan itu, pahitnya kolonialisme juga memberikan rasa pedas yang membara lewat masuknya cabai. Tanaman ini kemudian digemari seiring dengan perkembangan budaya dan penyebaran agama.

Fadly Rahman menuturkan, perkembangan persepsi masyarakat terhadap cita rasa pedas di Minahasa sama halnya dengan di Jawa atau Sumatra. Orang Minahasa menerima cabai sebagai pemedas baru yang lebih dinikmati dibandingkan pemedas sebelumnya.

Sebelum cabai, masyarakat Indonesia, termasuk Minahasa, sudah memiliki pemedas yang berasal dari tanaman endemik Indonesia, seperti jahe dan lada. Namun, cabai lebih disukai karena tidak memberikan rasa pedas yang tertinggal di badan.

“Ada tanaman endemik pemedas, seperti jahe, dan lada, tapi seiring dengan kedatangan cabai, persoalan cita rasa berubah. Cabai diterima dan disukai karena punya sensai pedas yang hanya di mulut ini beda dengan lada dan jahe,” tuturnya.

Selain persoalan cita rasa, pedasnya rica juga diterima oleh kebudayaan Minahasa lantaran fungsinya yang dapat menghilangkan bau amis dari daging. Kebiasaan masyarakat memakan daging hewan buruan dari hutan membutuhkan banyak sentuhan rica.

“Salah satu fungsi dari pemedas, mulai dari jahe, lada, sampai cabai memang berfungsi untuk menghilangkan bau amis dari daging. Ternyata itu yang memang menjadi salah satu alasan mengapa orang Minahasa selalu membaurkan cabai,” katanya.

Pasar Beriman di Tomohon merupakan pusat perdagangan berbagai macam daging hewan, dari mulai tikus hutan atau kawok, anjing atau rintek wuuk (RW/bulu halus), hingga ular piton yang biasa dikonsumsi masyarakat.

Jenis daging tersebut membutuhkan bauran rica dan rempah-rempah yang kuat untuk menghilangkan bau amis. Untuk memasak satu ekor RW misalnya, diperlukan sekitar 1 liter rica yang dicampur dengan serai, jahe, bawang daun, dan berbagai bumbu lain .

Penyebaran agama Katolik dan Kristen di Minahasa yang diperkenalkan Eropa ternyata tidak serta-merta menghilangkan kebiasaan makan tersebut. Berbeda dengan pola penyebaran agama di Jawa yang menggusur kebiasaan kuliner masyarakat sebelumnya.

“Hal ini menunjukkan bahwa kondisi konsumsi terhadap kuliner itu masih tetap bertahan dari abad ke abad. Gerakan kristenisasi itu tidak serta merta menggusur kebudayaan mereka sebelumnya,” ucap Fadly.

Ivan Kaunang berpendapat, hal itu juga berkaitan dengan cara penyebaran agama di Minahasa. Kristenisasi di Minahasa membiarkan kebudayaan lokal tetap ada dan berkembang. Bahkan, dalam beberapa contoh kebudayaan lokal juga diadopsi oleh gereja.

Pedasnya rica yang dibawa Eropa dari benua Amerika telah menjadi identitas kebudayaan kuliner Minahasa. Tingginya konsumsi rica terus terpelihara hingga saat ini, bahkan acap kali menjadi penyebab inflasi di Bumi Nyiur Melambai.

Disclaimer: Artikel ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia Edisi Sabtu, 29 Juni 2019 pada halaman Regional. Artikel di blog ini merupakan versi lain yang diunggah di blog pribadi penulis tanpa proses penyuntingan redaksi.