Siapa yang tak
kenal makanan khas Sunda dari tanah parahyangan. Jika kebetulan sedang
berada di daerah Sunda, dengan mudah dapat ditemukan banyak tempat makan yang
menawarkan makanan ‘khas’ Sunda.
Biasanya
rumah makan Sunda identik dengan sambal. Beberapa sajian lain
seperti pepes, lalapan, hingga berbagai makanan yang dibakar juga merupakan sajian yang
lazim ditemui di beberapa rumah makan khas Sunda. Selain itu, rumah makan khas
Sunda lazimnya juga menawarkan suasana alam dan konsep lesehan.
Makanan dan Kebudayaan
Makanan
secara harfiah dapat diartikan sebagai segala bahan yang kita makan atau masuk
ke dalam tubuh yang membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga,
atau mengatur semua proses dalam tubuh. Sedangkan dalam kajian antropologi,
makanan bukan hanya sebatas pemenuh kebutuhan biologis, makanan memiliki banyak
arti simbolik yang jauh lebih dalam ketimbang sekadar pemenuh kebutuhan semata.
Seto
Nurseto, alumni Prodi (Program Studi) Antropologi Universitas Padjadjaran
mengatakan bahwa makanan adalah bagian dari kebudayaan, makanan sangat erat
kaitannya dengan budaya di mana makanan itu ada.
"Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi," ungkap pria yang juga pemilik usaha kuliner di Bandung ini.
Budaya
saat ini sering kali hanya dilihat melalui kesenian, padahal kesenian itu
hanyalah bagian kecil dari kebudayaan itu sendiri. Banyak orang terjebak dalam
melihat suatu kebudayaan hanya dari keseniannya saja. Seperti budaya Sunda
misalnya, banyak orang hanya melihat budaya Sunda dari musik, dan jenis-jenis
tariannya saja.
Hal tersebut terungkap saat penulis berbincang dengan Ari, salah seorang pengamat budaya Sunda. Ia mengatakan, saat ini
banyak orang yang menyalahartikan budaya sebagai seni.
“Budaya
sering tertukar dengan seni. Jadi orang kalau ditanya ‘tahu gak budaya sunda?’ jawabnya itu jaipongan, ketuk tilu, budaya sunda hanya itu.” Ujar Ari.
Kepada
penulis, Ari memaparkan lebih jauh mengenai konsep budaya. Menurutnya, budaya
adalah tatanan dari mulai kita masih di dalam perut ibu sampai kembali lagi ke
tanah. Budaya mengatur bagaimana hubungan manusia dengan sesama, hubungan
manusia dengan alam, hubungan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain.
Melalui
konsep tersebut, makanan adalah bagian dari kebudayaan. Makanan adalah hal yang
diatur oleh kebudayaan. Apa yang disebut makanan dan bukan makanan adalah
bagian dari rekonstruksi kebudayaan.
Rimbo
Gunawan, pengampu mata kuliah ‘Makanan dan Kebudayaan’ di Prodi Antropologi
Universitas Padjadjaran menjelaskan bahwa makanan adalah bagian penting dari
kebudayaan. Apa yang dianggap makanan oleh satu kebudayaan, belum tentu
dianggap makanan juga oleh kebudayaan yang lain.
Setiap
budaya mengatur makanan mereka berdasarkan aturan budaya mereka. Aturan
tersebut bisa didasari berbagai macam hal seperti keyakinan, sejarah, dan
lain-lain. Tapi pengertian makanan menurut Rimbo sebetulnya paradoks, di satu
sisi makanan bisa mengkotak-kotakan, tapi di sisi lain makanan juga bisa
menjadi pemersatu.
“Selain mengkotak-kotakan orang
berdasarkan klasifikasinya, makanan juga bisa menyatukan dalam konteks lain.
Suatu perjanjian damai, pasti diawali atau diakhiri dengan makan bersama. Itu
konteks paradoks makanan,” ujar pria berambut panjang yang sedang mengambil
studi doktor di Radboud University, Nijmegen, Belanda tersebut.
Makanan Sunda dan Lalapan
Makanan Sunda identik dengan lalap.
Lalap adalah tumbuh-tumbuhan yang biasa dimakan langsung oleh masyarakat Sunda.
Di makalah yang dibahas dalam acara Konferensi Internasional Budaya Sunda I di
Bandung pada Agustus 2001 silam, ahli mikrobiologi Istitut Teknologi Bandung,
Unus Suriawieia (1036-2007), menjelaskan bahwa dari 80 jenis makanan Sunda,
lebih dari 65 persen di antaranya berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Unus dalam bukunya yang berjudul Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat
Sunda menjelaskan kegemaran masyarakat Sunda makan lalap adalah akibat
budaya dan kehidupan masyarakat yang menyatu dengan alam. Hal ini akhirnya
membuat orang Sunda punya pengetahuan tentang tumbuhan mana yang bisa dimakan
dan yang tidak (Kompas, 25 Juli 2015).
Konsep hidup budaya Sunda yang
menyatu dengan alam sudah ada sejak lama. Sunda telah mengenal berladang sejak
puluhan tahun sebelum masehi. Salah satu pengamat budaya Sunda lainnya, Samson,
mengatakan bahwa manusia sunda terbagi menjadi tiga golongan yaitu orang yang
hidup di huma (ladang), orang yang hidup di kebun, dan orang yang hidup di
sawah.
Ia juga menjelaskan, dalam kajian antropologi,
peradaban lama ditandai dengan menjalankan kegiatan berladang untuk memenuhi
kebutuhan makanan. Menurutnya, kebudayaan Sunda termasuk ke dalam peradaban
lama, Peradaban lama yang telah maju.
“Kalau dalam antropologi peradaban
lama ditandai dengan berladang sebagai sumber makanan, sedangkan manusia sunda
pokok hidupnya itu dari berladang. Kurang lebih puluhan tahun sebelum masehi,”
jelasnya.
Sejalan dengan pendapat Ari yang
mengatakan budaya Sunda adalah tatanan kehidupan manusia, Samson juga
mengatakan budaya Sunda bukan hanya berbicara soal suku ataupun etnis semata.
Budaya Sunda lebih dalam dari itu, bicara soal kebaikan dan keburukan. Samson
menjelaskan, ada enam aspek kemanusiaan Sunda yang disebut dengan Sad Rasa
Kamanusiaan.
“Yang pertama adalah moral manusia
terhadap tuhan, kedua adalah moral manusia terhadap pribadinya, yang ketiga
adalah moral manusia dengan manusia lainnya, keempat adalah moral manusia
terhadap waktu, yang ke lima itu moral manusia terhadap alam, yang terakhir
adalah moral manusia terhadap kesejahteraan lahir batin,” Jelasnya.
Dalam kebudayaan Sunda, manusia
dituntut berhubungan baik dengan semua ciptaan Tuhan lainnya. Tidak hanya
dengan sesama manusia, tapi juga dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini
semakin memperjelas bahwa manusia Sunda memang mengenal alamnya dan terbiasa
hidup menyatu dengan alam. Kebiasaan mengonsumsi lalap menjadi salah satu
contoh kebiasaan yang muncul dari kebiasaan masyarakat Sunda yang hidup menyatu
dengan alam.
Samson melanjutkan, sudah ada
pembagian tanaman dalam kebiasaan bercocok tanam orang huma dalam masyarakat Sunda. Dalam proses bertani mereka
yang berlangsung selama kurang lebih enam bulan, mereka juga menanam
tanaman-tanaman yang sengaja ditanam untuk orang lain dan juga untuk makhluk
lain di sekitar ladang mereka.
Penanaman tanaman tersebut
berdasarkan pada perhitungan yang matang berdasarkan fungsi dan manfaatnya. Contohnya,
di dekat sumber air atau tampias
biasanya ditanami marémé karena mampu
menahan air lebih lama. Selain itu, juga marémé
bisa langsung dimakan pucuknya sebagai sumber makanan cadangan bagi orang huma.
Pembagian penanaman tanaman tersebut juga didasarkan pada untuk siapa tanaman tersebut ditanam. Dalam menangani hama, kebudayaan sunda tidak membasmi mereka, tapi justru memberi mereka makanan. Contohnya, di tepian petak sawahnya, mereka menanam umbi-umbian. Hal ini dilakukan untuk memberi makanan kepada hama tikus, sekaligus menjauhkan mereka dari padi.
Sedikit berbeda dengan pendapat Samson, Rimbo rupanya punya pandangan lain. menurutnya, Keterampilan
manusia Sunda mengenali alamnya dan mengkonsumsi makanan dari alam bisa jadi merupakan buah dari keragaman ekologi yang ada di tanah Sunda.
“Ada di seminar kebudayaan Sunda di
tahun 2005 atau 2009, saya lupa, ada satu paper
yang mengatakan keragaman hayati terutama tumbuhan, terutama di Jawa Barat itu
jauh lebih banyak dibanding di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari pernyataan itu
kita bisa menganalisis apakah keragaman itu terkait dengan lalapan. Dan dari
situ kita bisa menangkap bahwa orang Sunda mendefinisikan lalap itu sangat luas,”
tandasnya.
Tak heran, ada lelucon yang
mengatakan hidup orang Sunda itu gampang. Cukup sediakan kebun dan ladang,
pasti orang Sunda bisa bertahan hidup (dengan memakan lalap).