“Hey, ayolah! Kau tahu apa yang paling menyakitkan di dunia ini?”
“Ya! Melihatmu seperti ini!”
“Hanya merengek, mengeluh! Seakan kau tidak bisa perbaiki ini!”
“Kau pikir kau yang paling sial di sini? Semua orang sudah sial di sini,
bahkan sebelum dilahirkan!”
Pandangannya lurus ke langit-langit yang sudah menguning. Kedua tangannya bertelungkup di atas perutnya. Kedua kakinya gelisah, bergerak-gerak di bawah selimut yang tutupi setengah badannya. Adiknya terus lontarkan kata-kata pedas padanya, sembari duduk di jendela kamar dan sesekali menyesap rokoknya. Di bawah langit yang malam itu ramai dengan bintang, sang adik coba bangunkan kakaknya dengan caranya.
“Kau tahu tidak? Dulu kau adalah kakak yang paling aku banggakan. Saat aku dipukul di sekolah, aku tak pernah merasa kalah, karena aku tahu esok harinya kau akan menghajar mereka!”
“Dan apakah kau tahu? Kau selalu ku anggap sebagai orang paling sempurna setelah ayah, aku ingin bisa sebaik kau dan ayah,”
“Tapi sekarang? Lihatlah dirimu! Kau hanya mengeluh, seakan dunia begitu jahat padamu. Sakit aku harus melihat kau seperti ini, kak! Mana kau yang dulu?”
Pandangan yang sejak tadi lurus di sebuah kamar berlampu pijar itu perlahan tertutup. Dalam tarikan nafas yang dalam, tetesan air mata perlahan airi wajahnya yang kering. Nafasnya mulai tak teratur, air matanya terus mengalir. Ia sekarang terlelap dalam gelap matanya yang tertutup, seperti harapan dan masa depannya yang ia pikir telah lama mati. Seorang pria berumur 27 tahun. Menangis tanpa merintih, pilu hatinya tanpa luka, hambar hidupnya tanpa mimpi.
Pikirannya campur aduk malam itu. Ia kembali teringat akan setiap lembar hidupnya yang di luar nalar manusia normal. Tiba-tiba wajah ibunya yang entah dimana, muncul begitu saja dalam gelap matanya. Suara teman-teman sekolahnya dulu terdengar nyaring di telinganya. Mimpinya untuk menjadi seorang pilot terbenam bersama bayangan masa lalunya dalam tangisnya.
“Jangan sampai jadi sepertiku, kau harus bisa gapai mimpimu,”
“Aku memang pesakitan,”
“Tapi tak apa lah, cukup aku saja yang jadi pesakitan di sini asal kau dan yang lainnya bisa punya hidup yang lebih baik”
Sejak ayah dan ibunya bercerai 15 tahun lalu, ia yang terlihat paling tertekan. Ia yang memang seorang pendiam, makin jadi pendiam sejak saat itu. Satu-satunya suara yang biasa ia buat semalaman hanyalah suara tangisannya. Memecah keheningan malam di rumahnya yang telah ditinggal satu orang anggota keluarganya. Tinggal ia, bapak, kakak, dan dua orang adiknya yang tersisa di rumah itu. Ibunya telah memilih untuk pergi dari rumah, setelah merasa tak cocok lagi dengan suaminya, setidaknya itulah yang anak-anaknya tahu.
Beruntung ia tidak sampai terjebak menggunakan narkoba seperti kakaknya. Beberapa kali ia hanya menonton sang kakak membakar ganja di hadapannya, ataupun memadat dengan serbuk putih yang kemudian ia tahu bernama sabu. Ia tetap menjadi anak yang soleh dan pendiam seperti ayahnya, namun ia justru menjadi seorang yang terlalu pendiam. Sejak ditinggal ibunya ia bingung dengan hidupnya, ia tak tahu lagi harus hidup menjadi apa. Semua mimpi-mimpinya hanya ia dan ibunya yang tahu.
“Ibu telah merampas mimpi-mimpiku! Ia tak pernah kembali dan mengajakku mengejar kembali mimpiku itu!”
Ia sangat dekat dengan ibunya. Semua hal yang ia anggap rahasia hanya akan ia beri tahu pada ibunya. CIta-citanya menjadi seorang pilot hanya ia beri tahu pada ibunya, dan ia meminta ibunya untuk berhati-hati, jangan sampai ada orang lain yang tahu tentang cita-citanya.
“Bu, ini rahasia ya bu. Aku hanya ingin ibu yang tahu, aku mau mengajak yang lainnya juga nanti. Tapi jangan sampai yang lain tahu, aku ingin jadi kejutan untuk semuanya nantinya. Janji tidak bilang siapapun ya, bu!”
Ia juga punya celengan yang sejak kecil selalu ia bawa kemana-mana. Ia menabung setiap harinya, dia berharap bisa membeli pesawat terbang dengan itu. Sejak ibunya pergi, ia tak lagi menabung. Uang recehan yang terkumpul di celengannya perlahan dirogoh oleh kakaknya. Bukan tidak mau marah, tapi ia tidak pernah merasa punya keperluan dan kepentingan lagi dengan uang. Ia tak lagi punya mimpi untuk membeli pesawat.
“Sejak kecil aku memang sudah seperti ini, selalu mengalah,”
“Aku tahu, aku terlihat bodoh dan tak berguna. Tapi ini lah aku bagi keluarga ini,”
“Membuat diriku tak berguna, agar yang lain setidaknya terlihat masih berguna”
Bicaranya malam itu memang terdengar agak melankolis, tapi begitulah kehidupannya, benar-benar sepilu itu. Selama bersekolah hingga kuliah, hingga akhirnya sekarang ia bekerja mencari uang sebisanya, ia tak pernah merasakan nikmat dari rupiah yang ia hasilkan. Ia selalu jadi penambal kondisi ekonomi keluarganya. Kakaknya yang lebih tua tak jarang didahulukan keinginannya oleh Ayahnya. Ia seperti koperasi simpan pinjam untuk keluarganya, bedanya, jarang sekali pinjaman tersebut diganti.
Begitulah dia, bukan dia tak mau bermimpi. Tapi mimpi tak pernah terasa nyata baginya. Hanya pahit dan getirnya hidup yang ia anggap nyata seumur hidupnya. Saat ia mendapat rejeki lebih, keluarganya butuh lebih. Ayahnya? Bukan tak ingin membantu, tapi ia juga hadapi dilema yang tak kalah berat. Istri barunya mengganjal usahanya bahagiakan anak-anaknya.
Ia sering dipusingkan dengan nasib kedua adiknya yang masih berkuliah. Ia sebagai kakak, tentu punya kewajiban untuk membantu adik-adiknya berkuliah. Akan tetapi, ia juga sudah seharusnya menabung dan mulai merajut kehidupannya sendiri. Ia sudah 27 tahun, dan sudah berpacaran lebih dari 7 tahun tapi ia tak sanggup mengajak kekasihnya ke pelaminan karena biaya. Hal yang jadi tambah berat adalah ketika ia juga harus membantu kakaknya yang tertatih-tatih mencari uang untuk keluarganya.
Sebetulnya ia bisa saja menikah menggunakan uang orang tuanya dan berbagai pinjaman yang mungkin ia lakukan, seperti apa yang kakaknya lakukan 3 tahun lalu. Tapi ia tak mau seperti itu, ia bahkanterlalu sibuk memikirkan keluarganya dibanding memikirkan hal semacam itu. Benar-benar terbatas hidupnya, setiap cucuran keringat yang ia keluarkan adalah murni untuk keluarganya semata.
Apa ia memilih menjadi seperti ini? Tidak, jelas tidak. Tapi dunia yang memilihnya menjadi seperti itu. Keadaan yang memaksa ia menutup matanya, mengakhiri mimpinya. Pria itu kini tak lagi merasa ia adalah pemeran utama dalam hidupnya, ia rasa ia hanyalah pemeran pembantu di kisah hidup orang lain. Tak pernah diperhatikan, tapi tak diperbolehkan pergi untuk sekadar perhatikan dirinya.
“Sudahlah, kau memang sudah terlanjur bebal”
“Dengarkan aku! Lihat ayahmu, berapa usianya? 60 tahun! Dan ia tetap coba hadapi masalah hidupnya!”
“Kau? Setengahnya usia ayah saja tidak! Tapi kau bersikap seolah sudah dua kali lebih tua darinya!”
“Dengar! ini belum berakhir, kak! Setidaknya kau masih punya 43 tahun untuk pastikan kau bisa lebih baik dari ayah!”
“Kau blang apa tadi!?”
No comments:
Post a Comment