Monday, July 7, 2014

Empat Lapan Lima Sembilan

Ada ungkapan kalau hidup itu seperti matematika, semuanya soal angka dan perhitungan. Hidup itungan, nanti setelah mati juga soal hitungan, setiap amalan akan dihitung dan dipertanggungajawabkan nantinya. Kita makan di warteg habis makan dihitung, kita bertanya berapa mbak/mas? mbak/masnya malah berhitung? kita jawab tahu dijawab 4.000! kita bilang lagi tempe dijawab 5.000! tambah telor dijawab 8.000, kita bilang es teh manis dijawab 11.500! Benar kan? Hidup itu itung-itungan, seperti matematika.

Apakah cinta juga persoalan hitung-hitungan yang bisa diselesaikan dengan berbagai rumus dan rumusan? Mungkin buat sebagian yang percaya akan numerologi ataupun kelewat keasikan dengan rumus matematikanya akan percaya, tapi tidak buatku. Angka-angka tersebut tak lebih dari sekadar angka yang muncul karena apa yang telah kulakukan dan kulalui dalam pencarian cinta dalam hidupku. Kuakui beberapa dari angka tersebut saat kuingat artinya hanya membuatku tertawa, tertawa pada hal yang terjadi pada diriku meski ku tahu itu tidak lucu. Tidak lucu memang, karena itu menyedihkan sampai-sampai tak ada lagi yang bisa ditangisi darinya.

Kenapa kubilang menyedihkan? Jelas saja dari 12 kali aku berusaha untuk membuat hubungan yang sering dibilang orang 'pacaran' hanya empat kali saja aku berhasil sampai di sana. Sisanya? Bisa anda tebak sendiri, 8 kali sudah aku mendengar kata tidak dari 8 wanita berbeda. Hal ini sempat membuat aku berfikir sejenak dan berhitung. "Banyak juga wanita yang menolak diriku yang tak terlalu tampan ini," ucapku dalam hati. Ya, memang banyak tapi mau bagaimana lagi? Toh itu kenyataannya.

Pernah ku dengar kalau perbandingan wanita dan pria itu adalah 1:10. Jika ini berarti jumlah wanita yang bisa ditembak seorang pria itu sebanyak 10 wanita, aku berarti sudah lebih dua? Kalau ini berarti jatah ditolak seseorang adalah 10 kali, berarti aku tinggal punya 2 kesempatan lagi? Jika dalam percobaan selanjutnya aku mendapati sebuah kegagalan lagi, berarti? Aku tinggal punya 1 kesempatan lagi? Jika di kemudian hari aku gagal lagi berarti aku sudah dipastikan jomblo seumur hidup? Atau dipaksa mencari pasangan dari kaum yang memiliki jenis kelamin sama denganku? Kenapa bisa sepelik ini? Apa aku tidak pernah berhitung sebelumnya sebelum mencoba bercinta?

Kalau dipikir seperti itu pusing jadinya sodara-sodara ku baik yang seiman maupun tidak seiman. Kubilang hidup soal hitung-hitungan memang benar adanya, tapi nampaknya soal cinta tidak seperti itu. Bila aku berfikir serumit itu yang ada aku jadi jomblo hakiki pada akhirnya. Aku lebih baik membiarkan angka-angka itu terus bertambah dan menjadi pengingat, karena buatku hidup yang baik adalah hidup yang bisa terus kita ingat, terlepas dari baik ataupun buruknya hal tersebut.

Bisa saja aku tidak pernah mencoba dan mencoba membunuh rasa penasaran dan cintaku dengan perlahan agar angka-angka tersebut tidak pernah muncul dalam hidupku, hanya membiarkan angka 0 yang menjadi pengingatku. Namun apakah itu pilihan yang aku pilih? tidak, jelas tidak. Apa yang bisa kita ingat dari angka 0 selain jika anda penjaga gawang sebuah tim sepak bola dan membuat tim yang menjadi lawan anda menelan angka tersebut setelah pertandingan? Tidak ada, 0 dan angka-angka kecil lainnya tak berarti buatku, semakin besar angkanya semakin kita ingat artinya.

Mungkin aku lelah dengan 8 kali penolakan, tapi aku akan jauh lebih lelah jika memaksa diriku menikmati kesendirian. Angka-angka tersebut akan terus bertambah pada akhirnya, dan tidak ada yang tahu angka mana yang akan kucapai selanjutnya. Tapi jika aku bisa memilih, aku lebih suka angka 5 dibanding angka 9.

1 comment: