Tuesday, July 8, 2014

Aku Pergi Terawih Saja

Emak sedang sibuk di Rumah, memandikan adikku yang baru satu tahun menjejakkan kakinya di muka bumi ini. Aku baru saja menghabiskan kolak yang kubeli di dekat kerumunan muda-mudi usia 18 sampai 20-an yang mengaku mahasiswa. Meski tak manis-manis amat, tapi cukup untuk menemaniku berbuka puasa petang ini, sambil menguping sedikit suara televisi dari tetanggaku yang beradu nyaring dengan gemuruh suara adzan.

"mak emam sareng naon ayeuna? (mak, makan apa kita hari ini?)" tanyaku pada emak yang masih membasuh tubuh adikku perlahan. "Sakedap a, antosan... Beres ngaibakan si adik engke urang emam sasarengan nyak, sok aa solat ka masjid heula ayeuna mah, (Beres memandikan adik, nanti kita makan bersama ya, sekarang kakak solat ke masjid dulu saja,)" jawab emak dengan nadanya yang halus dan lemah lembut padaku. Tanpa sepatah katapun kulangkahkan kakiku menuju masjid kecil yang berada di pelataran lahan kosong depan tulisan "UNIVERSITAS PADJADJARAN" berwarna oranye yang berdiri megah di sisi kiri jalanan tempat tinggalku.

"Sepi sekali masjidku, hanya apa hanya sedikit orang yang mau menunaikan sholat berjamaah di Masjid saat ini" pikirku dalam hati. Apa mungkin masjidku ini kurang besar untuk menampung orang-orang yang berseliweran dengan titel mahasiswa itu, tak apa yang penting masjid ini masih cukup besar untukku, lagi pula apa untungnya memikirkan mereka yang tak mau ikut mengadu dan berdoa pada Tuhan yang sama secara bersama-sama. Hanya ada Pak Ustadz, aku dan dua orang yang ikut sholat berjamaah, sekali lagi tak apa yang penting aku khusyuk ibadah petang ini.

Selesainya aku sholat maghrib dan memanjatkan doa-doa yang ku hafal dari sekolah agamaku, aku pun berlari pulang ke rumah. Pasti ada makanan yang menunggu untuk ku santap habis di sana. "Hayu mak urang emam... (Ayo mak, kita makan...)" ajakku pada emak yang sedang menggendong adikku dengan kain yang sama saat ku dulu juga butuh naik di gendongannya untuk tidur. "Teu acan aya nanaon aa kasep, emak teu acan masak, sakedap nyak antosan (Belum ada apa-apa kak, emak belum masak tunggu sebentar lagi ya kak,)" jawab emak padaku dengan nada lirih. Oke, baiklah aku tak punya jawaban yang tepat untuk menanggapi jawaban emakku, dari pada mengeluarkan kata yang buruk seperti apa yang kusaksikan dalam debat capres beberapa waktu lalu melalui jendela rumah tetanggaku.

"Aa ngaos heula atuh nyak mak, sabari ngantosan emak masak, (kaka ngaji dulu kalau begitu ya bu, sambil nunggu ibu masak,)" jawabku pada emak yang dibalasnya dengan senyum bangga padaku ala ibu-ibu di iklan susu SGM. Akupun mulai mengaji, melanjutkan ayat yang kubaca setelah shalat ashar tadi. Semangatku untuk membaca hatam ayat-ayat yang tertulis di Mushaf Al-Quran membuat waktu tak terasa begitu cepatnya berlalu hingga seruan untuk menunaikan solat isya berkumandang. Memang tak terasa, sampai-sampai tak terasa ada bau makanan yang hadir atau tidak.

Aku yang mulai kelaparan akhirnya menutup bacaan Mushaf Al-Quran dengan kalimat shadaqallahul ‘azhim dan kembali bertanya pada emak. "Mak..." panggilku pada emak yang ternyata sudah tertidur pulas bersama adik kecilku. Tak sampai hati aku untuk membangunkan emak yang terlihat sangat letih malam itu, akhirnya kuputuskan untuk sholat terawih saja di masjid. Meski aku kelaparan, tapi ibadah tetap harus di jalankan, bukan alasan.

Aku pun berjalan ke arah masjid dengan langkah yang tak kalah semangat seperti sebelumnya. Ku berlari dengan kedua kaki kecilku sambil menenteng sarung pemberian almarhum ayahku 2 tahun lalu. Saat ku menyusuri jalan menuju ke masjid, aku bertemu dengan pemuda yang nampaknya dari kerumunan yang sama seperti yang kutemui saat membeli kolak. 

"Bade tarawehan dimana cep? (Mau solat terawih dimana dik?)" tanya pemuda itu padaku. "Di masjid itu a, anu alit palih ditu, (Di masjid kak, yang kecil di sebelah sana,)" jawabku sambil terburu-buru karena tak mau ketinggalan sholat berjamaah isya. "Di Masjid Unpad we atuh cep, aya kaemaman sakantenan diditu mah, seueuran deuih resep cep (Di masjid unpad saja dik, ada makanan juga kalau di sana, banyak orang pula pasti seru,)" ajak pemuda tersebut padaku. "Moal ah a, di masjid anu biasa we (Enggak deh kak, di Masjid yang biasa saja,)"  tolakku pada pemuda tersebut.

Aku pun berlari meniggalkan pemuda tersebut yang tampak kebingungan denganku. Bisa saja aku pergi ke masjid unpad dan mendapatkan makanan untuk menghapuskan rasa laparku. Tapi bukan itu tujuanku pergi ke masjid, untuk solat! Tidak lebih tidak kurang! Urusan makan itu perkara lain, aku heran dengan pemuda-pemudi itu yang hanya pergi ke masjid untuk mendapat makanan. Kenapa tak pergi ke rumah makan sekalian? Atau sekalian saja sholat terawih di rumah makan?

Entah apa yang salah dengan muda-mudi itu, tapi yang jelas itu bukan urusanku. Urusanku adalah urusanku dengan Tuhanku, yang ku tahu pergi ke masjid itu untuk menghadap tuhan bukan untuk mendapat makanan. Ah sudahlah dari pada memikirkan hal yang bukan dan tak akan menjadi urusanku, lebih baik aku pergi terawih saja.

Monday, July 7, 2014

Empat Lapan Lima Sembilan

Ada ungkapan kalau hidup itu seperti matematika, semuanya soal angka dan perhitungan. Hidup itungan, nanti setelah mati juga soal hitungan, setiap amalan akan dihitung dan dipertanggungajawabkan nantinya. Kita makan di warteg habis makan dihitung, kita bertanya berapa mbak/mas? mbak/masnya malah berhitung? kita jawab tahu dijawab 4.000! kita bilang lagi tempe dijawab 5.000! tambah telor dijawab 8.000, kita bilang es teh manis dijawab 11.500! Benar kan? Hidup itu itung-itungan, seperti matematika.

Apakah cinta juga persoalan hitung-hitungan yang bisa diselesaikan dengan berbagai rumus dan rumusan? Mungkin buat sebagian yang percaya akan numerologi ataupun kelewat keasikan dengan rumus matematikanya akan percaya, tapi tidak buatku. Angka-angka tersebut tak lebih dari sekadar angka yang muncul karena apa yang telah kulakukan dan kulalui dalam pencarian cinta dalam hidupku. Kuakui beberapa dari angka tersebut saat kuingat artinya hanya membuatku tertawa, tertawa pada hal yang terjadi pada diriku meski ku tahu itu tidak lucu. Tidak lucu memang, karena itu menyedihkan sampai-sampai tak ada lagi yang bisa ditangisi darinya.

Kenapa kubilang menyedihkan? Jelas saja dari 12 kali aku berusaha untuk membuat hubungan yang sering dibilang orang 'pacaran' hanya empat kali saja aku berhasil sampai di sana. Sisanya? Bisa anda tebak sendiri, 8 kali sudah aku mendengar kata tidak dari 8 wanita berbeda. Hal ini sempat membuat aku berfikir sejenak dan berhitung. "Banyak juga wanita yang menolak diriku yang tak terlalu tampan ini," ucapku dalam hati. Ya, memang banyak tapi mau bagaimana lagi? Toh itu kenyataannya.

Pernah ku dengar kalau perbandingan wanita dan pria itu adalah 1:10. Jika ini berarti jumlah wanita yang bisa ditembak seorang pria itu sebanyak 10 wanita, aku berarti sudah lebih dua? Kalau ini berarti jatah ditolak seseorang adalah 10 kali, berarti aku tinggal punya 2 kesempatan lagi? Jika dalam percobaan selanjutnya aku mendapati sebuah kegagalan lagi, berarti? Aku tinggal punya 1 kesempatan lagi? Jika di kemudian hari aku gagal lagi berarti aku sudah dipastikan jomblo seumur hidup? Atau dipaksa mencari pasangan dari kaum yang memiliki jenis kelamin sama denganku? Kenapa bisa sepelik ini? Apa aku tidak pernah berhitung sebelumnya sebelum mencoba bercinta?

Kalau dipikir seperti itu pusing jadinya sodara-sodara ku baik yang seiman maupun tidak seiman. Kubilang hidup soal hitung-hitungan memang benar adanya, tapi nampaknya soal cinta tidak seperti itu. Bila aku berfikir serumit itu yang ada aku jadi jomblo hakiki pada akhirnya. Aku lebih baik membiarkan angka-angka itu terus bertambah dan menjadi pengingat, karena buatku hidup yang baik adalah hidup yang bisa terus kita ingat, terlepas dari baik ataupun buruknya hal tersebut.

Bisa saja aku tidak pernah mencoba dan mencoba membunuh rasa penasaran dan cintaku dengan perlahan agar angka-angka tersebut tidak pernah muncul dalam hidupku, hanya membiarkan angka 0 yang menjadi pengingatku. Namun apakah itu pilihan yang aku pilih? tidak, jelas tidak. Apa yang bisa kita ingat dari angka 0 selain jika anda penjaga gawang sebuah tim sepak bola dan membuat tim yang menjadi lawan anda menelan angka tersebut setelah pertandingan? Tidak ada, 0 dan angka-angka kecil lainnya tak berarti buatku, semakin besar angkanya semakin kita ingat artinya.

Mungkin aku lelah dengan 8 kali penolakan, tapi aku akan jauh lebih lelah jika memaksa diriku menikmati kesendirian. Angka-angka tersebut akan terus bertambah pada akhirnya, dan tidak ada yang tahu angka mana yang akan kucapai selanjutnya. Tapi jika aku bisa memilih, aku lebih suka angka 5 dibanding angka 9.