Emak sedang sibuk di Rumah, memandikan adikku yang baru satu tahun menjejakkan kakinya di muka bumi ini. Aku baru saja menghabiskan kolak
yang kubeli di dekat kerumunan muda-mudi usia 18 sampai 20-an yang mengaku
mahasiswa. Meski tak manis-manis amat, tapi cukup untuk menemaniku berbuka
puasa petang ini, sambil menguping sedikit suara televisi dari tetanggaku yang
beradu nyaring dengan gemuruh suara adzan.
"mak emam sareng naon
ayeuna? (mak, makan apa kita
hari ini?)" tanyaku pada emak yang masih membasuh tubuh adikku perlahan.
"Sakedap a, antosan... Beres ngaibakan si adik engke urang emam
sasarengan nyak, sok aa solat ka masjid heula ayeuna mah, (Beres memandikan
adik, nanti kita makan bersama ya, sekarang kakak solat ke masjid dulu
saja,)" jawab emak dengan nadanya yang halus dan lemah lembut padaku.
Tanpa sepatah katapun kulangkahkan kakiku menuju masjid kecil yang berada di
pelataran lahan kosong depan tulisan "UNIVERSITAS PADJADJARAN"
berwarna oranye yang berdiri megah di sisi kiri jalanan tempat tinggalku.
"Sepi
sekali masjidku, hanya apa hanya sedikit orang yang mau menunaikan sholat
berjamaah di Masjid saat ini" pikirku dalam hati. Apa mungkin masjidku ini
kurang besar untuk menampung orang-orang yang berseliweran dengan titel
mahasiswa itu, tak apa yang penting masjid ini masih cukup besar untukku, lagi
pula apa untungnya memikirkan mereka yang tak mau ikut mengadu dan berdoa pada
Tuhan yang sama secara bersama-sama. Hanya ada Pak Ustadz, aku dan dua orang
yang ikut sholat berjamaah, sekali lagi tak apa yang penting aku khusyuk ibadah
petang ini.
Selesainya aku sholat maghrib dan memanjatkan doa-doa yang ku
hafal dari sekolah agamaku, aku pun berlari pulang ke rumah. Pasti ada makanan
yang menunggu untuk ku santap habis di sana. "Hayu mak urang
emam... (Ayo mak, kita makan...)" ajakku pada emak yang sedang
menggendong adikku dengan kain yang sama saat ku dulu juga butuh naik di
gendongannya untuk tidur. "Teu acan aya nanaon aa kasep, emak teu acan
masak, sakedap nyak antosan (Belum
ada apa-apa kak, emak belum masak tunggu sebentar lagi ya kak,)" jawab emak padaku dengan nada
lirih. Oke, baiklah aku tak punya jawaban yang tepat untuk menanggapi jawaban
emakku, dari pada mengeluarkan kata yang buruk seperti apa yang kusaksikan
dalam debat capres beberapa waktu lalu melalui jendela rumah tetanggaku.
"Aa ngaos heula atuh
nyak mak, sabari ngantosan emak masak, (kaka ngaji dulu kalau begitu
ya bu, sambil nunggu ibu masak,)" jawabku pada emak yang dibalasnya dengan
senyum bangga padaku ala ibu-ibu di iklan susu SGM. Akupun mulai mengaji,
melanjutkan ayat yang kubaca setelah shalat ashar tadi. Semangatku untuk
membaca hatam ayat-ayat yang tertulis di Mushaf Al-Quran membuat waktu tak
terasa begitu cepatnya berlalu hingga seruan untuk menunaikan solat isya
berkumandang. Memang tak terasa, sampai-sampai tak terasa ada bau makanan yang
hadir atau tidak.
Aku yang mulai kelaparan
akhirnya menutup bacaan Mushaf Al-Quran dengan kalimat shadaqallahul ‘azhim dan kembali bertanya pada emak. "Mak..." panggilku
pada emak yang ternyata sudah tertidur pulas bersama adik kecilku. Tak sampai
hati aku untuk membangunkan emak yang terlihat sangat letih malam itu, akhirnya
kuputuskan untuk sholat terawih saja di masjid. Meski aku kelaparan, tapi
ibadah tetap harus di jalankan, bukan alasan.
Aku pun
berjalan ke arah masjid dengan langkah yang tak kalah semangat seperti
sebelumnya. Ku berlari dengan kedua kaki kecilku sambil menenteng sarung
pemberian almarhum ayahku 2 tahun lalu. Saat ku menyusuri jalan menuju ke masjid,
aku bertemu dengan pemuda yang nampaknya dari kerumunan yang sama seperti yang
kutemui saat membeli kolak.
"Bade
tarawehan dimana cep? (Mau
solat terawih dimana dik?)" tanya pemuda itu padaku. "Di masjid
itu a, anu alit palih ditu, (Di masjid kak, yang kecil di sebelah
sana,)" jawabku sambil terburu-buru karena tak mau ketinggalan sholat
berjamaah isya. "Di Masjid Unpad we atuh cep, aya kaemaman sakantenan
diditu mah, seueuran deuih resep cep (Di
masjid unpad saja dik, ada makanan juga kalau di sana, banyak orang pula pasti
seru,)" ajak pemuda tersebut padaku. "Moal ah a, di masjid anu
biasa we (Enggak deh kak, di
Masjid yang biasa saja,)" tolakku pada pemuda tersebut.
Aku pun
berlari meniggalkan pemuda tersebut yang tampak kebingungan denganku. Bisa saja
aku pergi ke masjid unpad dan mendapatkan makanan untuk menghapuskan rasa
laparku. Tapi bukan itu tujuanku pergi ke masjid, untuk solat! Tidak lebih
tidak kurang! Urusan makan itu perkara lain, aku heran dengan pemuda-pemudi itu
yang hanya pergi ke masjid untuk mendapat makanan. Kenapa tak pergi ke rumah
makan sekalian? Atau sekalian saja sholat terawih di rumah makan?
Entah apa
yang salah dengan muda-mudi itu, tapi yang jelas itu bukan urusanku. Urusanku
adalah urusanku dengan Tuhanku, yang ku tahu pergi ke masjid itu untuk
menghadap tuhan bukan untuk mendapat makanan. Ah sudahlah dari pada memikirkan
hal yang bukan dan tak akan menjadi urusanku, lebih baik aku pergi terawih
saja.