Sunday, October 30, 2016

Gara-gara Budek! (1)

Di suatu hari libur kuliah, aku lupa kapan tepatnya, yang jelas saat liburan kuliah. Aku dan tiga orang temanku melakukan hal terkonyol dalam hidupku, entah buat yang lain, tapi buatku itu benar-benar bodoh. Tak ada rencana, tak ada juga keinginan yang begitu sangat, semua terjadi begitu saja. Diawali sebuah kekonyolan yang teramat sangat.

Temanku yang rupanya mirip orang Ambon tapi bukan orang Ambon sedang asyik menyetel video dangdut koplo di Youtube. Entah bagaimana awalnya, tapi begitulah dia, dari Daft Punk, sampai alunan dangdut pantura masuk ke telinganya. Di tengah-tengah anggukan kepalanya yang nikmat, dan hentakan kakinya yang ikuti irama, tiba-tiba dia mengucapkan sesuatu yang menjadi awal mula kekonyolan kami sore itu.

Waduh asyik banget nih, apa lagi kalo pake jamu, mantep pasti,” ucapnya tiba-tiba. Jamu yang dia maksud adalah jamu memabukkan yang bisa kamu temukan di warung jamu manapun. Bisa intisari atau anggur merah, yang jelas murah dan bikin meriah. Aku yang waktu itu sedang tidak begitu fokus, dan mungkin memang sudah agak budek karena jarang membersihkan kotoran telinga, salah mendengar ucapannya.

Apaan? Jamur?” tanyaku spontan. “Bukan! Jamu, ah budek dah lo,” jawab teman agak ambonku. Sampai di sini perkara budek belum jadi biang masalah, sekadar bahan instrospeksi diri saja. Lagi-lagi aku salah dengar, sepertinya membersihkan telinga tak boleh terus menerus aku tinggalkan. Mungkin besok-besok aku harus lebih sering membeli cotton buds—yang padahal sebetulnya bukan alat yang tepat untuk membersihkan telinga, tapi di Indonesia, begitulah adanya.

Tiba-tiba saja, temanku yang lain menyahut, “Sabi sih, gue belum pernah nih.” Di sinilah semuanya dimulai! semua terjadi begitu cepat, begitu ganjil, dan tak terduga. Sahut-sahutan kami sore itu layaknya pertunjukan humor dengan naskah yang padu, tapi jujur saja, semua terjadi begitu saja. Jika kuingat-ingat, mungkin itu adalah cuplikan terkonyol seumur hidupku sejauh ini.

“Nah, ini gue ada kontak abang-abang yang jual nih, tapi gak ada pulsa,” ujar temanku yang lain. Teman yang satu ini sudah pernah mencoba jamur yang dari tadi kita bicarakan, mungkin sudah beberapa kali. Hanya berselang detik, satu kalimat penutup tiba-tiba terucap dari si Ambon tapi bukan Ambon. Kalimat yang menutup sahut-sahutan konyol itu, dan mengawali kegilaan kami di sebuah kamar kosan di suatu sudut Jatinangor.

“Gue ada pulsa nih!”

Semua kepala yang ada di kamar tiba-tiba terdiam sejenak. Aku tak tahu apa yang ada di tiap-tiap kepala itu, tapi setidaknya aku bisa beri tahu apa yang muncul di kepalaku. Kira-kira begini, “Ini akan menjadi sesuatu yang gila, aku belum pernah mencoba hal ini sebelumnya. Cerita soal jamur yang selama ini cuma legenda sebentar lagi akan kesampaian juga.”

Tiba-tiba aku ingat seorang teman dari masa pengabdian (atau pengasingan) di Pangandaran. Dia memberitahuku pengalamannya dengan jamur. Dia bilang itu pengalaman yang paling mengerikan buatnya. Dirinya hilang entah kemana, dia lupa apa yang dilakukannya. Tinggal luka-luka, dan sakit badan yang dia dapat setelah bangun.

Teman ini adalah seorang yang sudah cukup ahli di bidang ini. Jika dibandingkan dengan aku, aku mungkin baru sampai di fasenya ketika SMP atau SMA. Segala macam zat-zat terburuk sekalipun sudah pernah mampir dalam aliran darahnya. Kenyataan ini semakin membuatku gugup, akan seperti apa aku nanti? Seorang yang sudah lebih banyak pengalaman saja bisa hilang kontrol, apa lagi aku? Aku benar-benar gugup, takut, merasa bodoh, tapi juga bersemangat.

Setelah keheningan itu berakhir, kekonyolan tak terlupakan itu akhirnya berlanjut. Dikirimkanlah sms kepada sang saudagar, menanyakan ketersediaan si jamur yang dicari-cari. Sampai titik ini aku sempat masih tak percaya dan berharap ini tidak nyata. Semakin aku berharap demikian, semakin nyata kejadian ini. Tak lama berselang, si penjual membawa kabar baik. Dia sedang punya stok melimpah, tapi dalam bentuk jamur crispy, bukan dalam bentuk mentah.

Tak masalah, crispy atau mentah yang penting itu adalah jamur yang dicari-cari. Jamur penuh kejutan yang muncul dari hal mengejutkan pula: kotoran sapi! Ah, seketika itu aku tak peduli lagi dengan segala dosa, rasa takut, atau apapun yang bisa menghalangi terlaksananya hajat yang satu ini. Aku ingin segera merasakan bagaimana gilanya si jamur crispy.

Setelah sepakat soal harga dengan sang saudagar, dua temanku berangkat untuk menjemput sang jamur impian. Dua temanku yang berangkat adalah si empunya kontak dan si empunya pulsa, keduanya sudah lebih pro soal ini. Aku dan temanku yang masih debutan menunggu di kosan yang tak lama lagi, setelah kejadian ini, akan semakin tidak barokah untuk penghuni selanjutnya.

Mereka pergi saat menjelang maghrib, hanya beberapa saat sebelum adzan maghrib berkumandang. Keduanya akan menemui sang saudagar di sebuah tempat yang sangat terbuka di Jatinangor. Agak ketakutan sebenarnya aku mendengar hal itu, semua bisa terjadi, bahkan bisa saja sang saudagar kali ini sedang berkirim pesan dengan kami dari balik jeruji. Alih-alih jual beli, malah adu nyali dengan risiko mendekam di balik jeruji.

Rasa takut itu kian muncul, adzan maghrib mengambang di antara perasaan yang semrawut dan campur aduk. Bayangan dosa, penjara, gila, sapi, kotoran, dan jamur, semuanya berpeluk dalam satu pangkuan perasaan yang aneh. Perasaan yang mungkin cuma aku yang bisa rasakan, tak bisa kugambarkan dengan baik, meskipun aku sangat ingin.

Aku dan temanku yang sama-sama debutan cuma saling tatap, sedikit berbincang, kadang juga bercanda. Aku tahu semua itu cuma akal-akalan rasionalitas kami berdua yang sama-sama gugup. Kami berdua tahu akan berhadapan dengan sesuatu yang benar-benar baru dan tak terbayangkan. Memang banyak referensi soal ini, tapi kami belum pernah berjumpa dengannya.

“Bagaimana bentuknya? Mengapa bisa seajaib itu sampai orang menamainya magic shroom. Bagaimana rasanya?” tanyaku dalam hati. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkembang dan menjadi-jadi. Kami tahu kami berdua sedang mengobrol, tapi kami tahu otak kami sedang tak berfokus dalam obrolan. Kami berdua memikirkan hal yang sama, dengan cara yang berbeda, di balik obrolan yang sama.

Batang demi batang rokok kami habiskan untuk menikmati menunggu yang tidak ada nikmatnya sama sekali itu. Tiap hisapan rokok itu cuma semakin mengajak kami memikirkan si jamur ajaib ini. Untuk sekian waktu yang entah berapa lama, tak kunjung ada kabar yang muncul dari teman-teman kami di luar sana. Jujur, aku mulai panik.

Kalau sampai benar ini adalah jebakan, kami harus bersiap dengan iring-iringan sirine dan polisi yang akan menciduk kami tanpa ampun. Mungkin yang tersisa hanyalah isapan jempol belaka. Di balik dinding penjara yang dingin dan sunyi, di hadapan sipir-sipir tengik. Empat pemuda tertangkap akibat salah satunya budek. Konyol sekali.