Saturday, March 12, 2016

Ragam Rasa dan Cerita Secangkir Kopi



Dalam secangkir kopi terdapat sejuta cerita. Rasa yang tersaji dalam setiap lekuk cangkir kopi menawarkan berbagai cerita yang berbeda-beda. Di Indonesia sendiri, kopi bukanlah barang baru. Masyarakat Indonesia telah terbiasa mengonsumsi kopi sejak lama.

Budaya meminum kopi sudah ada di berbagai daerah di Indonesia. Budaya minum kopi di Belitung misalnya, kedai kopi di sana selalu ramai meski warungnya kecil. Kedai kopi menjadi sarana pertukaran informasi dan bersosialisasi.

Seto Nurseto, Antopolog Makanan dan Kebudayaan lulusan Universitas Padjadjaran mengatakan, sebenarnya kopi pertama kali di bawa ke Indonesia oleh Belanda. Kopi sendiri sebenarnya datang dari Afrika.

“Kebiasaan minum kopi sudah ada sejak kolonial membawa kopi ke indonesia. Aslinya, kopi tanaman afrika, dibawa ke sini oleh Belanda. Kebun kopi, kebun karet, kebun teh, itu belanda,” jelasnya.

Seto menjelaskan, pada masa kolonial penjajah membawa kopi arabica dan menyisakan kopi robusta untuk masyarakat Indonesia. Maka tak heran, kopi-kopi tradisional di Indonesia menggunakan kopi robusta. Contohnya kopi Aceh, Pontianak, dan Belitung, semua menggunakan robusta.

Tiap-tiap kebudayaan minum kopi punya cara penyajian yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bergantung pada karakteristik budayanya masing-masing. Cara penyajian kopi yang umum ditemui di Indonesia, terutama di pulau Jawa, adalah dengan cara tubruk.

Beda lagi dengan Aceh yang terkenal dengan kopi tariknya. Penyajiannya menggunakan saringan panjang seperti kaus kaki. Mirip dengan kopi pancung di Pontianak, bedanya saringan yang digunakan di Aceh lebih panjang.

Dengan perkembangan teknologi dan informasi, kopi mulai mengalami perubahan di mata masyarakat Indonesia. Dari konsep kedai kopi hingga cara meminumnya pun mulai berubah. Masyarakat tidak lagi hanya mengonsumsi kopi robusta dengan proses penyajian yang sederhana.

Saat ini, orang sudah mulai mengenal beragam cara penyajian kopi yang berasal dari luar negeri. Tak sedikit orang yang sudah tidak canggung meminum secangkir espresso atau capucinno. Orang-orang mulai melirik kedai kopi modern, tak lagi kedai kopi tradisional.

“Karena mulai tren dunia di tahun 2010-an lah, orang-orang mulai mengenal kopi. Dulunya cuma kopi tubruk di indonesia, kopi, air panas, diaduk. Kemudian, orang mulai kenal espresso, french press, mocca pot, V60. Sebenarnya, itu yang membuat coffee shop saat ini jadi menarik,” jelas Seto.

Tren kedai kopi modern mulai menjamur di Indonesia saat ini, tak terkecuali untuk daerah Bandung. Beragam kedai kopi yang menawarkan cara penyajian kopi modern mulai membanjiri dunia usaha kuliner Bandung.

KOPI PANCUNG PONTIANAK

Made Mahardika menyajikan kopi pancung di kedai Ngopilok.

Meski kedai kopi modern mulai mendominasi, tak berarti kedai kopi tradisional terpental dari dunia usaha kopi. Masih ada kedai kopi tradisional yang menawarkan suasana sederhana di Bandung.

Salah satunya adalah kedai kopi Ngopilok yang berlokasi di Jl. Surapati No. 235 Bandung. Kedai kopi ini menyajikan kopi pancung khas Pontianak. Ukuran kedainya memang tidak besar, tapi kedai kopi ini mampu membayarkan  rasa rindu pengunjung akan kopi pancung.

Teko berwarna keemasan berbahan tembaga dengan leher panjang duduk nyaman di atas dandang  yang berisi air mendidih. Di dalam teko, terdapat kopi robusta yang tengah dihangatkan. Hingga pesanan datang, kopi akan tetap hangat di dalam teko tersebut.

Ketika dikucurkan, aroma kopi robusta asli pontianak langsung masuk ke hidung. Kopi berwarna hitam kemerahan itu seakan tak sabar ingin segera melewati kerongkongan. Disajikan dalam cangkir besi kecil, kopi pancung siap menggoyang indra perasa.

Rasa pahitnya mendominasi mulut, seperti robusta pada umumnya. Bagi yang suka rasa manis, bisa tambahkan gula secukupnya. Tapi untuk menikmati rasa asli kopinya, pemakaian gula tidak disarankan. Citarasa sesungguhnya akan muncul saat kopi tidak dicampur apapun.

Ukuran cangkir kopi pancung  yang kecil rupanya punya cerita sendiri. Made Mahardika, pemilik kedai kopi Ngopilok bercerita dulunya kopi pancung dibuat untuk para buruh. Karena harganya yang mahal, ukurannya dipangkas menjadi setengah agar bisa dibeli para buruh.

“Penjual kopi yang mayoritas orang tionghoa waktu itu, nah mereka inisiatif memangkas si ukuran penyajian asli jadi setengah. Supaya si buruh bisa menikmati kopi, dengan murah,” kata Made.

Kecintaan dan rasa rindu terhadap suasana minum kopi pancung di pontianak mendorongnya membuat kedai kopi di Bandung. Suasana dengan secangkir kopi yang menemani sampai pagi menjelang. Tanpa sekat golongan sosial dan internet yang memisahkan.

“Orang harusnya bisa ngopi murah, sekalian bisa ngobrol, bisa tukar pikiran, tukar informasi. DI pontianak itu dari pejabat sampe orang biasa duduk di satu warung kopi, gak ada batasan siapa yang kaya dan siapa yang miskin, saling tukar informasi ketika udah satu meja dan satu ada kopi semua sama,” tutur pria lulusan Universitas Padjadjaran ini.

Secangkir kopi pancung dihargai Rp5.000, bila mau menggunakan susu anda cukup menambah Rp2.000. Kopi pancung cocok untuk jadi teman mengobrol bersama teman-teman semalaman. Karakter robusta yang tidak berubah rasanya meski sudah didiamkan lama menjadi alasannya.

“Robusta, mau dia baru dibikin, mau dua jam, tiga jam setelahnya, rasanya tetep sama, tidak ada waktu maksimal seperti arabica,” tambah pria yang memulai usahanya sejak September 2015 itu.

KOPI GAYO ACEH

Saputra Ekonadi (putra) sedang melakukan pemanggangan biji kopi di Red Long Gayo Coffee.


Selain Pontianak, beberapa daerah lain seperti Wamena, Aceh, dan Toraja juga terkenal dengan kopinya. Aceh selain terkenal dengan kopi saringnya, juga terkenal karena biji kopi khasnya. Salah satu kopi terkenal dari aceh adalah kopi Gayo.

Kopi Gayo adalah kopi Arabica yang dihasilkan dari perkebunan kopi di dataran tinggi Gayo, Aceh. Tingginya berada di antara 1.000-1.700 di atas permukaan laut. Citarasanya yang khas membuatnya dikenal bangsa Eropa sejak dulu.

Di Bandung ada juga kedai kopi yang menggunakan kopi Gayo. Namanya kedai kopi Red Long Gayo Coffee. Berlokasi di Jl. Teuku Umar No. 1/60, Sekeloa, Coblong, Bandung. Kedai Red Long menggunakan kopi specialty dari Gayo, Aceh.

Saputra Ekonadi (Putra) pemilik kedai kopi Red Long mengatakan, kopi yang ia gunakan dipetik langsung dari kebun keluarganya di Gayo. Kopi Red Long sendiri medapat nilai cupping test di atas 85 dari SCEAE (Specialty Coffee Association of Europe).

Red Long Gayo Coffe menyajikan kopi dengan cara penyajian yang beragam, dari mulai tubruk, espresso, hingga drip v60. Semua sajian kopinya menggunakan kopi Arabica dari Gayo. Tak hanya itu, Red Long juga menjual kopi dalam bentuk green bean, dan bubuk kopi.

Di kedai kopi ini juga terdapat mesin roasting yang bisa membuat anda melihat langsung proses pemanggangan kopi. Saat proses pemanggangan dimulai, seisi ruangan langsung dipenuhi aroma kopi yang kuat. Suasana yang semakin menambah gairah meminum kopi.

Secangkir kopi Red Long bisa membuat anda ketagihan. Kopi yang disajikan dengan metode drip V60 dari mereka misalnya, tak akan membuat anda berhenti pada tuangan pertama. Rasanya yang tebal saat memasuki mulut memberi sebuah kenikmatan tersendiri.

“Ini V60, pakai filter, kalau ketagihan saya gak tanggung jawab ya,” kelakar pria yang juga seorang musisi metal ini.

Ketika mulai diseruput, seisi mulut langsung dipenuhi dengan rasa asam dari khas kopi arabica. Menyenangkan membiarkan kopi tersebut melewati tiap lekuk mulut. Setelah melewati tenggorokan, rasa pahit yang pas langsung tertinggal di pangkal lidah. Tak ada rasa lengket yang tertinggal di tenggorokan.

Rasa kopi gayo yang khas tersebut diakui Putra, didapatkan dari proses pengolahan kopinya. Dari mulai dipetik di kebun hingga ditungkan ke cangkir, semua harus dilakukan dengan baik.

“Pemetikan, pick up, fermentasi, pulping, fermentasi, cooling, baru proses penjemurannya bagaimana, jadi tidak asal jemur di lantai, ada aturannya,” jelas pria yang dalam sehari mengaku bisa meminum 15-20 gelas kopi dalam sehari tersebut.

Rasa Kopi Gayo yang nikmat dipercaya muncul karena dipetik dari perkebunan di dataran tinggi. Jika anda berkunjung ke dataran tinggi Gayo, sejauh mata memandang anda akan menemukan kebun kopi di mana-mana.

KOPI JAWA BARAT



Tak hanya Aceh yang punya dataran tinggi penghasil kopi. Di Jawa Barat sendiri juga banyak perkebunan kopi di dataran tinggi yang tersebar di berbagai daerah seperti Subang, Pengalengan, Garut dan Sumedang. Dalam beberapa tahun terakhir kualitas kopi Jawa Barat memang mulai diakui, harganya pun mulai melonjak.

Kualitas kopi Jawa Barat yang mulai diakui juga membuat pengusaha kopi lokal mulai melirik mereka. Seperti halnya kedai kopi Morning Glory Coffee. Morning Glory Coffee yang sampai saat ini sudah punya delapan cabang, selalu menggunakan kopi dari tanah Jawa barat.

Morning Glory Coffee sendiri ternyata bukan pemain baru di dunia kopi Jawa Barat. Pemiliki Morning Glory Coffee bernama Natanael Charis ternyata adalah salah satu orang pertama yang berusaha mendongkrak kualitas kopi Jawa Barat.

Dulunya Nael, sapaan akrabnya, berprofesi sebagai fotografer. Ia mengaku dulunya ia bukan peminum kopi, barulah saat ia berkunjung ke Eropa ia mulai jatuh cinta pada kopi. Sepanjang 2002 sampai 2006 ia mulai mendalami dunia kopi di luar negeri, di Italia dan Australia.

Tahun 2004 ia benar-benar meninggalkan dunia fotografi, dan semakin serius dengan kopi. Setelah merasa memiliki pengetahuan yang cukup soal kopi. Pada tahun 2006 ia mencoba mengedukasi petani di daerah Jawa Barat. Perlu waktu dua tahun sampai akhirnya para petani mau mendengarkannya.

Pada tahun 2008, ia bersama Dinas Perkebunan mulai mengedukasi para petani di daerah Pengalengan. Ia mengakui saat pertama kali ia datang, kualitas kopi di sana sangat buruk. Perubahan mulai terasa setelah ia mulai mengajarkan ilmu yang ia punya kepada petani kopi di sana.

“Kita ajarin, kasih knowledge, kita kasih workshop, kasih tahu cara berkebun yang benar, setelah petik harus seperti apa,” ujar pria yang punya sertifikat Authorized Trainer dari SCAE.

“tahun 2009 mereka mulai ekspor ke Australia, terakhir mereka bisa ekspor itu tahun 1924. Tahun 2008 Rp18.000, 2009 naik dua kali lipat jadi Rp38.500, dan sekarang di sana kopi paling murah itu harganya Rp70.000 satu kilogram,” tambahnya.

Morning Glory Coffee sampai saat ini hanya menggunakan kopi Jawa Barat. Nael beralasan, dengan cara seperti itu, tiap kali ada gerai baru yang dibuka, dia telah menolong satu petani kopi baru di Jawa Barat. Ciri khas kopi di Jawa Barat sendiri kuat dengan rasa asam buah-buahan tropisnya.

“Ini kopi yang sedang kita gunakan kopinya dari Subang, rasanya lebih ke fruitty,” ujarnya saat ditemui ditengah-tengah soft launching Morning Glori Coffee Kesatriaan di Jl. Kesatriaan No. 14 Bandung.

Secangkir espresso yang disajikan di Morning Glory Coffee sangat kuat dengan rasa buah-buahan. Begitu dihirup, aroma asam buah tropis dan dark chocolate langsung menyeruak ke dalam hidung. Dalam sesapan pertama rasa asam nanas yang dominan langsung memenuhi mulut, diikuti rasa dark chocolate yang muncul belakangan.

Rasa unik dari setiap cangkir kopi tak lepas dari semua proses yang dilaluinya. Nael mengatakan seorang barista harus mengenal kopinya dengan baik, bahkan dari mulai proses di kebun. Kemudian barista harus paham langkah dalam proses selanjutnya agar rasa terbaik dari kopi bisa muncul.

“Buat saya, kopi itu seperti selembar kertas kosong. Saat lihat kebun kopi, saya langsung apa yang harus dilakukan dengan kopinya. Setelah cicip, langsung berpikir bisa dibagaimakanan kopinya. Langsung kasih tau petani soal pupuknya, terusnya metiknya, kemudian komunikasi juga dengan roaster,” jelas pria penyuka espresso tersebut.

“Barista, dia harus belajar, kaya penikmat, di harus tahu, kasar atau halusnya, berapa lama, berapa tekanan, saya bisa bikin tastenya lebih pait, lebih asem, bisa lebih kaya teh,” tambahnya.


Sejak pertama kali buka di tahun 2004, Morning Glory Coffe sudah punya 8 kedai yang tersebar di Jakarta (Pondok Indah Mall), Medan, dan Bandung. Selain kedai kopi, sejak tahun 2012, Nael juga mulai membuka Morning Glory Academy di Setrasari Mall, Jl. Surya Sumantri, Bandung.