Dalam secangkir kopi terdapat
sejuta cerita. Rasa yang tersaji dalam setiap lekuk cangkir kopi menawarkan
berbagai cerita yang berbeda-beda. Di Indonesia sendiri, kopi bukanlah barang
baru. Masyarakat Indonesia telah terbiasa mengonsumsi kopi sejak lama.
Budaya meminum kopi sudah ada di
berbagai daerah di Indonesia. Budaya minum kopi di Belitung misalnya, kedai
kopi di sana selalu ramai meski warungnya kecil. Kedai kopi menjadi sarana
pertukaran informasi dan bersosialisasi.
Seto Nurseto, Antopolog Makanan
dan Kebudayaan lulusan Universitas Padjadjaran mengatakan, sebenarnya kopi
pertama kali di bawa ke Indonesia oleh Belanda. Kopi sendiri sebenarnya datang
dari Afrika.
“Kebiasaan minum kopi sudah ada
sejak kolonial membawa kopi ke indonesia. Aslinya, kopi tanaman afrika, dibawa
ke sini oleh Belanda. Kebun kopi, kebun karet, kebun teh, itu belanda,”
jelasnya.
Seto menjelaskan, pada masa
kolonial penjajah membawa kopi arabica dan menyisakan kopi robusta untuk
masyarakat Indonesia. Maka tak heran, kopi-kopi tradisional di Indonesia
menggunakan kopi robusta. Contohnya kopi Aceh, Pontianak, dan Belitung, semua
menggunakan robusta.
Tiap-tiap kebudayaan minum kopi
punya cara penyajian yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bergantung pada
karakteristik budayanya masing-masing. Cara penyajian kopi yang umum ditemui di
Indonesia, terutama di pulau Jawa, adalah dengan cara tubruk.
Beda lagi dengan Aceh yang
terkenal dengan kopi tariknya. Penyajiannya menggunakan saringan panjang
seperti kaus kaki. Mirip dengan kopi pancung di Pontianak, bedanya saringan
yang digunakan di Aceh lebih panjang.
Dengan perkembangan teknologi dan
informasi, kopi mulai mengalami perubahan di mata masyarakat Indonesia. Dari
konsep kedai kopi hingga cara meminumnya pun mulai berubah. Masyarakat tidak
lagi hanya mengonsumsi kopi robusta dengan proses penyajian yang sederhana.
Saat ini, orang sudah mulai
mengenal beragam cara penyajian kopi yang berasal dari luar negeri. Tak sedikit
orang yang sudah tidak canggung meminum secangkir espresso atau capucinno.
Orang-orang mulai melirik kedai kopi modern, tak lagi kedai kopi tradisional.
“Karena mulai tren dunia di tahun
2010-an lah, orang-orang mulai
mengenal kopi. Dulunya cuma kopi tubruk di indonesia, kopi, air panas, diaduk.
Kemudian, orang mulai kenal espresso,
french press, mocca pot, V60. Sebenarnya,
itu yang membuat coffee shop saat ini
jadi menarik,” jelas Seto.
Tren kedai kopi modern mulai menjamur di Indonesia saat ini,
tak terkecuali untuk daerah Bandung. Beragam kedai kopi yang menawarkan cara
penyajian kopi modern mulai membanjiri dunia usaha kuliner Bandung.
KOPI PANCUNG PONTIANAK
Made Mahardika menyajikan kopi pancung di kedai Ngopilok. |
Meski kedai kopi modern mulai
mendominasi, tak berarti kedai kopi tradisional terpental dari dunia usaha kopi. Masih ada kedai kopi tradisional yang
menawarkan suasana sederhana di Bandung.
Salah satunya adalah kedai kopi
Ngopilok yang berlokasi di Jl. Surapati No. 235 Bandung. Kedai kopi ini
menyajikan kopi pancung khas Pontianak. Ukuran kedainya memang tidak besar,
tapi kedai kopi ini mampu membayarkan
rasa rindu pengunjung akan kopi pancung.
Teko berwarna keemasan berbahan
tembaga dengan leher panjang duduk nyaman di atas dandang yang berisi air mendidih. Di dalam teko,
terdapat kopi robusta yang tengah dihangatkan. Hingga pesanan datang, kopi akan
tetap hangat di dalam teko tersebut.
Ketika dikucurkan, aroma kopi
robusta asli pontianak langsung masuk ke hidung. Kopi berwarna hitam kemerahan
itu seakan tak sabar ingin segera melewati kerongkongan. Disajikan dalam
cangkir besi kecil, kopi pancung siap menggoyang indra perasa.
Rasa pahitnya mendominasi mulut,
seperti robusta pada umumnya. Bagi yang suka rasa manis, bisa tambahkan gula
secukupnya. Tapi untuk menikmati rasa asli kopinya, pemakaian gula tidak
disarankan. Citarasa sesungguhnya akan muncul saat kopi tidak dicampur apapun.
Ukuran cangkir kopi pancung yang kecil rupanya punya cerita sendiri. Made
Mahardika, pemilik kedai kopi Ngopilok bercerita dulunya kopi pancung dibuat untuk
para buruh. Karena harganya yang mahal, ukurannya dipangkas menjadi setengah
agar bisa dibeli para buruh.
“Penjual kopi yang mayoritas
orang tionghoa waktu itu, nah mereka inisiatif memangkas si ukuran penyajian
asli jadi setengah. Supaya si buruh bisa menikmati kopi, dengan murah,” kata
Made.
Kecintaan dan rasa rindu terhadap
suasana minum kopi pancung di pontianak mendorongnya membuat kedai kopi di
Bandung. Suasana dengan secangkir kopi yang menemani sampai pagi menjelang.
Tanpa sekat golongan sosial dan internet yang memisahkan.
“Orang harusnya bisa ngopi murah,
sekalian bisa ngobrol, bisa tukar pikiran, tukar informasi. DI pontianak itu
dari pejabat sampe orang biasa duduk di satu warung kopi, gak ada batasan siapa yang kaya dan siapa yang miskin, saling tukar
informasi ketika udah satu meja dan satu ada kopi semua sama,” tutur pria
lulusan Universitas Padjadjaran ini.
Secangkir kopi pancung dihargai
Rp5.000, bila mau menggunakan susu anda cukup menambah Rp2.000. Kopi pancung
cocok untuk jadi teman mengobrol bersama teman-teman semalaman. Karakter
robusta yang tidak berubah rasanya meski sudah didiamkan lama menjadi
alasannya.
“Robusta, mau dia baru dibikin,
mau dua jam, tiga jam setelahnya, rasanya tetep sama, tidak ada waktu maksimal
seperti arabica,” tambah pria yang memulai usahanya sejak September 2015 itu.
KOPI GAYO ACEH
Saputra Ekonadi (putra) sedang melakukan pemanggangan biji kopi di Red Long Gayo Coffee. |
Selain Pontianak, beberapa daerah
lain seperti Wamena, Aceh, dan Toraja juga terkenal dengan kopinya. Aceh selain
terkenal dengan kopi saringnya, juga terkenal karena biji kopi khasnya. Salah
satu kopi terkenal dari aceh adalah kopi Gayo.
Kopi Gayo adalah kopi Arabica
yang dihasilkan dari perkebunan kopi di dataran tinggi Gayo, Aceh. Tingginya
berada di antara 1.000-1.700 di atas permukaan laut. Citarasanya yang khas
membuatnya dikenal bangsa Eropa sejak dulu.
Di Bandung ada juga kedai kopi
yang menggunakan kopi Gayo. Namanya kedai kopi Red Long Gayo Coffee. Berlokasi
di Jl. Teuku Umar No. 1/60, Sekeloa, Coblong, Bandung. Kedai Red Long
menggunakan kopi specialty dari Gayo, Aceh.
Saputra Ekonadi (Putra) pemilik
kedai kopi Red Long mengatakan, kopi yang ia gunakan dipetik langsung dari
kebun keluarganya di Gayo. Kopi Red Long sendiri medapat nilai cupping test di
atas 85 dari SCEAE (Specialty Coffee Association of Europe).
Red Long Gayo Coffe menyajikan
kopi dengan cara penyajian yang beragam, dari mulai tubruk, espresso, hingga drip v60. Semua sajian kopinya
menggunakan kopi Arabica dari Gayo. Tak hanya itu, Red Long juga menjual kopi
dalam bentuk green bean, dan bubuk
kopi.
Di kedai kopi ini juga terdapat
mesin roasting yang bisa membuat anda melihat langsung proses pemanggangan
kopi. Saat proses pemanggangan dimulai, seisi ruangan langsung dipenuhi aroma
kopi yang kuat. Suasana yang semakin menambah gairah meminum kopi.
Secangkir kopi Red Long bisa
membuat anda ketagihan. Kopi yang disajikan dengan metode drip V60 dari mereka misalnya, tak akan membuat anda berhenti pada
tuangan pertama. Rasanya yang tebal saat memasuki mulut memberi sebuah
kenikmatan tersendiri.
“Ini V60, pakai filter, kalau
ketagihan saya gak tanggung jawab ya,” kelakar pria yang juga seorang musisi
metal ini.
Ketika mulai diseruput, seisi
mulut langsung dipenuhi dengan rasa asam dari khas kopi arabica. Menyenangkan
membiarkan kopi tersebut melewati tiap lekuk mulut. Setelah melewati
tenggorokan, rasa pahit yang pas langsung tertinggal di pangkal lidah. Tak ada
rasa lengket yang tertinggal di tenggorokan.
Rasa kopi gayo yang khas tersebut
diakui Putra, didapatkan dari proses pengolahan kopinya. Dari mulai dipetik di
kebun hingga ditungkan ke cangkir, semua harus dilakukan dengan baik.
“Pemetikan, pick up, fermentasi, pulping,
fermentasi, cooling, baru proses
penjemurannya bagaimana, jadi tidak asal jemur di lantai, ada aturannya,” jelas
pria yang dalam sehari mengaku bisa meminum 15-20 gelas kopi dalam sehari
tersebut.
Rasa Kopi Gayo yang nikmat
dipercaya muncul karena dipetik dari perkebunan di dataran tinggi. Jika anda
berkunjung ke dataran tinggi Gayo, sejauh mata memandang anda akan menemukan
kebun kopi di mana-mana.
KOPI JAWA BARAT
Tak hanya Aceh yang punya dataran
tinggi penghasil kopi. Di Jawa Barat sendiri juga banyak perkebunan kopi di
dataran tinggi yang tersebar di berbagai daerah seperti Subang, Pengalengan,
Garut dan Sumedang. Dalam beberapa tahun terakhir kualitas kopi Jawa Barat
memang mulai diakui, harganya pun mulai melonjak.
Kualitas kopi Jawa Barat yang
mulai diakui juga membuat pengusaha kopi lokal mulai melirik mereka. Seperti
halnya kedai kopi Morning Glory Coffee. Morning Glory Coffee yang sampai saat
ini sudah punya delapan cabang, selalu menggunakan kopi dari tanah Jawa barat.
Morning Glory Coffee sendiri
ternyata bukan pemain baru di dunia kopi Jawa Barat. Pemiliki Morning Glory
Coffee bernama Natanael Charis ternyata adalah salah satu orang pertama yang
berusaha mendongkrak kualitas kopi Jawa Barat.
Dulunya Nael, sapaan akrabnya,
berprofesi sebagai fotografer. Ia mengaku dulunya ia bukan peminum kopi,
barulah saat ia berkunjung ke Eropa ia mulai jatuh cinta pada kopi. Sepanjang
2002 sampai 2006 ia mulai mendalami dunia kopi di luar negeri, di Italia dan
Australia.
Tahun 2004 ia benar-benar
meninggalkan dunia fotografi, dan semakin serius dengan kopi. Setelah merasa
memiliki pengetahuan yang cukup soal kopi. Pada tahun 2006 ia mencoba
mengedukasi petani di daerah Jawa Barat. Perlu waktu dua tahun sampai akhirnya
para petani mau mendengarkannya.
Pada tahun 2008, ia bersama Dinas
Perkebunan mulai mengedukasi para petani di daerah Pengalengan. Ia mengakui
saat pertama kali ia datang, kualitas kopi di sana sangat buruk. Perubahan
mulai terasa setelah ia mulai mengajarkan ilmu yang ia punya kepada petani kopi
di sana.
“Kita ajarin, kasih knowledge,
kita kasih workshop, kasih tahu cara berkebun yang benar, setelah petik harus
seperti apa,” ujar pria yang punya sertifikat Authorized Trainer dari SCAE.
“tahun 2009 mereka mulai ekspor ke
Australia, terakhir mereka bisa ekspor itu tahun 1924. Tahun 2008 Rp18.000,
2009 naik dua kali lipat jadi Rp38.500, dan sekarang di sana kopi paling murah
itu harganya Rp70.000 satu kilogram,” tambahnya.
Morning Glory Coffee sampai saat
ini hanya menggunakan kopi Jawa Barat. Nael beralasan, dengan cara seperti itu,
tiap kali ada gerai baru yang dibuka, dia telah menolong satu petani kopi baru di
Jawa Barat. Ciri khas kopi di Jawa Barat sendiri kuat dengan rasa asam
buah-buahan tropisnya.
“Ini kopi yang sedang kita
gunakan kopinya dari Subang, rasanya lebih ke fruitty,” ujarnya saat ditemui ditengah-tengah soft launching Morning Glori Coffee Kesatriaan di Jl. Kesatriaan
No. 14 Bandung.
Secangkir espresso yang disajikan
di Morning Glory Coffee sangat kuat dengan rasa buah-buahan. Begitu dihirup,
aroma asam buah tropis dan dark chocolate
langsung menyeruak ke dalam hidung. Dalam sesapan pertama rasa asam nanas yang
dominan langsung memenuhi mulut, diikuti rasa dark chocolate yang muncul
belakangan.
Rasa unik dari setiap cangkir
kopi tak lepas dari semua proses yang dilaluinya. Nael mengatakan seorang
barista harus mengenal kopinya dengan baik, bahkan dari mulai proses di kebun.
Kemudian barista harus paham langkah dalam proses selanjutnya agar rasa terbaik
dari kopi bisa muncul.
“Buat saya, kopi itu seperti
selembar kertas kosong. Saat lihat kebun kopi, saya langsung apa yang harus
dilakukan dengan kopinya. Setelah cicip, langsung berpikir bisa dibagaimakanan
kopinya. Langsung kasih tau petani soal pupuknya, terusnya metiknya, kemudian
komunikasi juga dengan roaster,” jelas pria penyuka espresso tersebut.
“Barista, dia harus belajar, kaya
penikmat, di harus tahu, kasar atau halusnya, berapa lama, berapa tekanan, saya bisa
bikin tastenya lebih pait, lebih asem, bisa lebih kaya teh,” tambahnya.
Sejak pertama kali buka di tahun 2004, Morning Glory
Coffe sudah punya 8 kedai yang tersebar di Jakarta (Pondok Indah Mall), Medan,
dan Bandung. Selain kedai kopi, sejak tahun 2012, Nael juga mulai membuka
Morning Glory Academy di Setrasari Mall, Jl. Surya Sumantri, Bandung.