Wednesday, February 3, 2016

Kalender Daging Ayam

Hari ini aku tak pulang malam, aku pikir setoran beritaku hari ini sudah cukup buat gaji bulan depan. Beberapa teman bantu aku hari ini dengan kiriman tulisan mereka. Cukup untuk penuhi target 5 berita satu hari.

Semua orang baik hari ini, aku terbantu oleh mereka. Tapi  Mas Hendro yang paling baik. Dia beri aku Rp50.000. Lumayan buat isi bensin motor kreditan yang tinggal satu garis.

Aku dan Mas Hendro sebenarnya bekerja di media yang sama, hanya beda nasib saja. Dia rajin cari iklan, aku tidak. Bukan tidak rajin, tapi aku rasa aku tidak bisa cari iklan.

Aku pikir kalau aku disuruh menjual pelet ikan ke peternak ikan yang sedang butuh saja aku tak bisa. Akan seperti berjualan pelet ikan ke peternak sapi. Sulit sekali.

Media tempatku bekerja bolehkan wartawan kontributor mencari iklan. Sebagai tambahan pemasukan katanya. Brengsek memang si empunya ini media, dia lacurkan profesiku dengan mengharuskan aku berjualan iklan.

Meskipun dia bilang wartawan cuma buka jalan, yang maju nanti orang marketing, tetap  saja buat aku yang tidak bisa cari iklan, ini menyulitkan. Ah sudahlah, rejeki sudah ada yang atur.

Ngomong-ngomong soal Mas Hendro, dia juga bukan wartawan yang hebat-hebat amat sebenarnya. Dia dulu bekerja di media yang tak jauh beda dengan aku, sama-sama dapat uang dibawah UMR. Untungnya, dia punya istri yang anak Camat. Tak perlu kerja juga sudah pasti kena ciprat uang terus.

Karena dia kaya, dia sering kasih duit ke wartawan lain. Makanya mereka semua manut sama dia. Kadang dia gak perlu ke lapangan, tapi dapat berita sampai tiga halaman. Si brengsek ini memang beruntung.

Oiya, si Hendro ini dulu pernah gabung semacam organisasi wartawan idealis. Tapi semenjak kenal jualan iklan, dan ternyata dia berbakat, dia ditendang dari sana. Mungkin mengotori idealisme mereka. Padahal, di lapangan mereka  sering minta kena basah juga.

Sebelum pulang, redakturku si Surya bilang, “Kalau dapat lagi, bagi dua lagi ya.” Si bangsat memang, selalu mau kena basah, padahal gajinya sebulan sudah kena Rp9 juta. Masih saja ganggu rejeki orang.

Kemarin aku memang baru dapat duit gede. Gak sengaja ketemu pak Alfred, pengusaha batu bara dari Cirebon. Dia kasih aku Rp10 juta. Padahal niatnya mau coba tawarkan iklan disuruh si Surya, eh dia bilang, “Saya gak perlu iklan, produk saya gak perlu iklan, ambil aja ini kamu, saya tahu kamu butuh.”

Dia memang turunan cina kaya, tapi untungnya dia baik sama aku. Gara-gara dulu pernah aku tahan berita soal pajaknya dia yang nunggak besar. Tapi, uang sebanyak itu aku tak sanggup pegang. Takut dosanya, kalau hanya seratus dua ratus pasti aku ambil.

Aku bawa saja uang itu ke kantor. Aku bilang ke Kepala Biroku, aku dapat uang tapi tak mau simpan uang itu, terlalu besar, aku tak mau. Eh, dia malah bilang, “Ah kamu ini, jadi orang jujur-jujur amat sih.” Aku heran dengan si bos ini, dia bilang jadi wartawan harus idealis, tapi kalau sudah begini dia jadi materialistis.

“Yasudah kalau tak mau, aku pakai untuk operasional kantor saja ya, ini ambil saja lah buat kamu,” katanya sambil sodorkan uang Rp3 juta ke padaku. Ya sudahlah, uang segitu tak gede-gede amat, pasti Tuhan juga paham.

Nah ini, baru saja aku mau pakai uang itu untuk bayar ini itu, eh si setan Surya telpon.

“Dapet berapa jadinya dari si Alfred? Jadi kan bagi setengah-setengah?”

Ingin aku pacul muka si Surya. Tak ada janji apa-apa, tau-tau minta. Tapi mau bagaimana lagi, kalau gak dikasih nanti dia berulah. Kalau sudah berulah, tulisanku sering jadi korban. Pasti tak akan dikirim ke Jakarta, bahkan dibacapun tidak.

Akhirnya aku cuma ambil Rp1,5 juta. Biarlah, rejeki sudah ada yang atur. Itupun habis untuk kenyangkan orang bank yang minta aku buru-buru bayar cicilan rumah.

Dunia ini memang gila, dan yang lebih gila ya memang aku. Kenapa aku mau-maunya jadi kontributor di biro daerah seperti ini. Gaji kecil, tak ada tunjangan, kalau sakit aku yang tanggung, duit cekak. Yah, aku mungkin berada di urutan teratas orang bodoh di dunia.

Tapi aku masih untung tak sebodoh si Yusuf. Dia penjilat yang selalu gagal. Dia si bangsat lainnya dengan muka dua. Selalu ingin terlihat baik di depan si bos, tapi omongannya di belakang sudah sampai ke tiap-tiap telinga orang di kantor.

Kadang-kadang aku kasihan sama dia. Baru cerai, tak punya rumah, ah kasihan lah pokoknya. Belum lagi di kantor, tak ada yang mau ngobrol dengan dia. Habisnya, mulutnya itu, aduh, ingin kusumbat dengan botol kecap kalau bisa. Selalu ingin adu domba orang. Kalau ada lowongan panitia adu bagong di kampungku, ingin aku daftarkan dia.

Ah tampaknya aku terlalu banyak bercerita soal orang. Lama-lama aku bisa jadi seperti si Yusuf. Intinya aku ini wartawan kontributor daerah, yang tak cakap jual iklan. Kalau mau dikatai bodoh, ya memang bodoh. Di era seperti ini jadi kontributor tapi tak bisa jual iklan tak ubahnya jadi pelacur tapi tak punya kemaluan.

Sudah cukup ah bicarakan orang terus. Aku ingin cepat pulang hari ini. Istriku dan anak pertamaku yang baru mau satu setengah tahun sudah menungguku. Aku ingin segera makan bersama mereka. Aku sudah bawa makanan untuk keluarga kecilku.

Dari Rp50 ribu tadi, aku beli bensin dua liter, cukup lah sampai besok. Aku juga tadi beli pulsa Rp25 ribu, gara-gara si kepala bank itu minta ditelpon. Karena dia ngiklan ya, aku mau tak mau harus telpon. Kalau tidak, si bos bisa marah. Sisa Rp10 ribu, cukup lah buat besok.

Sudah hampir jam 5 sore, aku tinggal beberapa langkah dari pintu rumahku. Tak sabar aku ingin segera bertemu mereka dan makan bersama.

Ah, hari ini aku ingin buat sedikit kejutan, aku tak langsung buka pintu. Aku biasanya pulang larut malam, tapi hari ini aku pulang cepat, mereka pasti terkejut, pasti senang.

Rupanya aku yang kena kejutan. Baru mengintip sebentar, aku langsung lemas. Aku merasa tak punya muka untuk pulang sebagai bapak. Ah, aku benar-benar malu. Aku sedih, aku ingin menangis sejadi-jadinya.

“Ayam... Ma mau makangayam...”

Anakku yang belum jelas bicaranya, mengatakan sesuatu yang jujur dari mulutnya. Ia ingin makan ayam. Iya, hanya itu. Dia ingin daging untuk perutnya, sementara yang aku bawa hanya gorengan dalam kantung kresek hitam.

Anakku terus bilang “ayam” sembari menunjuk gambar orang makan ayam di kalender. Aku ini bapak, tapi aku memalukan. Aku tak sanggup beri apa yang anakku mau. Sepotong daging ayam pun aku tak sanggup. Ya Tuhan, aku malu.

Aku bergegas pergi, cari warung nasi. Aku ingin daging ayam untuk anakku. Aku tak mau anakku makan nasi dengan gorengan hari ini. Tak apa aku makan itu, tapi anakku tidak boleh. Setidaknya untuk kali ini, selagi bisa. Masih ada sedikit duit dari Mas Hendro.

“Bu, ayam goreng satu, dibungkus”

“Rp8 ribu mas”

“Ah mahal banget bu, biasa kan Rp7 ribu”

“Masnya wartawan masa gak tau harga ayam naik terus, sekarang sekilo aja Rp41 ribu!”

“Gak ada utang-utangan buat mas ah, yang kemaren aja belum dibayar”

“Ini cuma ada Rp6 ribu bu, serebu lagi besok deh, bener saya janji,”

“Iya sehari dua ribu, sebulan udah tiga puluh, mau sampe berapa utang baru dibayar?”

“Sekarang doang bu, gak lagi-lagi nanti, ini cuma seribu,”

Ini gara-gara impor jagung dilarang sama orang bego. Harga ayam jadi mahal, aku yang susah. Meski memang biasanya tak beli ayam, tapi kali ini bikin tambah sulit urusanku. Padahal cuma ingin anakku makan ayam. Ah bangsat memang!

Si ibu warung nasi itu memang pelit. Padahal bapakku dulu yang nolong usahanya. Ah, sudahlah, toh akhirnya dia mau juga kasih aku hutang dua ribu. Cuma basa-basi gak mau kasih utang, toh dia juga tak ngerti-ngerti amat siapa yang berhutang dan yang tidak.

Aku berlari, buru-buru ingin kasih daging ayam untuk anakku. Semoga dia bisa senang dan lahap memakan ayam ini.

“Mana jagoan bapak? Lihat bapak bawa apa...”

Girang bukan main aku melihatnya. Meski bicaranya masih belum jelas, tapi aku yakin betul ucapannya itu penuh kegembiraan.

Istriku hanya tersenyum melihat ku. Dia tahu apa yang baru saja aku lakukan, dia pasti paham. Dia bawakan aku piring, lengkap dengan nasi panas yang masih mengepul. Oiya, piring ini pemberian Mas Hendro saat pernikahanku dulu. “Untuk bantu-bantu, siapa tau perlu,” katanya waktu itu.

Kami bertiga duduk bersama di lantai rumah. Menikmati tiap suapan kami masing-masing. Anakku makan ayam, aku dan istriku makan nasi dan gorengan. Sesekali aku tengok kalendar itu, kesal juga lihat si orang di kalender.

Karena dia, anakku jadi mau makan ayam, bukan gorengan. Kalau ada kalender dengan gambar orang makan gorengan, pasti sudah ku pasang. Tapi tak apa lah, karena dia, setidaknya anakku punya teman makan daging ayam.


Sekarang baru tanggal 20, masih ada 11 hari lagi sampai gajian. Semoga anakku tetap bisa makan daging ayam. Ya, Semoga.